Rabu, 15 Juni 2011

M83- Car Chase Terror (UNOFFICIAL/TRIBUTE MUSIC VIDEO)

Jadi, begini ceritanya:

1. Saya tidak punya kamera
2. Ayah saya baru membeli Olympus Pen
3. Saya meminjamnya
4. Saya dan Gigi memperkosa kamera tersebut secara fungsional (Still & Motion)
5. Di saat Ujian Akhir Semester, saya mencoba memasak bahan baku menjadi sebuah karya yang biasa-biasa saja

M83 adalah sebuah band dream pop/post-rock dari Perancis. Musik mereka sangat magis dan menggoda otak untuk melahirkan teater pikiran. So, enjoy this 'Car Chase Terror' unofficial music video!

Created, captured, and edited by:
Adhikasatya Mahottama
Rio 'Gigi' Feroli  (go check and explore his absurd mind)
Shots taken at random streets and highway in Jakarta and Bandung.



Senin, 06 Juni 2011

[Selera Humor] Bapak Kamu Itu Ya?

Pada jaman dahulu kala, di saat kata 'jayus' dan 'gombal' menikah bahagia di pelataran anak muda, lahir lah seorang bayi bernama 'Bapak'.

Bapak kamu skater ya? | Kok tau? | Soalnya kamu bisa kickflip-in hatiku.

Bapak kamu polantas ya? | Kok tau?| Soalnya kamu pandai mengatur lalu lintas hidupku.

Bapak kamu jurnalis ya? | Kok tau?| Soalnya cinta kita dilaporkan berdasarkan fakta.
Bapak kamu montir ya? | Kok tau? | Soalnya kamu bisa spooring balancing masa depanku.

Bapak kamu anggota Satpol PP ya? | Kok tau? | Soalnya kamu sering menggerebek hatiku.

Bapak kamu Bryan Adams ya? | Kok tau? | Soalnya everything I do, I do it for you.

Bapak kamu penjual nasi goreng babi kecap ya? | Kok tau? | Soalnya cinta kita nikmat tapi diharamkan.

Bapak kamu udah keluar dari Backstreet Boys ya? | Kok tau? | Soalnya kita udah ga backstreet lagi.

Bapak kamu pedagang ganja ya? | Kok tau? | Soalnya kamu sering membakar hatiku sampai-sampai cinta kita ilegal.

Bapak kamu SBY ya? | Kok tau? | Pantas cinta kita MEMPRIHATINKAN.

Bapak kamu Tarzan ya? | Kok tau? | Soalnya kamu bikin hatiku gelantungan.

Bapak kamu bapak aku juga ya? | Kok tau? | Oh shit.

[Selera Humor] Selebritiew!


Bila benar cinta memiliki nama, dia pasti berakhiran 'Laura'.

Bila benar kasih memiliki nama, dia pasti berawalan 'Aura'.

Iwan dan Doel memang penyanyi legendaris, walaupun yang satu Fals, yang satu Sumbang.

Saya bingung kenapa Vin Diesel ga pernah main sama Mat Solar. Padahal kan...

Eh tumben raffi achmad, mau ke mana? (maksudnya 'rapi amat'. banyak yang tidak mengerti)

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, superman is dead.

Saya heran sama Deddy Dhukun, bisa-bisanya anaknya jadi dhukun.

Patrick 'Vierra' di band megang instrumen apa ya?

Bapaknya kang salon, ibunya sutradara, nama anaknya siapa? Rudy Hadisoedjarwo.
Michelle Monaghan bikin ga naghaaann. Zooey Deschanel bikin ga mau ganti channel. Zhang Ziyi bikin zaya zadi zhange. 

[Selera Humor] Apa Bedanya?

Masih di Guyonan Bermutu perdana. Saya masih berusaha untuk menetralisir rasa pahit dalam hidup. Caranya? Masih sama, humor. Dan guyon ini masih sama dengan yang saya pernah kicaukan di Twitter. Kurang kreatif ya? Tidak suka? Silahkan pasang DVD, tonton Friends, How I Met Your Mother, atau The Office.

Apa itu 'Apa Bedanya?'
Kita dilahirkan dengan berbagai perbedaan. Tidak ada yang sama kecuali kematian. Ya, hidup ini terlalu cepat untuk menjadi terlalu serius.


Apa bedanya rocker sama rokok?
Kalau rocker bisa ngerokok kalo rokok ga bisa ngerocker.
Apa bedanya cewek Jakarta sama Bandung?
Kalo cewe Jakarta pake BB, kalo cewe Bandung pake Aa'.

Apa bedanya 'tukang' sama 'tulang'?
Kalau 'tukang', orang jualan. Kalau 'tulang', orang batak.

Apa bedanya 'bokep' sama 'boker'?
Sama-sama di-DOWNLOAD.
Apa bedanya soto sama Siti?
Kalo soto bihunnya putih, kalo Siti bihunnya item.

Apa bedanya spider-man, bakwan, sama Tina Toon?
Kalau spider-man, laba-laba. Kalo bakwan, bala-bala. Kalo Tina Toon, mama bolo-bolo.

[Selera Humor] Ges-gesan

Dunia ini sudah terlalu busuk, hidup ini sangat pahit, kita semua membutuhkan humor untuk sekedar menetralisir rasa. Sebagai bentuk keprihatinan atas realitas, saya ingin sedikit menyumbangkan ('memberi sumbangan', bukan 'membuat jadi sumbang') selera humor saya.
Dalam Guyonan Bermutu perdana ini, saya mendokumentasikan guyon-guyon yang sudah saya keluarkan di ranah Twitter. Semoga kalian menyukainya. Kalau Anda tidak suka, silahkan nyalakan televisi, Opera Van Java masih eksis.

Apa itu 'Ges-gesan'?
Tebak-tebakan yang memiliki pertanyaan ganjil dan segenap kelucuan.

Hewan, hewan apa yang cuma 1 huruf selain G, AJAH dan I, KAN?
A, NJING!!! Satu lagi? U…LERRR...

Hewan, hewan apa yang cuma 2 huruf selain U dan G?
MO, nyeeeett....


Kenapa kepiting ngga bisa berdiri?
Soalnya dia KE-piting.


Kolor, kolor apa yang bisa terbang?
Kolorlawar


Apa bahasa inggrisnya "saya mau menggulung rok"?
I wanna rock n' roll.


Apa bahasa Jepangnya "udah tua masih mabok"?
Kake-kake keselek sake.
Apa bahasa arabnya 'minum vodka sampe pusing'?
Mabuq' Al' Qohol.  

Apa bahasa cinanya 'ketabrak motor'? 
Ping san cuy.



Jumat, 03 Juni 2011

[Saksi Fiksi] Sepasang Bola Mata


Pernahkah kamu merasa seperti dibuntuti? Setiap langkahmu diperhatikan dengan seksama. Dari kegelapan di belakang sana, si penguntit kurang waras itu mencoba membaca pikiranmu. Pernah merasa seperti itu? Percayalah, rasanya sangat tidak enak. Kota ini memang sarang kriminal. Dari yang berdasi dan duduk di singgasana, hingga yang bermodalkan pisau dapur untuk mencari makan. Semua yang hidup di sini adalah karakter antagonis. Kasus pembunuhan seakan memiliki takdir untuk menjadi misteri permanen. Aku muak. Ingin rasanya keluar kota dan memulai hidup baru. Aku dan istriku. Ya kami pengantin muda. Bila bukan karena dia, aku tidak sudi lagi tinggal di kota terkutuk. Dan kamu harus mengerti betapa busuknya tempat ini. Kamu harus tahu apa yang aku alami malam itu. Tepatnya pukul 11.
Seperti biasa, aku berjalan menyusuri gang kecil menuju rumah. Malam itu agak gerimis. Beberapa rumah sekitar pun mati lampu. Gang itu sepi dan gelap, sama seperti hari-hari biasa. Aku berjalan hati-hati karena hampir tidak terlihat apa-apa. Ditambah dengan becek di mana-mana. Sempurna.
Setelah beberapa meter berjalan sendiri, aku mulai merasa aneh. Langkahku seperti memiliki gema. Hmm, sepertinya ada orang di belakang. Dia mungkin 3 meter sebelumku. Ritme langkahnya sama. Dia bergerak sunyi seperti takut mengeluarkan bunyi. Mencurigakan.
Rasa penasaran mengalahkan takutku. Dengan akting kelas Oscar, aku berlagak pegal dan memutar pinggangku ke kiri dan kanan hingga orang itu terpantau. Rambutnya keriting panjang. Merokok. Sepertinya menggunakan jaket kulit. Sayang, wajahnya kurang jelas. Sangat mencurigakan. Apa motifnya? Merampok? Atau hanya ingin tahu kediamanku? DASAR PSIKOPAT! Aku yakin, dia pasti penguntit. Walau begitu, aku belum berani bertindak. Saatnya belum tepat!
Dia tidak tahu kalau sebenarnya aku sudah menyadari rencana kejinya. Aku akan tunggu dia sampai menyergap tubuhku dari belakang. Lalu dengan sigap aku akan menyikut selangkangannya, kemudian berlari kencang sambil berteriak minta tolong. Yap, strategi ini sempurna!
Ayo, psikopat, bunuh aku! Tunggu apa lagi?! Ayo! Aku menantangmu! Huh, mungkin dia menunggu belokan agar bisa lebih mudah menyergapku dari samping dan membenturkan kepalaku ke tembok. Hey, AKU SUDAH TAHU MAKSUDMU! Bila memang begitu, aku akan bertindak duluan! Ketika belokan tiba, aku akan bersembunyi di balik kegelapan dan bersiap untuk menjegalnya. Dia pasti akan kaget, rencananya buyar, dan dia tidak tahu harus berbuat apa!
Belokan itu sudah terlihat. 10 detik lagi. Aku mendengar penguntit itu mempercepat langkahnya. Aku pun sedikit bergegas. Aku tidak mau dia mendahului. Cepat! Cepat! Huff, aku berhasil bersembunyi. Aku akan menarik napas selama beberapa detik dan bersiap-siap sebelum dia melewati jalan ini dan.... DIA TAMPAK! Dalam sepersekian detik, aku menjatuhkannya! Psikopat itu tersungkur! Dia tampak terkejut. Sebelum dia berteriak, aku langsung menyerangnya bertubi-tubi. Menendang kepalanya, memukul-mukul perutnya. Dengan sigap, aku mengambil batang kayu yang tergeletak di samping, dan.... Dia pingsan. Kepalanya bocor, berdarah di mana-mana. Batang kayu itu sedikit berlumuran cairan merah. Rasakan itu! Psikopat! Jangan pernah menguntit orang! Aku melihat wajahmu sekarang! Siapa yang akan mati sekarang?!
Sebelum ada orang yang melintas, aku mempercepat proses pekerjaanku. Perlahan, aku mengeluarkan sebilah pisau dari tas dan mulai mencongkel matanya satu per satu. Aku hujamkan dengan keras, dan kukeluarkan biji matanya dengan lembut. Yang kanan, lalu yang kiri. Setelah mengambil matanya, aku mencabut nyawanya. Aku gorok lehernya hingga darah segar bertebaran ke mana-mana. Seperti membuka buah kaleng. Aku sedikit tertawa.
Setelah dia mati, aku langsung mengambil kaleng kaca kosong dari tasku. Tanpa rasa jijik, aku meletakkan kedua mata itu ke dalam kaleng. Membereskan perkakas, dan buru-buru melangkah pergi. Tujuanku hanya pulang. Aku lelah. Aku syok dengan kejadian ini. Mayat psikopat itu tergeletak begitu saja. Aku tidak peduli. Aku benci psikopat. Aku benci orang-orang yang membuat kota ini semakin busuk.

*****

Sesampainya di rumah, aku langsung memasuki kamarku. Aku capek. Rasanya ingin tidur sampai tahun depan. Tapi aku tolak egoku. Aku mencuci muka terlebih dahulu, membersihkan darah haram bajingan itu. Mengganti baju yang basah karena gerimis dan keringat. Mencuci tangan yang ternoda. Membilas pisau. Lalu mengeluarkan kaleng kaca berisi kedua buah mata. Aku menatapnya dengan seksama. Penasaran dengan apa yang dipikirkannya. Apa yang ingin dia lakukan terhadapku. Dasar psikopat! Penguntit! Matamu tidak pantas untuk melihat!
Puas rasanya. Hmm, lebih baik mata ini aku simpan sebagai cinderamata. Aku pun meletakannya di dalam lemari es. Biar dia awet dan senang bertemu teman-temannya. Teman-temannya? Ya. Di kulkas itu tersimpan 28 kaleng berisi sepasang bola mata psikopat. Dia adalah anggota baru. Selamat datang! Terima kasih telah menambah koleksi saya menjadi 29.

*****

Kamu mengerti sekarang? Betapa menjijikkannya kota ini. Isinya hanya kriminal. Tunggu dulu. Tapi, kamu tidak menuduh aku gila kan? Kamu sudah tidak waras kalau menganggap aku gila. Kamu harus mendengar penjelasanku!
Kaleng-kaleng itu berisi bola mata psikopat! Orang-orang gila yang haus darah dan lapar akan wajah manusia tersiksa! Bola mata yang melihat istriku dari kegelapan. Bola mata yang mempelajari gerak-gerik istriku. Bola mata yang menguntit istriku hingga membunuhnya dengan sadis! Mereka perampok! Harta dan nyawa!
Apa salah istriku?! Dasar psikopat! Yang lebih tragis lagi, mereka lolos. LO-LOS! Tidak ada yang peduli. Polisi-polisi itu terlalu kenyang mengkonsumsi uang dan kekuasaan haram! Apa yang harus kuperbuat? Menangis seperti bayi unta sambil berharap suatu hari ada pahlawan super yang membantuku menemukan pembunuhnya? Tidak. Satu tahun lamanya istriku mati sia-sia. Tidak ada yang peduli. Hanya aku. Dan sekarang aku akan pergi lagi. Waktu masih menunjukkan pukul 1 dini hari. Masih banyak kesempatan untuk mencari sepasang bola mata psikopat! Aku bukan orang yang menunggu dan menemukan, aku adalah sang PENCARI! Aku akan berjalan keliling, memburu penguntit yang beraksi. Sebelum pagi menjelang, aku akan terus mencari sepasang bola mata.
Kamu mengerti sekarang? Aku benci psikopat.


19:50 WIB
Bandung, 17/5/2011

[Saksi Fiksi] Cerita 'B': Bobby Bule dan Belut Bakar

Bobby benar-benar bukan bule biasa. Buktinya? Beliau berasal Bosnia, bapaknya Bogor, bininya Bangka-Belitung. Biarpun berdarah barat, Bobby berani bilang, “BOBBY BANDUNG BOY!!”. Betul, Bobby bule Bandung berprofesi businessman. Bertahun-tahun, Bobby buka bisnis Belut Bakar Bandung. Bisnisnya berjalan baik. Bocah-bocah Bandung banyak beli belut Bobby. Bobby betul-betul businessman berbakat.
Biarpun Bobby berhasil, bukan berarti Bobby belagu. Bobby baik banget. Beliau berdarma bagi bocah-bocah Bandung. Biarpun Bobby beragama Buddha, Bobby bagi-bagi belut bakar buat buka bersama. Bobby, Bobby. Benar-benar businessman bule berhati besar.
*****


“Bobby….”, bilang bininya. Bobby berasyik-asyik bengong.
“BOBBY…”, bininya bete. Bobby bisu.
“BABI!!”, bininya buas. Bobby: “BAH!”
“Bengong, beb?”, bilang bininya basa-basi.
“Beuh. Bikin budeg!”.
“Beb?”
Bobby bercerita, “Beb, Bobby bingung. Bebi…..bahagia?”
Bininya bingung, “BAHAGIA?”
“Bebi….bosan?”
Bininya bingung berlebihan, “BOSAN? Bagaimana bisa?!”
“Begini…”, Bobby bicara, “Beb, Bobby bosan berjualan belut bakar. Bisnis Bobby berhasil, Bobby bahagia, bapaknya Bobby bangga”.
Bininya bertanya, “Bagus, bukan?”
“Biar begitu, Bobby….bercita-cita bisa balik Bosnia!”
Bininya berang, “BOSNIA?!”
“Be…Betul”
“Biar bisa bertemu bekas bini Bobby??”
“Bukan! Buah-hati Bobby…”. Bobby belum bertemu buah-hatinya berpuluh-puluh bulan. Bahkan, bapaknya Bobby belum bertatap-muka bersama buah-hati Bobby.
“Buah-hati?! Bocah brengsek begitu Bobby bilang ‘buah-hati’??”
“Boleh Bobby bertemu buah-hati?”
“BIJI!”
Bobby beku bisu. Bininya banting-banting barang. Berdua bak babi berkelahi. Bedanya, Bobby berdiam, bininya bersemangat. Bermodalkan badik, bininya berusaha bunuh Bobby! Beruntung, Bobby bisa bangkit. Bobby berang. Bobby bikin bininya berantakan. Bobby bunuh bininya. Begonya, ‘bis bunuh-bunuhan, Bobby bilang, “Beb…BYE-BYE BANGSAT”.
Bobby bengong. Beliau bingung banget. Bangkai berlumur bikin Bobby bergidik. Bobby beride. Bobby belah-belah bangkai bininya. Bobby berikan bangkai bumbu-bumbu belut bakar. Berselang, Bobby bungkus.
Bobby berbisik, “Bukannya Bobby brengsek, Bobby butuh bertemu buah-hati Bobby”.
*****
Besoknya, Bobby bersiap buru-buru. Backpack-nya berisi berbagai barang berguna buat bertualang. Baju, buah-buahan, blankon, bir, bermacam-macam benda berharga. Bobby berangkat backpacking. Bandara-Bandung-Batam-Bali-Bahrain-Bangladesh-Belanda-Belgia. Berakhirnya? Bosnia. Bertemu buah-hati.
Biarpun berisiko berat, Bobby berani banget. Bengkalaikan bisnis belut bakar, bunuh bininya, bikin bingung bapaknya. Buat buah-hatinya, Bobby bisa beda banget. Benar-benar beda. Bobby berbisik, “buah-hatiku, bapakmu bakal bikin bangga”.
*****
Biasa, Belut Bakar Bandung buka besoknya. Bapaknya bertanya, “Bobby belum berkunjung?”. Beliau bingung. Biasanya, Bobby beres-beres buat berjualan. “Bodo”, bilang beliau. Bapaknya buka bungkusan belut bakar. “Bau bangkai berbumbu”, bisiknya. “Bodo”.
“Bobby?”, bocah bule bertanya.
“Bobbynya belum berkunjung”, bilang bapak Bobby.
“Butuh bertemu Bobby”, bocah bule bawel.
“BOBBY BELUM BERKUNJUNG!”
“Baiklah”
“Belut bakar?”
“Boleh”
Bocah bule bersantap belut bakar. Biarpun baunya bagai bangkai berbumbu.
*****
Bulan-bulan berlalu. Bobby? BOSNIA. Beliau berjalan bahagia. Bertujuan bertemu buah-hatinya. Bobby bersemangat, beliau belum bersua berpuluh-puluh bulan.
Berjam-jam bertualang, Bobby bertemu bangunan balai buah-hatinya.
BUG-BUG-BUG, “BOBBY-JUNIOR!!”
BUG-BUG-BUG, “BOBBY-JUNIOR!! BAPAKMU BALIK!!”
Bisu.
Bobby berpikir, “Baiklah. BONGKAAAAR!”.
BRUKKK!!! Bobby bergegas.
“Buset…”
Bobby bertemu bekas bininya. Bangkai bekas bininya.
20:53 WIB
Bandung, 4 Mei 2011

[Saksi Fiksi] Eman Si Sapi Wanita

Kasihan Eman. Dia satu-satunya sapi betina yang diberi nama paling jantan di antara teman-temannya satu pekarangan. Sampai sekarang remaja, Eman belum tahu kenapa orang tuanya memberi nama Eman. Mereka sudah lama mati. Bapaknya jadi steak, ibunya disumbangkan untuk Idul Adha. Sekarang Eman dibudidayakan di pekarangan asri bersama teman-temannya. Susunya bermanfaat untuk manusia, kucing, anjing, dll. Eman senang dia bisa berguna buat orang lain -walaupun bukan sapi lain-.
Meski dia rela dan bahagia diperah, sebenarnya Eman menyimpan pilu yang mendalam. Setiap hari dia melamun galau. Berpikir keras. Mencari jawaban. "Kenapa sih nama saya Eman?". Tidak heran. Teman-temannya punya nama cantik dan feminin. Sebut saja Sari, Sandra, Rossa, Martina, dsb. Bahkan ada yang memiliki nama secara harfiah, Indah dan Cantik. Eman dengan mereka pun tidak ada beda, sama-sama makan rumput, badannya montok, susunya segar.
Kasihan Eman. Gara-gara nama, dia dijauhi gank sapi betina eksis. Jadilah dia lebih nyaman nongkrong bareng sapi-sapi jantan. Sedihnya, tidak semua yang bisa menerima dia di tongkrongan sapi jantan gahar. Dari puluhan lelaki, Eman cuma berteman baik dengan Dimas dan Rio. Dimas ABG banget, pecicilan, suka Justin Bieber, dan diam-diam suka Eman. Sedangkan Rio pendiam, tua, bijak, pemikir, tapi kadang-kadang kurang nyambung.
Banyak lelaki yang tidak suka kehadiran Eman. "Namanya doang Eman, tapi punya susu", "Eman? Mestinya Ewoman!", "Bukannya saya ngga suka Eman, tapi dia itu betina. Ga usah sok-sok nongkrong bareng deh bro", "Betina itu ditakdirkan untuk didekati, dicinta, disayang oleh Jantan. Lah ini?! Malah kongkow bareng". Dunia gender sapi memang keras.

*****
Suatu hari Eman lagi melamun galau sambil menguyah rumput bareng Dimas dan Rio. Dimas yang lagi godeg-godeg sambil menyenandungkan lagu Lady Gaga mendadak sok peduli dengan Eman. "Man, mukanya sedih amat?".
Eman kaget, "Eh, emang iya?".
Rio yang sedang berpikir 'kenapa-sapi-nggak-bisa-jadi-hewan-peliharaan-rumah-seperti-anjing-?' pun ikut nimbrung singkat, "Iya".
Eman menjawab malu tapi nafsu, "Ehm, iya nih. Gue lagi mikir. Kenapa ya nama gue Eman? Bapak ibu gue ngga tau apa gue cewek? Walaupun gue rada tomboy tapi kan gue tetep aja BE-TI-NA. Terus kalau nama gue Eman, kenapa cewek-cewek genit itu nggak mau berteman sama gue? Kenapa para lelaki sok macho itu ngejauhin gue? Kita kan sama-sama sapi! SA-PI! Ada yang dimakan, ada yang ngasih susu! SAPI!"
Dimas colongan, "Mungkin karena lo sapi yang paling keren dan montok Man! Kalau gue ya, ngga pernah.."
"DIM! Diam! Gue lagi ga mood!", potong Eman sadis.
"Apalah arti sebuah nama Man?", jawab Rio. "Ngga usah dijadiin beban. Lo nggak salah apa-apa. Yang salah itu budaya patrisapi, terlalu memojokkan kaum betina. Nah pas ada perempuan namanya Eman, momennya tepat banget. 'Apa-apaan neh, betina udah mulai berani ya mau nyama-nyamain jantan!!'. Gitu lah Man".
Eman tertegun. Syok. Perkataan itu seperti menusuk-nusuk nurani bimbang Eman. Sedangkan Dimas malah ganti lagu. Susah payah, Eman kembali angkat bicara, "Ta..ta..tapiii. Ehm. Jadi gue pasrah aja gitu? Biarin aja cewek kayak gue dimarjinalkan karena gue nggak seperti sapi-sapi wanita itu??!!"
"Cukup dengan aksi dan persepsi sudah membuat lo menjadi sapi yang setara Man. Lo bukan 'WANITA' yang diagungkan, atau 'CEWEK' yang direndahkan. Lo adalah ''PEREMPUAN'. Sang pencipta, penikmat, pelaku. Lo adalah imbuhan 'me-' bukan sekedar 'di-'". Benar-benar sapi yang intelek.
Eman hanya terdiam dan berpikir. Saat hening, peternak mereka datang mengunjungi. Orang itu hanya mengelus kepala Rio sambil bergumam ramah dengan bahasa manusia, "^&@)(&*)@_^#@.... '{8[}??".
Eman bertanya pada Rio, "ngemeng apa dia?"
"Mana gue tau. Gue kan sapi".

*****
Hari berlalu, minggu berganti, alienasi Eman terus berjalan. Tapi kini Eman lebih terang. Lebih tegar. Lebih yakin. Dia tidak lagi peduli dengan gank betina eksis atau tongkrongan jantan gahar. Eman hanya menjalani hari sebagaimana hidup sapi seharusnya. Nikmat sekali rasanya. Sempurna.
Sore itu seperti biasa, Eman sedang meresapi keindahan hidup bersama Dimas dan Rio dengan berbincang ringan masalah dunia persapian. Topik silih berganti. Tidak ada yang terlalu penting, hingga Rio membuka tema dengan nada serius.
"Man. Gue titip Dimas ya."
Eman dan Dimas hanya mengernyitkan dahi.
"Maksud lo apa Yo? Emang gue tempat penitipan sapi?"
"Dim. Pesan gue buat lo, tetaplah bangga dengan diri lo ya. Jangan pernah berubah."
Dimas semakin bingung, "Apa sih?!"
Rio menarik napas panjang.
"Selama ini gue bohong sama lo berdua. Gue... ngerti bahasa manusia".
Dimas dan Eman cuma menatap satu sama lain dengan ekspresi heran. Eman pun terus melanjutkan.
"Inget ngga 1 bulan yang lalu? Waktu itu bos kita datang bentar. Cuma ngelus kepala gue sambil bergumam?"
Dimas dan Eman kompak, "OOOOHHHH. Emang dia ngomong apa?".
"Hey, siap siap ya. 1 bulan lagi kamu akan dibeli pengusaha steak".
Dimas dan Eman hanya terdiam. Benar-benar terdiam. Sekitar 2 menit kemudian, Eman merespon, "YO! Kok lo ga bilang-bilang sih? Gimana dong? Gue gimana? Gue ga bisa kalau lo ga ada yo!!".
"Jangan gitu Man, ini memang takdir kita kan? Seharusnya udah siap dari awal".
Dimas tak mau kalah sedih, "YO!! Lo satu-satunya temen cowok gue Yo!"
"Ini ada Eman! Hehe", jawabnya menghibur.
Mereka bertiga mengucapkan perpisahan. Menangis. Mengenang. Bercerita, berbincang, bergunjing untuk yang terakhir kalinya dengan Rio. Hingga tertidur, dan pagi menjelang. Rio sudah tidak ada.

*****
Sore itu, Eman berjalan-jalan sendiri. Setelah 6 bulan Rio pergi, Dimas juga pergi. Tidak secara harfiah, tapi Dimas sudah meninggalkan Eman yang dianggapnya cinta bertepuk sebelah tangan. Dimas menemukan pacar. Sapi betina bernama Selly. Mereka sangat romantis. Kencan setiap waktu. Godeg-godeg bareng sambil bersenandung lagu Vierra. Pokoknya dunia hanya milik berdua, yang lain cuma ngontrak.
Sejak itu, Eman benar-benar sendiri. Dia masih menolak untuk menjadi cewek yang menerima budaya patrisapi, dan dia masih tidak diterima sapi-sapi jantan. Kasihan Eman. Lebih kasihan lagi, sore itu dia tidak menyangka akan menjadi hari yang sangat tidak biasa.
"EH BENCONG, ngapain lu?! HAHAHA", ejek seorang sapi lelaki kekar kepada Eman yang sedang melintas di depan tongkrongan jantan gahar. Eman tidak acuh. "SEDIH YA MBA, ditinggal bapaknya?". Eman melempar pandangan kepada tongkrongan itu. Sapi kurang ajar itu pun terus melancarkan bully, "Kenapa? Lo ga tau ya Rio itu bapak lo? HAHAHA. Dasar, udah bencong, bego pula".
Eman angkat bicara, "maksud lo apa?". "Semua orang di sini juga tau kalo Rio itu bapak kandung lo! Dia yang ngasih lo nama EMAN. Mampus sekarang dia udah ga ada. Mau ngadu sama siapa lo?".
Eman syok. Dia ragu. Tapi penasaran. Dia langsung berlari dengan cemas. Menuju Dimas. Sapi sarkastis itu pun masih terus berbicara, "HAHA. Mau kabur?! EMAN gue pikirin??!! HAHAHA."
Eman terus berlari. Hanya ada satu pertanyaan yang ingin dia sampaikan pada Dimas. Seketika, sosok Dimas terlihat dari kejauhan. Eman pun semakin cepat mengayuh kaki-kaki gendutnya. "DIMAS!!!"
Dimas sampai tersedak rumput, "uhuk uhuk! Apaan sih?!"
"LO TAU RIO ITU BAPAK GUE?!".
Dimas sangat terkejut. Dia menunduk dengan spontan.
"DIM! DIMAS!"
"Ehm, lo... denger dari mana?"
"GA PENTING!"
"Oke, oke Man. Dengerin cerita gue dulu ya."
Kemudian Dimas bercerita panjang lebar tentang sejarah hidup Eman. Sebenarnya, Dimas juga hanya mendengar dari obrolan di tongkrongan sapi jantan gahar. Ternyata benar, Rio adalah bapaknya Eman. Dulu, Rio datang di peternakan itu bersama istrinya, Ria. Mereka berdua sangat bahagia. Ria pun dikaruniai anak tunggal. Tragis, Ria meninggal saat melahirkan Eman. Rio sangat terpukul. Dia takut menjadi orang tua tunggal. Dia merasa tidak mampu membesarkan anak tanpa perempuan di sisinya. Rio tahu persis bahwa Eman adalah sapi betina. Justru ini yang menjadi alasan kenapa Rio memberikan nama 'Eman'. Nama itu mengandung harapan besar bahwa Eman akan menjadi perempuan mandiri, tangguh, dan kokoh seperti layaknya konsep pria yang diyakini. Tapi ketakutan Rio tidak hanya di situ. Dia tidak berani mengenalkan dirinya sebagai 'ayah' dari Eman. Dia tidak berani dengan tanggung jawab dan beban itu.
Eman hanya menyimak tanpa tahu harus berbuat apa. Dimas sendiri pun bingung. Sampai akhirnya dia berhasil mengeluarkan kata-kata penghibur, "Man. Mungkin udah saatnya lo mengorbankan pemikiran lo. Gue ga mau lo sendiri terus. Maaf Man, gue ga bisa selalu ada buat lo. Maklum, Selly over-posesif. Kalau dia lagi di sini, pasti gue udah diseruduk".
"Cowok macem apa lo?"
"Hmm. Gue bukan penganut patrisapi".
Eman berputar. Dia kembali berjalan lesu. Meresapi pilu yang tidak bisa dideskripsikan. Eman benar-benar merasakan esensi dari kata sedih. Dia bertanya, "Dewa sapi, apakah kamu memang menciptakan kami seperti ini? Apakah jantan dan betina memang seharusnya duduk bertingkat?".
Lamunannya terhenti. Dia melihat dari kejauhan. Di sisi kanan ladang, tampak tongkrongan sapi jantan gahar sedang menggoda sapi-sapi betina. Di seberangnya terlihat gank sapi betina eksis sedang bergerombol sambil mengeluarkan jurus-jurus genit. Eman hanya tersenyum. Sesaat dia berbisik, "ehm, rasanya..... ingin jadi steak".

16:31
Bandung, 22/4/2011
Untuk Shir yang ingin disetarakan, bukan dispesialkan.

[Saksi Fiksi] Pernikahan Sandi Wara

Blue Valentine (2010), the real portrait of marriage.

"Cara termudah untuk menghancurkan cinta adalah menikah. Ketika kebebasan Anda direnggut dengan formalitas status, Anda akan mati-matian untuk bertahan hidup. Anda akan menjadi palsu, penuh kemunafikan yang memaksa Anda menjadi seseorang yang tidak sejati. Saya harap kalian segera membatalkan pernikahan ini. Terima kasih". Hening. Semua mata tertuju pada pria bungkuk yang bergelagat aneh itu. Bahkan setelah berhasil membuat puluhan orang canggung, dia tidak tampak terganggu. Raut wajahnya datar seperti baru membacakan tata cara memasak mie instan. Ayah Wara pun berinisiatif menyelamatkan acara ini.
"Ehm... Oke, baiklah. Terima kasih atas..... Ehm... Ya... Maaf dengan bapak...".
"Sutri"
"Ya, Pa...Sutri. Ehm.."
Pak Sutri tersenyum kecil.
Acara lamaran Sandi Wara sebenarnya berjalan baik-baik saja sebelum Pak Sutri meminta ijin untuk memberikan wejangan. Tidak ada yang mengetahui asal muasalnya. Mungkin karena dihadiri lebih dari 100 orang, semua tamu menganggap dia adalah bagian dari keluarga besar itu. Ya tradisi menikah, beranak, dan bertukar kesombongan memang kuat di keluarga Sandi dan Wara. Bayangkan jumlah anggota keluarga yang terdaftar.
Pak Sutri mungkin berumur 50-an. Kepalanya mengalami kebotakan yang kurang elok, batiknya lusuh, dan berkacamata minus tebal. Sekilas dia terlihat seperti bapak-bapak standar yang akan banyak ditemukan di acara kondangan atau rapat RT. Tapi Pak Sutri memilki aura yang sangat kuat. Dia mampu mengundang perhatian 100 orang asing hanya dengan berdiri di tengah ruangan. Dan sore itu, Pak Sutri berhasil membuat seluruh tamu terbengong.
Setelah kecanggungan berlalu, Lamaran Sandi Wara dimulai. Sandi terlihat tampan. Wara tampak anggun. Keduanya masih sangat muda. Sandi mungkin 25 tahun, Wara 22 tahun. Masing-masing keluarga melaksanakan formalitas memohon 'perijinan'. "Sebuah klise yang menyedihkan", pikir Pak Sutri. Prosesi itu pun usai dan dilanjutkan dengan "silahkan menikmati hidangan". Di saat inilah Pak Sutri kehujanan sapa dari para tamu. Ada yang bersahabat, ada yang sedikit tidak sopan, ada yang penasaran, ada yang sekedar bertanya basa-basi yang basi. Ketika ditanya "Pak Sutri, Bapak ini dari keluarga Sandi atau Wara?". Pak Sutri hanya menjawab: "Saya kerabat lama. Lama sekali. Mungkin sudah dilupakan".
"Hmm, dari keluarga Sandi atau Wara?"
"Kita semua adalah keluarga"
"Orang gila..."
"Sandi atau Wara?"
*****

"Kamu kenal dengan orang itu?", tanya Wara pada Sandi di saat sesi makan.
"Tidak. Kamu?".
"Ngapain aku nanya kalau aku kenal", jawab Wara ketus.
Wara benar-benar penasaran dengan Pak Sutri. Dia terus memperhatikannya dari jauh. Pak Sutri selalu terlihat menyendiri. Wara terus menunggu saat yang tepat untuk berbicara 4 mata dengannya. Dia hanya ingin tahu siapa Pak Sutri sebenarnya. Mengapa dia begitu aneh? Dan kenapa dia tiba-tiba ada di sini?
Wara terus bertanya-tanya dalam hati hingga dia tidak sadar Pak Sutri berjalan perlahan menghampirinya. "Wara". Perempuan muda itu terkejut.
"YA?".
"Bisa bicara sebentar? Di tempat yang lebih sepi. Kalau memungkinkan, benar-benar SEPI"
"Ehm... Oke. Mari ikut saya."
Kecurigaan Wara tertutup rasa penasaran yang besar. Wara mengajaknya ke gudang di halaman belakang rumah. Tempat itu gelap, kotor dan benar-benar tidak terekspos dari keramaian. Wara pun memulai pembicaraan, "Sebelumnya, saya ingin bertanya, siapa Anda?"
"Saya adalah masa depan kalian"
Wara mengernyitkan dahi. Entah apa maksud Pak Sutri.
"Wara, lebih baik kamu batalkan pernikahan ini. Selamatkan dirimu, dan jangan hancurkan masa depan Sandi"
"HAH? Apa maksud kamu?? Siapa kamu?? Apa maksud kamu datang ke sini?? Kamu ingin menggagalkan pernikahan ini??". Wara sangat kaget dan marah. Terdengar dari perubahan diksi yang digunakan, dari 'Anda' menjadi 'kamu'.
"Ya, saya ingin kamu menghentikan pernikahan ini. Demi kebaikanmu dan Sandi. Selamatkan dirimu. Kamu adalah orang yang bebas, Wara. Kamu tidak harus mengikuti tradisi keluargamu dan melacur untuk menjadi istri seseorang. Tidak. Saya tahu, bukan ini yang kamu inginkan"
"OH! Saya tahu siapa kamu. Kamu adalah orang kiriman Sandra bukan?! Ayah Sandra tidak ingin Sandi menikah selain dengan anaknya agar dia bisa merebut kuasa perusahaan ayah Sandi!! HAH?? Lebih kamu sekarang pulang dan katakan pada bosmu itu kalau Sandi tidak akan menikah dengan anak PE-CUN-DANG!!"
Pak Sutri hanya berdiam mendengarkan Wara berbicara. Ekspresinya tidak berubah. Tetap dingin dan suram. Dirasa cukup, Pak Sutri kembali angkat bicara.
"Wara. Saya hadir di sini untuk kalian, bukan siapa-siapa". Pak Sutri mengeluarkan rokok kretek dari kantong dan membakarnya. Matanya mulai menerawang. "Pernikahan adalah sandiwara. Sebuah pentas tragedi di mana tidak ada akhir yang bahagia"
Wara mengejek. "WAH, orang bayaran seperti kamu ternyata dramatis juga. Cukup! Saya akan laporkan polisi tentang hal ini. Sandra dan ayahnya akan mendapat konsekuensinya!". Kini intonasi Pak Sutri naik 3 oktaf, "WARA. BATALKAN PERNIKAHAN INI, ATAU SAYA AKAN HENTIKAN".
Wara membalas dengan santai. "Maaf, saya tidak terintimidasi. Saya akan memperjuangkan pernikahan ini apa pun yang terjadi. SAYA MENCINTAI SANDI".
Pak Sutri terdiam. Hening selama 5 detik. Raut wajahnya kali ini berubah. Kelemahannya mulai terlihat kasah mata.
Wara kembali berbicara ketus. "DENGAR KAMU?! Sekarang saya akan kembali dan...". Kalimat itu terpotong. Secepat kilat Pak Sutri mengeluarkan pisau komando dari kantongnya. Wara tertegun. Sebelum mampu berbuat apa-apa, Pak Sutri dengan sigap langsung menghujamkan pisau itu ke perut Wara. Perempuan itu mengerang kesakitan. Darah bercucuran. Pak Sutri mencabut pisau dari perutnya lalu kembali menghujamkannya ke titik yang berbeda. Mencabut. Lalu menghujamkan kembali. Terus-terusan. Pak Sutri hilang kendali. Dia membabi buta hingga Wara tersungkur. Pak Sutri kembali melancarkan serangan mematikan. Memukul-mukul wajah Wara, menghujam-hujamkan pisau. Pak Sutri mulai menangis. Seketika Wara sudah tidak bernyawa. Tubuhnya bermandikan darah. Pak Sutri terus menangis. Dia mulai histeris.
Di tengah tangisnya, Pak Sutri menyadari sesuatu. Dia tidak hanya berdua di gudang itu. Seseorang sepertinya baru datang. Segera dia tengok ke arah pintu. Sesosok pria berteriak saat melihat pemandangan mengenaskan di depannya.
"WARAAA!!!!"
Sandi.
*****
Pak Sutri berjalan tergesa-tergesa melewati kerumunan di ruang utama rumah Wara. Wajahnya terlihat cemas. Beberapa kali dia tidak sengaja menabrak tamu di sekitarnya. Dia berusaha keluar. Mencari pintu. Di tengah-tengah perjalanan, dia mendengar seseorang bertanya pada seseorang lainnya, "ada yang melihat Sandi Wara?".
Dia terus mempercepat pergerakan kakinya. Hingga akhirnya dia berada 3 meter menuju pintu keluar. Salah satu tamu yang tadi menghampirinya saat sesi makan-makan menyadari Pak Sutri sedang bergegas ingin pergi. Dia pun menyapa dengan ramah dan polos. "Sudah ingin pulang Pak Sutri?"
Pak Sutri menengok sedikit ke arahnya. "Iya".
"Baiklah, sampai bertemu di pernikahan ya!"
"Saya tidak datang"
Si tamu bingung. "Kenapa?"
Sambil terus berjalan keluar tanpa menoleh sedikit pun, Pak Sutri menjawab, "ini cuma pernikahan Sandi Wara".
*****
Waktu menunjukkan pukul 3 pagi. Di sebuah kamar rumah mewah, seorang pria tidak bisa tidur. Dia hanya terbaring di atas spring bed-nya sambil memperhatikan langit-langit. Sandi. Rambutnya penuh uban, kulitnya keriput, perutnya membucit. Sandi yang terlihat berumur 50-an tahun itu menghelas napas. Dia menengok ke sebelahnya. Wara. Tidak lagi cantik. Kulitnya keriput, rambutnya mengalami kerontokan. Wara tua terlihat tidur pulas sambil mendengkur dengan sangat keras.
Sandi pun beranjak dari kasurnya. Berdiri sebentar. Terlihat bingung. Lalu ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Setelah merasa lebih segar, dia berjalan ke ruang kerjanya dan menyalakan komputer. Air mukanya sedih. Mendeskripsikan depresi permanen. Dia meletakkan badannya di kursi depan layar dan mulai menggerakan mouse. Sandi membuka sebuah file yang berisi tulisan panjang. Terlihat judulnya, "Pernikahan Sandi Wara". Pria itu kembali menghela napas panjang. Dengan berat hati dia menuliskan sesuatu di bagian paling bawah tulisan tersebut, "NB: Saya harap Pak Sutri benar-benar hadir di pernikahan saya".




01:26 WIB
Bandung, 24 Maret 2011
Untuk semua pasangan yang bahagia dan tidak.

[Saksi Fiksi] Profesor Itu Mendadak Goblok!

Profesor Jeni Uskali seperti kehilangan intelektualitasnya 2 minggu belakangan ini. Dia tidak tahu lagi apa itu ilmu, sains, ataupun logika. Rambutnya mulai keriting karena stres, badannya pun mengeluarkan bau tidak sedap karena jarang berhubungan intim dengan air dan sabun. Dan yang lebih parah lagi, dia tidak sadar kalau dia mendadak goblok! Bahkan dia tidak mengakui kegoblokannya ini. Suaminya, Mahir Berdendang, bilang dia stres dengan penemuannya sendiri. Anaknya bahkan menyewa psikolog ternama untuk membantunya. Berbagai ahli psikologi, dokter kejiwaan, bahkan pendeta setempat ikut menolong keluarga Profesor Jeni. Nihil. Walaupun banyak teori yang muncul, tapi tidak ada yang mengerti kenapa profesor cantik itu kehilangan akalnya. Kasus ini pun menjadi bahan baku tumis gosip yang menggugah selera. Awalnya, hanya ibu-ibu tetangga yang bergunjing. Kemudian masing-masing ibu membicarakan dengan suaminya, suaminya memberitakan ke teman kantor, teman kantornya membahas lewat jejaring sosial, .... Ya, kemudian semua orang tahu. Wartawan mulai berdatangan ke rumah Profesor Jeni dan bertanya, "Profesor Jeni Uskali, apakah benar profesor mendadak goblok?".

*****
Fenomena ini berawal 3 bulan lalu ketika Profesor Jeni memutuskan untuk menemukan teori tentang terbentuknya alam semesta. Dia tidak percaya teori Big Bang dan juga meragukan Ketuhanannya. Setelah berbagai macam riset dan eksperimen, dia tidak pernah keluar dari lab bawah tanahnya. Beberapa kali suaminya berkunjung ke bawah, Profesor Jeni selalu terlihat melamun. Berpikir keras. Dan kadang-kadang menceritakan tentang misinya kepada Mahir.
"Kamu itu kan ilmuwan. Kenapa tiba-tiba tidak percaya dengan ilmu?". Sambil tetap melamun, Profesor Jeni balik bertanya, "Kamu itu kan musisi, kenapa lebih percaya dengan telinga pendengar daripada keahlian kamu?". Mahir terdiam. Kemudian melanjutkan dengan intonasi menurun. "Ini hal yang berbeda. Lagipula bila kamu tidak percaya sains dan tuhan, apa lagi yang bisa kamu percaya?". "Aku meragukan tuhan, bukan tidak percaya", pungkasnya dingin sambil terus berbicara.
"Ada yang lebih besar dari manusia, tapi tidak sebesar apa yang disebut-sebut sebagai 'Tuhan'".
"Lalu, kamu mau menemukannya lewat pemikiran seorang manusia juga?"
"Paling tidak, hanya aku yang menyadari ini semua"
"Hahaha. Jadi kamu yang paling benar dari semua orang?"
"Tidak ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah keyakinan besar"
Mahir langsung tertegun. Cukup lama. Dengan susah payah, dia mengeluarkan kalimat, "makan malam sudah siap".

*****
Beberapa minggu setelah Profesor Jeni mendadak goblok, wartawan mulai bosan dengan kasus ini. Tetangga-tetangganya pun mengganti bahan pergunjingan. Suaminya sudah lelah dan anaknya semakin tidak peduli. Hampir tidak ada lagi orang yang memperhatikan fenomena Profesor Jeni. Sampai suatu hari, pintu rumahnya diketuk tiga kali.
Tergopoh-gopoh, Mahir menuju pintu untuk memastikan siapa yang datang di pukul 10 malam tanpa membuat janji terlebih dahulu. "Ya, ada yang bisa saya bantu?". Mahir menatap dua pria misterius itu dengan keheranan. Mereka pun tidak langsung menjawab. Tamu-tamu ini terlihat aneh. Yang satu menggunakan jaket kulit, celana bahan, dan kacamata hitam seperti layaknya detektif di film-film Hollywood 90-an. Badannya pun tinggi tegap berotot. Sedangkan temannya yang pendek dan kurus seperti baru hilang di gunung. Pakaiannya lusuh, celana pendeknya sobek, dan wajahnya menggambarkan kalau dia belum tidur dalam beberapa hari. Akhirnya si detektif jejadian angkat bicara, "Apakah benar ini rumah Profesor Jeni Uskali?". Suaranya benar-benar tidak menggambarkan penampilannya. Cempreng sekali. Seperti Chihuahua berbadan Rambo.
"Ya, betul. Ada keperluan apa?"
"Anda pasti Mahir Berdendang?"
"Ya. Maaf ada keperluan apa?"
Detektif Rambo dan si orang gunung malah tertawa terbahak-bahak.
"Hmm... maaf saya tidak mengerti. Anda berdua ada keperluan apa? Kalau tidak ada, saya akan...".
"PAK MAHIR, APAKAH ISTRI ANDA ADA?". Si orang gunung langsung memotong pertanyaannya dengan nada yang kurang bersahabat. Mahir pun terkejut. "A..a..ada. Mau saya panggilkan?". Mereka berdua malah menatap satu sama lain, saling memberikan ekspresi 'menurut-lo-gimana?'. Detektif cempreng akhirnya kembali menjawab, "Tidak usah, biar kami masuk saja. Dia di lab bawah tanahnya bukan?". Mahir kali ini benar-benar bingung. Siapa mereka? Kenapa mereka aneh dan mencurigakan? Bagaimana mereka tahu istrinya sedang di lab? Dan bagaimana mereka tahu labnya ada di bawah tanah?
"Hmm... baiklah, silahkan masuk".
Sesaat keduanya langsung masuk ke rumah dan tanpa basa-basi, mereka berjalan lebih dalam. "Mari saya tunjukkan tempatnya".
"Tidak perlu". Mereka berdua tetap berjalan seperti sudah hafal isi rumahnya.
Mahir terbengong-bengong. Dia benar-benar tidak mengerti situasi ini. Dia sungguh tidak tahu harus berbuat apa.

*****
"Profesor Jeni".
Profesor Jeni kaget. Lalu terbahak-bahak karena melihat sumber suara cempreng itu. "Ya, kalian siapa? Ada yang bisa saya bantu?". Detektif Rambo menjawab dengan tegas sambil memamerkan kartu pengenal. "Saya dari P.E.R.F.E.K., Pembela Realita, Fakta, dan Etika". Orang gunung pun tak mau kalah, "Saya mitranya dari TIADA".
"Tiada?".
"Tuhan Itu Ada".
Ekspresi Profesor Jeni menandakan dia baru pertama kalinya mendengar kedua organisasi itu. "Lalu... Apa urusan kalian dengan saya".
"Kami mendengar dan membaca berita tentang misi Anda". Kali ini si orang gunung yang angkat bicara. "Profesor Jeni, saya mewakili TIADA untuk meniadakan kelanjutan misi Anda karena dianggap berbahaya bagi diri Anda dan masyarakat. Saya di sini.... untuk menyelamatkan Anda".
"Menyelamatkan saya??". Sinis. "Maaf, saya tidak sedang dalam bahaya atau pun menimbulkan bahaya. Dan saya tidak butuh DISELAMATKAN oleh siapa pun. Jadi, terima kasih dan silahkan keluar dari rumah saya."
"TIADA mungkin ingin menyelamatkan Anda". Detektif Rambo menyambar. "Tapi saya ditugaskan untuk menangkap Anda atas tuduhan 'penyelenggaraan aktivitas pengaburan realita dan pembunuhan fakta', semua itu melanggar etika".
Tiba-tiba semua menjadi gelap.

*****
"Selamat malam!! Kembali lagi bersama saya, Wawan Caraka dalam Cara Wawan!!". Pembawa acara itu sangat menjengkelkan. Suaranya melengking, gesturnya menggelikan, dan rambutnya warna warni. Tidak seperti biasa, pukul 8 malam hari Jum'at, Cara Wawan dinantikan pemirsa RealiTV. Mungkin orang mendadak tertarik karena Wawan Caraka akan melakukan wawancara dengan Profesor Jeni yang sempat menjadi trending topic lalu menghilang, kemudian muncul lagi.
"Para pemirsa pasti sudah tidak asing lagi dengan tamu saya. Dia adalah profesor. Profesor itu biasanya pintar, tapi yang ini... kok MENDADAK GOBLOK???". Lelucon tidak bermutu itu disambut tawa palsu penonton di studio.
"Tapi pemirsa, setelah profesor ini mendadak goblok, sekarang dia kembali lagi dengan intelektualitasnya yang tidak meragukan. Ya, sambutlah PROFESOR JENI USKALI!!!".
Tepuk tangan meriah. Teriakan-teriakan bersemangat. Wajah-wajah penasaran.
"Malam, Prof".
"Malam".
Profesor Jeni terlihat sangat berbeda malam itu. Dia sehat, tertata, rapi, dan tidak terlihat seperti Profesor Jeni beberapa waktu yang lalu.
"Profesor Jeni, apa yang terjadi? Bagaimana Anda berhasil mendapatkan akal Anda kembali??"
"Ya, waktu itu saya khilaf. Tapi sekarang saya sudah kembali. Saya... sudah tobat".
"Wow, wow, wow. TOBAT?? TUKANG OBAT?? HAHAHA".
Tidak ada yang tertawa.
"Lalu prof, rencana ke depan apa ni? Balik lagi ke lab? Kabur ke Meksiko? Atau jadi capres?". Wawan masih melanjutkan dengan guyonan anehnya.
"Saya sudah menemukan jalan hidup saya. Saya ingin pensiun. Saya ingin berhenti dari semuanya dan menjadi ibu rumah tangga penuh pengabdian."
"Oooohhh...oke oke. Ah Profesor ini mengingatkan pada ibu saya!"
"Oh.. Apakah dia ibu rumah tangga yang baik?"
"Bukan, dia... ibu rumah... TETANGGA"
Apakah itu lelucon? Tidak ada yang tahu.
"Oke prof, saya dengar gosip ni. Tidak ada yang tahu Profesor Jeni pergi ke mana selama 2 hari. Malam itu, Profesor menghilang begitu saja. Lalu kembali menjadi orang yang 360 derajat berbeda". Maksudnya 180 derajat. "Apa yang sebenarnya terjadi, prof??"
Profesor Jeni bingung. Dia seperti benar-benar lupa apa yang terjadi, ke mana dia pergi.
"Saya... Hanya mencari udara segar. Saya kabur untuk sementara. Karena saya penat". Profesor Jeni langsung mengalihkan pembicaraan. "Ya, yang penting sekarang saya di sini. 100% sadar. Saya pernah ada, menghilang, dan sekarang saya muncul dalam versi yang lebih baik lagi. Sekarang saya yakin, kebenaran itu hanya satu. Kepastian itu ada. Dan saya salah selama ini... "
Wawancara itu terus berlanjut.

*****
Di tempat lain, seseorang sedang menonton Cara Wawan di televisi. Tempat ini misterius. Sama sekali tidak ada yang mengetahui. Sosoknya pun aneh. Tidak ada yang mengenal siapa dia. Identitas yang benar-benar absurd. Manusia tanpa kepastian ini hanya duduk dengan santai menikmati wawancara Profesor Jeni. Dia merokok sambil mendengarkan dengan seksama.
"...sekarang saya yakin, kebenaran itu hanya satu. Kepastian itu ada. Dan saya salah selama ini..."
Mendengar pernyataan itu, dia hanya membuang napas. Sambil menggelengkan kepala, dia berkata, "Profesor itu benar-benar mendadak goblok".


13:49
Bandung, 13 Februari 2011