Sabtu, 07 Januari 2012

[Saksi Fiksi] Dialog Sebelum Titik


Semalam saya mati. Tidak ada yang tahu penyebab sebenarnya kecelakaan ini. Mobil saya menghantam pembatas jalan di suatu titik di jalan tol. Hancur lebur, seperti hati saya sebelum kedatangan sang ajal. Mereka pun tahu tentang hal itu. Mereka tahu saya mati sebelum menyelesaikan banyak hal yang seharusnya saya tuntaskan lebih dulu. Ya. Spekulasi tentang penyebab kematian saya pun mulai bertumbuhan. Mantan pacar saya mengatakan kalau saya bunuh diri karena rasa sesal. Kawan-kawan saya yakin kalau saya sedang mabuk. Orang tua saya bilang saya mengantuk saat menyetir. Banyak juga yang menerka kalau ini hanyalah kecelakaan murni. Tanpa sengaja. Setitik insiden takdir. Sebuah keputusan hasil musyawarah para pemegang saham semesta.
Tapi satu hal yang mereka tidak tahu adalah fakta bahwa saya mati bahagia. Ini adalah momen yang paling saya nantikan seumur hidup! Apakah ada yang menandingi kebahagiaan seorang yang mati? Saya terlahir dengan menangis. Merengek penuh amarah dengan keinginan kembali ke rahim. Tapi ketika mati? Apakah saya ingin kembali? Tidak. Tentu tidak. Kematian ini adalah hari di mana saya keluar penjara setelah dikurung bertahun-tahun. Merenggut kebebasan absolut. Meninggalkan semua kesalahan di belakang, dimaafkan begitu saja, dan bebas dari tanggung jawab. Ada lagi yang lebih sempurna dari ini?

*****

Kematian saya berjalan normal dan baik-baik saja sebelum munculnya benderang cahaya di sana. Setelah sekian detik mobil menabrak pembatas jalan, seketika semua menjadi gelap. Lalu terasa aneh. Kemudian saya melihat cahaya kecil agak jauh di depan saya. Bermodal insting manusia yang selalu mencari terang dan meninggalkan gelap, saya pun berjalan mencari sumber cahaya tersebut.
Semakin saya mendekat, cahaya tersebut semakin terang dan membutakan. Bahkan dalam sekejap saya tidak bisa melihat apa-apa selain warna putih.Tapi setelah proses itu, saya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan, sesuatu yang tidak pernah saya lihat sebelumnya: ruang pengadilan. Anehnya, ruang pengadilan ini berada di sebuah padang rumput antah berantah. 360 derajat horizontal memandang, yang tampak hanya cakrawala. Seperti sebuah dunia tanpa batas dengan dimensi dan semesta sendiri!
Sesaat saya tersadar, saya tidak sendiri. Ada seseorang yang duduk di meja hakim. Di tengah kebingungan, dia pun memukulkan palu dan memanggil nama saya. Dug dug!
         "Adhityasaka Mahatama?"
         Saya masih diam.
         "ADHITYASAKA??"
         "Be..bet..betul."
         "Harap mendekat."
       Dengan kaki gemetar, saya berjalan perlahan. Tatapan orang itu seperti menelanjangi saya dari atas, bawah, kiri, kanan, luar, dalam, vertikal, horizontal, dan diagonal. Sambil terus menatap, dia bertanya: "Kamu udah siap?" Saya kembali tertegun.
          "KAMU UDAH SIAP??"
         "Ehm..ehm. Si..si...siap??"
         "Ya. Sudah siap untuk pulang?"
         "Pulang?"
      "Iya pulang. Kamu baru saja mati. Nabrak pembatas jalan di tol. Gara-gara kamu, jalanan jadi macet total. Ngantri sampe 10 kilo."
      Untuk ketiga kalinya, saya membeku. Kali ini saya benar-benar bingung harus merespon apa. Orang yang agak aneh itu tampaknya mengerti. Dia hanya menunggu saya sambil membakar dan menghisap sebatang rokok. Atau ganja? Saya tidak tahu. Dengan penuh perjuangan, saya pun mulai angkat bicara.
          "Anda ini siapa?"
          Dia terbahak-bahak hingga tersedak asap rokok ataupun ganja tersebut.
          "Hmm. Baiklah. Kamu berhak mendapatkan penjelasan." Segera dia matikan puntung di asbak.
         "Orang beriman menyebut saya sebagai Tuhan, Sang Pencipta, Sang Pengadil, Sang Segalanya. Orang ateis menganggap saya adalah karakter imajinatif yang terwujud karena alam bawah sadar kalian. Sedangkan orang agnostik.....Ya kayak kamu tadi! Banyak nanya. Dasar, hidup kok penuh keraguan. HAHAHA. Tapi saya suka kok yang ragu-ragu gitu." Lanjut si hakim aneh tanpa memberikan simpulan apa-apa. Saya masih bertanya, "jadi sebenarnya...Anda ini...Tuhan?"
"Saya lebih suka hal itu tetap menjadi misteri."
"Lalu...apa yang saya harus lakukan sekarang?"
Si hakim memicingkan matanya dan mendekatkan wajahnya ke muka saya. Ekspresinya mulai serius. "Jadi, kamu ini udah siap? Siap meninggalkan dunia yang sudah terlanjur mengingat nama kamu. Siap untuk ditangisi selama beberapa bulan, lalu dilupakan karena semua orang melanjutkan hidupnya. Siap?"
Ketika mendengar itu, secuil pertanyaan muncul di benak: 'Lebih baik menyesal dan terus berjalan, atau kembali menyusuri kesalahan?' Saya pun melamun agak lama sampai membuat hakim itu tidak sabar.
"HEY! Jawab."
"Apa konsekuensi dari jawaban saya?"
"Bila kamu sudah siap, maka kamu akan pulang untuk selamanya. Bila kamu belum siap, saya akan mempertimbangkannya lagi."
Tanpa sadar, mulut saya menyimpulkan sebuah senyum. Dengan yakin saya menjawab, "YA! Saya siap. Bawa saya jauh-jauh dari kehidupan saya, dan jangan bawa saya kembali!"
Hakim itu terdiam sesaat lalu kembali meluncurkan pertanyaan.
"Tapi sebelumnya, boleh saya kasih saran terakhir?"
"Apa itu?"
"Tidakkah kamu penasaran dengan reaksi orang-orang tentang kematianmu?"

*****

Anda tidak akan percaya apa yang saya lihat selanjutnya. Hakim itu menggenggam sebuah iPad 2. Mengesankan.
"Keren ya?", ujarnya jujur tanpa maksud sombong. Saya hanya mengangguk pelan sambil menunggu dia mengutak-atik mainannya itu. Makhluk akhirat itu pun kembali angkat bicara sambil menyodorkan iPad tersebut, "Hmm. Lihat ini, 2 hari setelah kecelakaan itu."
Saya terkesima melihat apa yang ditampilkan di situ. Sebuah video dengan sinematografi apik dan editan solid. Video ini seperti sebuah dokumenter yang digarap serius. Terdapat footage keadaan rumah duka, wawancara pengunjung, dan.... tubuh saya yang terbaring tanpa nyawa. Sungguh, ini bukan sesuatu yang ingin saya tonton, tapi entah kenapa video ini membuat saya tersenyum.
"Dia tidak hanya pintar, tapi juga baik hati dan rela berkorban."
"Dia itu pemuda dengan masa depan cerah. Sayang sekali takdir berkata lain."
"Dia adalah anak yang berbakti pada orang tuanya."

Dan berbagai pendapat para pelayat lainnya tentang saya. Sesekali terlihat orang tua, saudara, kekasih, kawan saya menangis bergantian. Hmm, sekarang kalian tahu betapa berharganya saya. Setelah video itu mencapai akhir, saya menarik simpulan: saatnya meninggalkan ini semua.
“Hmm. Baiklah, saya sudah memutuskan untuk mati permanen.”
Sang hakim langsung memotong: “Wow. Kamu memang suka buru-buru ya. Masih ada video berikut. Ini adalah lima tahun setelah kematianmu.”
Video berikutnya ternyata tidak begitu menarik. Hanya potongan keadaan orang-orang yang saya kenal sedang menjalani harinya seperti biasa. Tanpa beban, tanpa tangisan, tanpa pujian yang dilayangkan untuk saya; SAYA, sebuah karakter yang pernah bermain bersama dalam drama hidup mereka. Saya bosan dan tidak menemukan poin penting apapun. Hingga video itu mencapai bagian puncak.
“Saya tidak bisa melupakan kejadian itu. Saya sangat menyesal dia harus meninggalkan saya dengan bunuh diri. Bila saya bisa kembali ke hari itu, saya tidak akan marah karena dia telah berselingkuh.”
“Kita adalah pemabuk. Saya tahu dia sering menyetir saat mabuk. Bila saya bisa mengubah masa lalu, saya tidak akan mengajaknya minum malam itu.”
“Saya sangat merindukannya. Sungguh. Bila saya bisa mengulang waktu, saya akan kembali dan mencegah anak saya pergi malam itu. Mungkin dia mengantuk saat menyetir.”
Saya tertegun. Tanpa disadari, air mata saya mengalir. Terus mengalir.
“Kenapa kamu tiba-tiba emosional gitu?”
Pertanyaan hakim itu membuyarkan kesedihan saya.
“Bukankah kamu senang melihat betapa mereka kehilanganmu? Bukankah dengan begitu kamu yakin kalau kamu telah berguna sepenuhnya saat masih hidup?”
“TIDAK! Mereka tidak menangis karena saya pergi selamanya, mereka menangis karena masih banyak hal yang belum tuntas!”
“Lalu? Bukankah kematian jalan terbaik untuk menyelesaikan hal-hal yang belum tuntas? Mudah, gratis, tanpa beban!”
“Kematian adalah jalan keluar. Dan saya tidak ingin menuju pintu keluar sebelum saya menyelesaikan semua!”
“HEY! Kamu lupa? Saya yang punya kuasa, bukan kamu. Ketika saya ingin memanggilmu, kamu harus pergi. SELESAI, atau TIDAK SELESAI!”
Saya kembali terbungkam. Saya hanya meresapi sedihnya kenyataan yang saya hadapi sekarang.
“Lalu…apa yang kita lakukan sekarang? Kenapa kamu memberikan saya semua video ini? Kenapa kamu tidak langsung saja mengirim saya ke neraka??!!”
Si hakim hanya tersenyum. Lalu kembali membakar sepuntung rokok. Atau ganja?
“Selamat bung, kamu adalah manusia ke 100.000 yang meninggal hari ini. Sebagai bentuk terima kasih saya atas loyalitas Anda terhadap hidup, kami memberikan tawaran spesial.”
“HA?”
“Koma.”
“Koma?”
“Ya, kamu belum mati. Kamu cuma koma. Dan kamu diberi pilihan untuk hidup kembali, atau mati permanen.”
Saat aku terbengong-bengong, dia mengambil stempel dan menekannya di atas telapak tangan kiriku. Aku baca: KOMA.
“Dan saya menyimpulkan, kamu ingin kembali. Betul? Atau kamu ingin mengubah pikiran lagi?”
“Tidak, tidak! Terima kasih,” balas saya sopan.
“Oke. Selamat menikmati hidupmu kembali. Ingat, suatu hari tulisan di tanganmu adalah ‘TITIK’. Jangan pernah berhenti hidup hingga mencapai titik. Koma tidak datang setiap hari.”
Saya hanya tersenyum minimalis. Tiba-tiba saya teringat suatu pertanyaan penting yang selalu ingin saya tanyakan.
“Hey, kamu kan Tuhan… atau apapun itu. Saya penasaran. Apakah surga dan neraka itu ada?”
“Haha, lucu. Bukankah kamu setiap hari mengalami keduanya?”

*****

Saya membuka kelopak mataku perlahan. Semua terlihat buram. Samar-samar saya mendengar orang-orang memanggil. Pelan-pelan saya sadar dan mulai menganalisis keadaan sekitar. Perban. Infus. Kedua orang tua. Pacar. Kawan-kawan. Dokter. Perawat. Dan bau ini…rumah sakit.

*****

Semalam saya mati. Tidak ada yang tahu penyebab sebenarnya kecelakaan ini. Mobil saya menghantam pembatas jalan di suatu titik di jalan tol. Hancur lebur, seperti hati saya sebelum kedatangan sang ajal. Saya mati sebelum menyelesaikan banyak hal yang seharusnya saya tuntaskan lebih dulu.
Saya terlahir dengan menangis. Merengek penuh amarah dengan keinginan kembali ke rahim. Tapi ketika mati? Apakah saya ingin kembali? Ya. Bila saya diberi kesempatan untuk menuntaskan hal-hal yang belum selesai, ya. Kelahiran adalah hari di mana saya keluar menuju taman bermain. Di mana saya bisa bermain ayunan setinggi-tingginya, merosot di papan luncur hingga terluka, atau duduk menikmati keadaan taman saat senja. Ada lagi yang lebih sempurna dari ini?
Di saat lamunan saya memanjakan tubuh tak berdaya, ayah saya menyapa.
“Kamu baik-baik saja?”
“Ya, lumayan,” balasku lemas.
“Apa yang kamu rasakan saat koma?”
“Mimpi. Hanya mimpi.”
Gatal. Kening saya gatal. Spontan saya menggaruknya dengan tangan kiri dan membaca sesuatu di telapak yang membuat saya ragu dengan pernyataan barusan: KOMA.


22:33
Jakarta, 7 Januari 2011
Untuk mereka yang lupa untuk hidup.