Kamis, 30 Mei 2013

[Mimpi Semalam] Sesi Foto The Office

Tiba-tiba saya di Amerika Serikat, tertidur di pinggir jalan yang saya percaya terlokasi di California. Saya terbangun dari sebuah tidur panjang (tampaknya). Seorang Indonesia berjalan melewati saya dan merendahkan saya, "ngapain tidur di jalan?" Balas saya: "yang penting gue lagi di Amerika!" Lalu saya berjalan menyusuri trotoar yang bergelimang kafe, restoran dan bar di sepanjangnya. Kaki saya menghentikan perjalanan di sebuah resto yang agak glamor namun dikunjungi tidak dengan pengguna pakaian mewah.
       
            Saya masuk, memesan minum, dan duduk di suatu meja. Tidak lama setelah minuman saya datang, saya menyadari kehadiran Rainn Wilson (atau Dwight Schrute di serial TV The Office US)!!! Bila di realitas saya terlalu malu untuk mengajak idola saya berinteraksi, kali ini saya mendekatinya bagai sobat karib: percaya diri, jujur, berani. "Hey Dwight!", sapa saya tanpa mengindahkan fakta bahwa nama sebenarnya adalah Rainn. Dwight (sebut saja Dwight untuk menghindari dualisme) cukup ramah, dia membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan. Sepertinya dia tidak mengenali saya.
        Tanpa disangka, kedua kawannya juga menghampiri: Jim Helpert (John Krasinski) dan Toby Flenderson (Paul Lieberstein)! Bagian teraneh adalah: Toby bukanlah Toby, tapi David Wallace (Andy Buckley). Dan saya menyadari bahwa itu David! Tapi saya tetap memanggilnya Toby karena tampaknya si David atau Toby ini tidak keberatan. Begitu juga saat saya mulai mengajak mereka berfoto bersama, mereka sama sekali tidak keberatan. Bahkan mereka seperti ingin untuk difoto bersama saya.
         Sejenak kami berempat mengatur tempat, background, dan pose. Pengunjung resto mendadak menjadi penonton sesi foto kami. Entah siapa tiba-tiba menggenggam sebuah kamera DSLR padahal tadi bermaksud untuk memotret dengan smartphone saya. Si fotografer pun bingung dengan hasilnya yang kurang memuaskan hingga kami harus dipotret beberapa kali dengan pose yang berbeda-beda pula.
           Setelah adegan ini, saya ingat masih ada kejadian lainnya yang menyangkut teman-teman saya di realitas, tapi saya lupa. Sama sekali lupa. Ya sudah lah. Intinya saya berfoto-foto dan berinteraksi secara intim dengan Dwight, Jim, dan Toby atau David. Hei, siapa sangka cerita indah ini bisa diakhiri dengan lebih indah lagi, Michael Scott (Steve Carrell) hadir! Akhirnya kami berlima tertawa bersama merayakan kebetulan abstrak ini.
         Saya terbangun di kamar kost, bukan di pinggir jalan California. Perut lapar dengan keinginan merokok yang tinggi. Oh iya, saya baru saja pulang dari Solo dan Yogyakarta tadi subuh. Petualangan kecil dengan spontanitas besar. Pelarian dari realitas tawar menuju kenyataan berujung lebih... pahit. Kini skripsi, vokasi, dan rutinitas yang tidak seksi sudah merengek untuk dijamah. Tampaknya saya tersadar dari mimpi yang berjalan lebih lama dari satu malam. 

Senin, 20 Mei 2013

[Subliminal] Hidup

Pertama,
kamu terlahir tak ingat bagaimana,
kamu menangis dan orang tertawa.
Kemudian,
kamu mulai berbicara dan berjalan,
kamu disayang walau merepotkan.
Tak terasa,
kamu sudah bisa tulis-baca,
main bola ultra ceria,
rasa aneh akan perempuan,
tak tahan segala ledekan.
"Ranking",
kata mereka,
"Penting",
prestasi sesuai ekspektasi.

Kamu akan bertemu dengan guru kursus,
yang membuatmu belajar sampai kurus.
Kamu akan dipermalukan ayah-ibu,
dibanding-bandingkan dengan kawanmu,
yang berhasil naik kelas,
dan kamu tak bisa membalas.

Tiba-tiba,
tumbuh rambut selain di kepala,
rangsangan dari buah dada,
berkenalan dengan masturbasi,
raja dari segala sensasi.

Sepupumu akan bilang "sudah besar",
basa-basi kontradiksi,
artinya emosi kamu belum tertatar,
dan sama sekali belum gahar.

Mendadak kamu bercelana panjang
sok dewasa, semua dicoba dan dirasa,
tak peduli masa lajang,
ingin melihat dunia telanjang.

Kemudian,
Semua menangis bombay,
mengenang para handai,
konon kamu disiapkan,
untuk nyatanya kenyataan,
dunia antah-berantah tanpa hiasan indah,
dendang tanpa nada, puisi tak berima.

Kamu pun berlomba untuk memilih universitas,
pertimbangannya cuma dua: apa yang kamu suka, apa yang orangtuamu pikir terbaik untuk masa depanmu.
Berkelanalah kamu menuju pra-masa depan, pasca-remaja.

Kamu berusaha menjadi yang terbaik,
bila tidak, kamu hanya figuran akademi,
yang penting senang, yang penting selesai.

Tiba-tiba kamu menganggur,
hampir saja menuju rutinitas baru,
lamaran kerja demi lamaran nikah,

Kamu memulai karir,
mencari perusahaan terbaik atau termudah untuk dimasuki.
Kamu akan diikuti program pelatihan,
demi memenuhi standar yang "lebih baik",
Perlahan kamu mengalami peningkatan,
titel, honor, hidup.
Mungkin kamu akan pindah 2-3 kali,
demi gaji atau jarak yang lebih bersahabat,
demi kelangsungan rutinitas.

Kemudian kamu melamar atau dilamar pacarmu.
Kamu akan menikah dengan perayaan glamor,
disalami ratusan orang asing dan puluhan kawan dan saudara.

Persetubuhanmu akhirnya suci,
demi melanjutkan keturunan.
Anakmu akan menghiasi bingkai.
Dia akan menjadi magnet hidup,
pengingat betapa kamu dan pasanganmu sudah menemui standar kebahagiaan.

Tiba-tiba posisi karir kamu sudah meyakinkan,
anakmu sudah tiga,
rumah barumu berdiri dengan megahnya.
Hidupmu sempurna,
apalagi yang harus diperjuangkan?

Tiba-tiba kamu sudah beruban,
anakmu sudah beranak,
entah sudah berapa kali kamu menyelingkuhi pasangan hidupmu,
tapi kamu tidak mau berpisah,
demi standar kebahagiaan yang enggan kamu lepas.

Lalu kamu mati,
semua orang tidak membicarakan apa-apa,
selain betapa baiknya dirimu saat masih hidup,
semua orang menangis.

Lantas apa?
Kamu hidup untuk menciptakan hidup baru?
Sebuah ajang transfer napas,
rutinitas busuk tanpa ada poin penting di dalamnya.
Ngentot lah.




Minggu, 19 Mei 2013

[Mimpi Semalam] Reuni SMA Carrie Mathison


Dibuka dengan adegan reuni. Tak seperti biasanya, saya rela menghadiri acara non-formal pertemuan kawan-kawan SMA. Di situ banyak wajah familiar, dialog detil, tapi tempatnya sama sekali asing. Sebuah ruangan kayu yang tidak begitu besar tapi entah bagaimana caranya puluhan orang bisa masuk situ.
Pertama saya berbincang dengan dua kawan SMA saya yang kebetulan tidak begitu lama yang lalu baru saja bertemu di realitas. Saya tidak ingat naskahnya. Lalu bermunculan kawan-kawan lainnya yang sudah tidak lagi intim. Kesenangan dimulai. Entah bagaimana caranya, tapi saya sangat bersenang-senang saat itu.
Atmosfir mendadak berubah drastis. Seseorang yang tidak saya kenal –tapi saya sadar kalau dia berderajat lebih tinggi- mendatangi saya, memberikan saya sebuah penjelasan mengenai suatu misi berbahaya. Kalau tidak salah, kira-kira petikannya begini: “Ini saatnya kamu buktikan keahlianmu. Ini tidak seberbahaya itu kok, kamu hanya harus bertemu dengan seseorang, dan tanyakan dia mengenai misi terorisme.” Intinya, tugas saya hanya untuk bertemu dan berbincang.
Awalnya saya menolak, tapi entah kenapa saya tetap menjalankannya. Di saat reuni sudah mulai sepi, saya mengendap-endap keluar ruangan itu dan mencari tempat yang dimaksud bos saya. Tapi apa yang saya temukan sungguh tidak lazim: sebuah ruangan besi kecil dan sempit di mana ternyata perserta reuni tadi sudah berkumpul di situ. Namun, ada satu penyusup, entah siapa. Asumsi saya mengatakan untuk menghajarnya habis-habisan. Teman-teman hanya menyoraki saya yang semangat memukulinya. Usai perkelahian satu arah, saya keluar ruangan dan kembali menuju ke tempat awal sambl berharap si pemberi misi masih ada.
Beruntung, dia sedang duduk santai. Dengan pengkhayatan total sebagai pemberontak bijaksana, saya menggebrak meja (mungkin. Saya tidak ingat betul). Kira-kira saya bilang begini: “Saya tidak akan melakukannya! Lihat dia sudah babak belur! Lakukan saja sendiri! You know what? I QUIT!”. Overdosis harga diri, saya keluar ruangan dan terus berlari dengan senyum kepuasan maksimal. Terus berlari hingga mencapai kamar tidur rumah saya, telentang.
Sepertinya akumulasi maraton Homeland Season 1, -dan Season 2 Episode 1 (The Smile) sebagai penutup hari- menjadikan saya Carrie Mathison (Claire Danes) absurd yang merindukan kawan-kawan SMU. Ah, setidaknya saya belajar untuk memberontak, berkelahi, dan menghadapi acara reuni. Walau hanya dalam mimpi.