Jumat, 03 Juni 2011

Zoom-In




Sesuai brief yang diberikan dosen kami untuk mata kuliah Eksekusi Pesan Iklan Audio & Audio Visual, kami diberikan kesempatan untuk melakukan suatu hal yang bersifat membantu, berguna, atau membahagiakan orang lain. Demi mendapatkan apresiasi, tanggal 26 September lalu kami memutuskan untuk memberikan peci, baju koko, dan sarung kepada orang yang kami anggap kehidupannya tidak senyaman dan senikmat milik kami –mengingat Hari Lebaran tinggal 5 hari lagi. Di luar dugaan, seiring berjalannya proses berkerja, ternyata kami mendapatkan sesuatu yang lebih dari yang kami harapkan.
Sebenarnya kami sudah diberikan tenggat waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas ini, satu minggu. Tapi entah karena kami penganut filosofi deadliner, bagi kami H-1 adalah waktu yang paling tepat untuk melaksanakannya. Hari Jum’at, pukul 12.30, terlambat satu setengah jam dari yang dijanjikan sebelumnya, akhirnya semua anggota kelompok berkumpul di FISIP. Kami berencana untuk membeli semua bahan di ITC Depok siang itu. Setelah kemacetan jalan raya, panas matahari, dan ketidakteraturan jalur parkir gedung ITC, akhirnya kami sampai di dalamnya. Harapan-harapan seperti “saya mohon, sepi!” atau “mereka menjual murah dan mudah untuk dicari” pun pupus seketika saat kami memasuki area berjualan pakaian dan sejenisnya. Lagi-lagi setelah berenang di dalam keramaian manusia, kesulitan untuk menawar murah, dan kelelahan berlipat, kami mendapatkan lima peci, lima baju koko, dan lima sarung untuk kami berikan kepada satpam, karyawan kebersihan, atau supir bis kuning.

******

Di sepanjang perjalanan kaki kami dari parkiran mobil menuju FISIP, kami terus berpikir keras tentang siapa yang  ‘beruntung’ untuk kami ajak berbicara sedikit dan kami berikan seperangkat pakaian untuk Lebaran. Tidak seperti yang kami kira, baru saja memasuki area FISIP kami melihat seorang karyawan kebersihan sedang duduk beristirahat. Tanpa pikir panjang, kami langsung mendekatinya. Kami sering sekali melihat orang ini di area FISIP. Yang paling diingat dari orang ini adalah salah satu kakinya yang pincang tapi tetap berjalan keliling kampus untuk membersihkan sampah. Setelah basa basi dan pertanyaan sana sini, kami akhirnya mengenal sedikit tentang orang asing yang selalu ada di dekat kita ini. Namanya Eman, dia sudah berkerja di FISIP dari tahun 2003. Sebelum ini dia berkerja di pabrik sepatu di Tangerang tapi karena pendapatan yang dianggap kurang, Eman memutuskan untuk mencoba pekerjaan lain. Walau begitu, sejak di FISIP, dia harus rela pulang pergi ke rumahnya di Parung. Ternyata kaki pincangnya itu didapatkan saat Eman masih SMP. Eman mengalami kecelakaan, sebuah mobil menabraknya. Ketika mendengar tentang itu, saya langsung merasakan ada ‘OOW’ panjang di dalam seluk beluk benak dan pikiran saya. Seperti mendapatkan sebuah informasi yang selama ini terlihat namun tidak terbaca. Setelah mengetahui tentang rencananya untuk pulang kampung ke Bogor di hari Lebaran, kami langsung memberikan ‘hadiah’ tersebut. Raut wajahnya tersenyum. Sesuai harapan kami.
Orang kedua adalah seorang pembersih Kantin Psikologi yang sudah agak tua. Kami juga sering melihatnya. Giginya yang ompong dan gaya bicaranya yang agak aneh menjadi sesuatu yang selalu kami ingat. Bapak Tantri Lala sudah berkerja sekitar 4 tahunan. Dia berkerja dari jam 6 pagi sampai kantin tutup untuk mendapatkan Rp 20.000,00 per harinya. Dia tinggal bersama teman-teman kantinnya di kontrakan walaupun dia memiliki keluarga di rumahnya, Tanjung Priok. Saya sedikit terkejut sekaligus kagum dengannya saat diceritakan bahwa sebelum berkerja di sini dia adalah seorang pelaut selama 15 tahun. Pak Tantri mengelilingi dunia dan mengarungi samudra. Dia berhenti karena umurnya yang sudah hampir mendekati kepala enam. Tanpa obrolan basa basi dan pertanyaan tidak penting, kami memberikan bingkisannya. Lagi-lagi tersenyum.
Karena terpotong jam kuliah dan buka puasa, kami melanjutkan lagi pada pukul 19.30. Kami sempat putus asa saat bis kuning tidak menampakkan diri dalam waktu yang cukup lama. Seketika rencana untuk memberikan ‘hadiah’ kepada supir bis kuning pun gagal. Kami memutuskan untuk pergi ke parkiran motor FISIP dan bertemu dengan satpam yang berjaga di area tersebut. Bapak Budiono adalah orang yang sedikit gemuk dan terlihat tua. Dia sudah berkerja dari tahun 1995, cukup banyak baginya yang sudah dirasakan di FISIP. Selain itu tampaknya, dia sangat menguasai bidangnya, karena sebelum ini dia juga menjadi tenaga keamanan di sebuah supermarket. Bila ada orang kehilangan barang di area FISIP, sepertinya dia merupakan orang yang sudah makan banyak asam garam dalam permasalahan ini. Ketika pembicaraan selesai, saya mengalami déjà vu saat melihatnya tersenyum sambil memegang bingkisan dari kami.
Waktu menunjukkan pukul 20.30 dan kami mulai merasa lapar. Saat yang tepat untuk menghampiri pedagang bakpao yang sudah tua dan sering terlihat berjalan bolak balik di FISIP sambil memikul dagangannya. Dalam sekejap pun kami menemukan ide untuk menjadikannya orang ke-4 kami. Saya baru mengetahui namanya sekarang setelah puluhan kali saya membeli bakpaonya, Bapak Enang. Orang asal Cibaduyut, Bandung ini sekarang tinggal di Ciracas dan setiap hari ke FISIP untuk menjual 40 bakpaonya. Dia memiliki 3 orang anak dan 1 istri yang semuanya tinggal di Cibaduyut. Kerja kerasnya untuk menghidupi keluarganya ini pun juga tidaklah mudah. Selain pendapatan sedikit dan dagangannya belum tentu habis, Bapak Enang sering dikejar oleh pihak keamanan FISIP karena tidak boleh berdagang di FISIP tanpa ijin. Untuk menambah kebahagiaannya dalam memenuhi rencananya untuk pulang ke Bandung, kami memberikan bingkisan tersebut. Wajahnya yang tua dan tirus karena badannya yang sangat kurus sekilas tampak mencerah karena senyumannya. Kami pun bersalaman dan saling berterima kasih.

******

1 jam berlalu. Tapi 1 tas masih tersisa. Kami sudah terlalu lelah karena tugas-tugas semester 5 sudah melewati batas normal. Dengan menyesal kami menyerah dan merasa cukup dengan 4 orang. Tapi karena adanya sedikit kerendahanhati, kami memutuskan besok untuk tetap memberikan bingkisan ini kepada orang yang kami pikir akan tersenyum tulus ketika menerimanya. Ya, tersenyum tulus. Sebuah senyuman yang berasal dari perasaan, bukan otot syaraf. Empat senyuman hari itu benar-benar membuat kami juga tersenyum.
Ada perasaan aneh ketika kami mulai berbicara dengan mereka. Orang yang hampir setiap hari tidak pernah lolos dari penglihatan kami, orang yang mungkin kita ajak berkomunikasi tapi seperlunya saja dan tidak lebih dari 1 menit, kali ini kami benar-benar melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Sudut pandang yang sudah dizoom-in 100x. Ternyata di balik pekerjaannya yang kecil itu, mereka juga memiliki cerita dan kehidupan yang menarik. Setelah melihat dengan sudut pandang yang lebih dekat, kami melihat sebuah senyuman dari masing-masing. Senyuman yang semestinya membuat kami malu apabila berkeluh kesah menjadi rutinitas kami tiap menitnya. Senyuman yang tulus dan bahagia dari seseorang yang kami kira tidak dapat tersenyum karena mereka tidak memiliki kehidupan yang kami miliki. Senyuman yang berkata bahwa hidup itu indah. Senyuman yang membuat KITA berkata hidup itu indah.
Jakarta, 27-9-2008
02:47 AM