Kamis, 11 Desember 2014

[Subliminal] Intimasi dalam Hujan



Momen magis saat serbuan vertikal air datang menerjang
Tak berbasa-basi, begitu saja menyerah pada gravitasi
Sesaat mencipta ruang isolasi hangat
Akses terbatas menuju realitas
Sejenak menipu kita untuk percaya bahwa dunia ini kecil secuil
Sekecil gulana yang tertinggal usai akhir pekan semu

Di balik jeruji air ini, aku berkhayal tentang kamu
Tentang segala intimasi yang melupakan inti hati
Tentang bahagiamu yang kamu pinjamkan pada semua orang, pada keadaan
Tentang semua ekspektasi yang hanya jadi ilusi
Tentang bagaimana lara yang kamu pelihara dan semua hal yang gagal jadi pelipurnya

Aku harap setiap tetes air bisa mengertimu, bisa membilas pilu andaikan memang kamu tuliskan, bukan kamu hidupkan
Karena bila bukan hujan yang bisa mengembalikan intimasi kamu dengan kebahagiaanmu, maka aku tak tahu lagi apa yang bisa

Minggu, 26 Oktober 2014

[Subliminal] Keluarga

Terus berjalan selama hayat masih dikandung badan

Tak henti berkembang walau hidup ini hanya meminjam

Biar makan tak makan asal kumpul, akhirnya juga kenyang garam

Garam yang mengajarkan gajah mewariskan gading, harimau meninggalkan belang

Garam yang mengingatkan untuk mengembalikan padi pada yang akan meneruskan.

Minggu, 18 Mei 2014

[Subliminal] Puisi Isi Ilusi

Hari ini saya membenci
Membenci eksistensi diri ini
Ini pribadi yang terlalu banci
Terlalu banci untuk mengakui kebancian
Kebancian yang terganti kebencian
Kebencian akan kebencian terhadap kebancian

Petang ini indah, sayang hati gundah
Gundah bukan masalah hati, tapi tentang gerah berhati-hati
Hati-hati yang berhati-hati sampai makan hati sendiri
Sendiri tak berani, tapi berdua ingin mati
Mati tak bilang, hidup bilang sayang
Sayang, apa jangan-jangan kita cuman bayangan?

Biar nyata atau fiktif, semua kata menjadi destruktif
Destruktif tapi esensial, semoga saja tak bikin sial
Sialnya, kadang artifisial, kadang natural
Natural seindah koral, bikin yakin semua mungkin
Mungkin juga bukan natural namun artifisial
Artifisial macam diramal: terpaksa percaya semua hal

Lalui masa sebelum jadi masa lalu
Masa lalu yang tak hanya bikin malu tapi juga pilu
Pilu bagai dipaku palu

Lalu,

masa lalu siapa yang bersembunyi di akhir cerita?



17:30
Pasar Baru, Jakarta

Minggu, 13 April 2014

[Subliminal] Thank You, Eve

"Thank you for this. I've had enough masturbating."

                                                                                           -Adam to Eve (in gasping breath).

[Saksi Fiksi] A Tale of a Tail

There was a told tale about a man with a tail,
everyone said his future was about to fail.

Some says it's a curse, others thought as a gift,
but he only has one question: "how am I to live?"

He was ashamed, he was depressed,
for his divergence as an eternal dress.

Every male would mock, every female would sneer,
loneliness and unhappiness are constantly his fear.

His innocent tail finds the true meaning of blame,
for its existence is never wanted and always a shame.

One day he entered the kitchen and seized a knife,
he thought as the only way in finding a wife.

He wants to be happy and wished nothing but ordinary,
he chopped his tail then greet his normalcy.

Soon he ran into a lady who was pretty as could be,
they fell in love and he finally felt free.

Yet in the end, she refused to be married,
when asked why, she suddenly got worried.

She asked him back after powerfully biting a nail,
"do you really want to marry a girl who owns a tail?"


Kamis, 20 Maret 2014

[Subliminal] Contemplation I: Sorrow to Borrow





There was a girl who came out of a tree,
she thought she's human, but she's really a cherry.

With her red skin she never forgets to carry,
she felt nothing underneath but merry and cheery.

One day she fell and she fell really hard,
yet she didn't fall apart, she still has her heart.

She recalls not her agony nor her tragedy,
but how to be free and how to be jolly.

Up on the tree, she lived so comfortably,
where the world was to see and never to be.

She finally gave up and about to climb down,
to be excited for the adventure to be found.

She might be in danger, she would be at low,
but she was honestly sure, that she hoped to grow.

She would borrow my sorrow and take it to her new tree,
just to remind her that she will always be a happy cherry.

Jumat, 07 Maret 2014

[Saksi Fiksi] Penerbangan Terindah


Kabin pesawat, Jawa Tengah, 28 Desember 2013, 16:19 WIB

Jodi melempar tatapannya ke luar jendela pesawat. Bukan karena pemandangan untuk diingat, tapi keadaan cuaca yang ingin segera dia lupakan. Sore itu, Jodi di dalam perjalanan pulang dengan rute Bali-Jakarta setelah menghabiskan serangkaian kontrak kerja selama 5 hari di pulau impian. Jodi dikirim untuk meliput festival kebudayaan yang dia nilai sebagai “klise”, “tanpa kejutan”, dan “variatif namun hambar”. Biasanya dia berkelana dengan fotografer untuk menemaninya, tapi kali ini dia berada dalam misi solo. Padahal, setiap kali ada pekerjaan, hati kecilnya selalu berharap, semoga fotografer ini adalah perempuan muda, cantik, dan bersemangat di mana kita bisa bersama mengarungi petualangan kecil yang akan mengarahkan cinta lokasi tanpa skenario. Apa daya, dia selalu dipasangkan dengan pria gendut-bau-badan, mas Jowo dengan ocehan-abadi-yang-tidak-menarik, ataupun om berjenggot nan ultra-islami. Bahkan sekarang dia harus menempuh semuanya sendiri.
            Pesawat kembali terguncang. Kali ini lebih keras dan lama dari sebelumnya. Hari itu sebenarnya pesawat nyaris tidak berangkat mengingat cuaca yang sangat buruk. Walau Jodi sedikit khawatir, dia sedikit lega dengan mengingat jam terbangnya yang mencatat probabilitas menguntungkan: 100% dari pengalamannya menumpang pesawat diakhiri dengan selamat. Tapi bagi sebagian orang suasana di situ sangat mencekam: turbulensi konstan, bayi yang tidak berhenti menangis, dan ekspresi panik salah satu pramugari. Pramugari! Mereka seharusnya memberikan rasa tenang bukan seolah meyakinkan penumpang kalau perjalanan ini tidak baik-baik saja.
            Jodi yang duduk di kursi lorong alias aisle mencoba mengabaikan horor 40.000 kaki itu dan memilih untuk bercengkerama dengan memori. Lebih tepatnya, dengan kejadian sekitar 60 menit yang lalu. Jodi baru saja memasuki badan pesawat saat dia menyaksikan senyuman terindah yang pernah dia konsumsi. “Selamat sore, Pak.”, ujar bibir itu. Jodi berusaha keras untuk membalasnya dengan senyuman terbaik. Terbaik dari yang terbaik. Tak hanya itu, kedalaman kontak mata pun dia jaga teliti dengan sedikit harapan bahwa interaksi ini tidak hanya berakhir di kamar mandi sebagai fantasi seksual yang menemani mobilitas statis tangan kanannya.
Pria 28 tahun itu sesungguhnya lelah akan realitas yang sering tidak berjodoh dengan ekspektasi. Sebenarnya, dia merupakan pria tampan. Tidak sempurna dan bersih dari goresan sedikit pun layaknya bintang FTV tanpa kepribadian menarik, tapi dia keren. Karakter uniknya mengeluarkan energi tambahan untuk mengubah sekedar ‘keren’ menjadi ‘ganteng’. Tak hanya orang-orang di sekitarnya yang menyadari ini, bahkan Jodi pun awas akan ketampanannya. Namun apalah arti itu semua tanpa keberanian yang mengimbangi. Jodi hanya memanfaatkan ketampanan, intelektualitas, dan karismanya sebagai modal bermain mata atau bergenit-genit minimalis yang biasanya disambut positif oleh lawan mainnya. Sayangnya, semua itu tidak akan berlanjut ke episode berikut. Segala kisah tamat di situ, dan Jodi akan melanjutkan dengan versinya sendiri –atau sebut saja ‘berkhayal’-.
Di tengah goncangan pesawat yang semakin menggila, Jodi kembali berkelana ke sekitar 50 menit yang lalu di mana pesawat masih bersiap-siap untuk lepas landa. Jodi baru saja keluar dari toilet pesawat dan kembali menemukan si empunya senyum terindah. Secara alami, dua buah senyum tulus tertukar dengan mulus. Di balik kacamata Jodi, pupilnya melirik kilat ke arah dada kiri sang lawan bicara. Bacanya dalam hati, Lulu! Namanya Lulu... Eh, Luluh! Luluh! Pakai H! Dengan sigap matanya kembali bertolak dari obyek tersebut karena takut Luluh mengira dia memandangi payudaranya.
“Suka juga?”
Bibir Luluh kembali beraksi, kali ini dengan telunjuknya mengarah ke baju yang dipakai Jodi. Tampaknya Jodi sendiri tidak menyadari apa yang terpampang di bajunya.
“Hah?”
Jodi segera memastikan: poster film dengan tulisan “Back To The Future menemani visual mobil DeLorean. Trilogi ini telah dinobatkan Jodi sebagai “Jodi’s Film of Life” karena ia telah jatuh cinta dengan segalanya dalam film tersebut. Namun yang paling penting bagi Jodi adalah tema utamanya: mesin waktu.
Di situ, di dalam pesawat, di depan pintu toilet, Jodi berpikir keras. Berapa besar kemungkinan yang ada? Bertemu dengan pramugari dengan senyum mematikan yang menggemari Back To The Future? Bukankah sebagian besar dari mereka lebih mementingkan untuk memiliki penggemar daripada menjadi penggemar? Pramugari mana yang menonton dan menyukai Back To The Future? Ini bisa menjadi fenomena yang akan mengubah hidup!
Maka terjadilah tujuh menit terbaik dalam hidupnya. Tujuh menit yang menjawab pencariannya selama 28 tahun. Tiga menit pertama diisi oleh pembahasan teknis seperti bagaimana mereka memuja konsep jenius Back To The Future. Betapa Doc Brown, Marty McFly, dan DeLorean telah melengkapi hidup mereka. Atau ekspresi kecintaan Jodi dan Luluh akan karya-karya Robert Zemeckis.
Tiga menit kedua mengandung topik filosofis yang dibuka oleh Jodi:
“Andaikan mesin waktu itu ada, dan hanya untuk sekali pakai, ke mana kamu akan pergi? Masa depan atau masa lalu?”
“Aku akan pergi ke mana pun waktu membawa. Asal aku tidak berada di sekarang.”
“Kamu percaya adanya portal untuk berkelana mengarungi waktu?”
“Tentu saja. Dengan kombinasi fisika kuantum, momen semesta, dan sedikit imajinasi.”
“Mesin waktunya?”
“Pesawat ini mungkin?”
Satu menit terakhir adalah interaksi canggung yang dimulai Luluh:
“Sendiri?”
“Iya.”
“Pulang kerja?”
“Iya.”
“Baiklah. Aku harus kembali bekerja.”
“Baiklah. Selamat bekerja.”
            Tujuh menit tak terlupakan itu berakhir dan meninggalkan debu dalam semesta Jodi. Debu yang tidak akan pernah bisa terbang. Debu yang selamanya mengotori sekaligus menandai adanya kehidupan.

*****

Cuaca bertambah parah. Sang burung besi mulai hilang kendali. Ini adalah guncangan terbesar dan terburuk yang pernah dialami semua penumpang di dalamnya. Seorang pria tengah baya mulai komat-kamit membaca doa. Bayi yang tadi terus menangis kini berteriak histeris. Jodi tak mampu lagi mengalihkan perhatiannya. Dia berhenti mengingat-ingat Luluh dan mulai fokus pada keadaan pesawat yang tak kunjung stabil.
             Jodi tenggelam dalam rasa takut. Dia tak lagi berpikir jernih. Di kepalanya hanya ada kalkulasi probabilitas. Kemungkinannya cuma dua: mati atau hampir mati. Batinnya pun berkecamuk kejam, berdoa pada apapun yang dia percayakan. Berharap dalam ketiadaan asa, hingga menulis janji  dengan sang semesta. Begini bunyinya: wahai pemilik semesta, yang maha segalanya, si pencipta yang ada, sang penutur kosmos, bila kau selamatkan nyawaku hari ini, aku akan menjanjikan perubahan. Aku tak akan lagi menjadi pengecut, aku menolak stagnansi minimnya nyali yang tak bisa membawaku ke manapun selama 28 tahun. Aku akan menyongsong perubahan. Di mana aku akan menjadi orang yang baru, yang tak takut, yang menolak dibudaki kebimbangan. Aku akan menjadi pencari, bukan penunggu. Aku akan mengajak Luluh menjelajah waktu!
            Dengan semangat 40.000 kaki yang terbakar avtur dan terguncang petir, Jodi melepas sabuk pengaman, beranjak, dan berlari menuju tempat duduk Luluh. Setibanya di sana, Jodi hanya tertegun. Terdiam kaku memandang wajah Luluh yang penuh ketakutan. Sepuluh detik terindah. Sepuluh detik terakhir. Sepuluh detik termagis yang pernah Jodi dan Luluh rasakan selama hayat mereka. Sepuluh detik sebelum akhirnya pesawat mereka mengalami guncangan final. Jatuh bebas menuju apa yang tak terketahui. Pesawat mereka telah hilang dari radar. Wajah Luluh menjadi panorama terakhir yang Jodi lihat sebelum mereka luluh lantak dalam misteri.

*****

Kamar Hotel, Bali, 26 Desember 2013, 08.16 WITA

Jodi termenung di depan laptopnya. Dia baru saja terbangun dari tidur semalam. Dia masih terbingung dengan mimpi yang baru saja dialami. Ini salah satu mimpi teraneh yang pernah dia rasakan. Jodi pun segera membuka laptop, menelusuri blog pribadinya, membuka segmen “Jurnal Mimpi”, dan segera menuliskan ingatannya selagi belum lupa.
            Begini isinya:
            Semalam saya mengalami mimpi aneh. Sangat aneh. Terlalu aneh untuk tidak digubris. Mimpi semalam adalah audio-visual paling jelas dan terang. Tak mungkin terlupakan. Saya bermimpi bertemu... saya. Saya dari masa depan. Dia mendatangi saya dalam tidur dan berkata: “batalkan rencana kepulanganmu hari ini, Jodi. Tunda kepulanganmu ke Jakarta. Naiklah pesawat untuk keberangkatan pukul tiga sore dua hari lagi. Kamu tidak akan menyesal. Ini akan menjadi penerbangan terindahmu.”
            Saya tak pernah bertemu diri saya dalam mimpi. Untuk pertama kalinya, dia hadir dan membatalkan rencana saya. Apakah saya harus saya dengarkan?
            Oh ya, mimpi itu ditutup dengan manis. Sebuah senyum perempuan. Senyuman terindah yang pernah saya konsumsi.


19:00 WIB
Jakarta Coffee House, 7/3/2014

Kamis, 27 Februari 2014

[Subliminal] "...most of us need the eggs."


And I thought of that old joke. This guy goes to a psychiatrist and says, "Doc, my brother's crazy. He thinks he's a chicken." The doctor says, "Why don't you turn him in?" The guy says, "I would, but I need the eggs."
          Well, I guess that's pretty much now, how I feel about relationships. They're totally irrational, crazy, and absurd. But I guess we keep going through it because most of us need the eggs.

-Annie Hall (1977), a Woody Allen's finest.

Kamis, 30 Januari 2014

[Mimpi Semalam] Area Parkir, Pemohon Ganja, dan Lima Anak Kecil

Semalam saya hanya tidur empat jam. Bukan karena deadline kerja atau alkohol berjamaah, tapi ketidakmampuan saya untuk tidur tenang di saat besok pagi ada suatu kepentingan. Apalagi kepentingan ini menyangkut masa depan karir akademis. Pukul sembilan pagi saya harus mendarat di Jatinangor, sedangkan 6 jam sebelumnya saya masih menjadi peserta dari Match of The Century yang menghadirkan pertandingan gulat akbar antara bagian hati yang terus menyuruh tidur dan bagian lain yang masih ingin mengunduh episode How I Met Your Mother dan Girls teranyar. Percayalah, tidak pernah menjadi ide bijak untuk memikirkan aktivitas besok sebagai pengantar tidur. Entah kegiatan esoknya adalah menyenangkan, menyebalkan, ataupun mengancam. Bukannya tidur, saya malah bolak-balik badan berharap terlelap.
          Singkat cerita -yang memang tidak terlalu panjang-, pukul satu siang saya sudah kembali ke kamar kost kesayangan setelah pulang-pergi menempuh jalan tol menuju masa depan. Wacana prosesi pemejaman mata yang telah dicanangkan seharian akhirnya bisa direalisasikan. Walau hanya berdurasi satu episode Game of Thrones, 6 kali sesi hubungan intim antar remaja, atau sepertiga perjalanan Jakarta-Bandung di siang hari, upacara ini berjalan dengan khusyuk dan penuh penghormatan. Teater bawah sadar mendadak menampilkan drama audio-visual. Begini kira-kira:
         Saya berdiri di sebuah parkiran mobil. Saat itu malam hari dan gerimis minimalis menemani suasana yang terbangun sendu. Saya harus pergi ke suatu tempat. Segera. Namun saya tidak berkendara apapun hingga jalan kaki menjadi satu-satunya pilihan yang saya lakukan. Saya terus berjalan tanpa mengindahkan permukaan jalan yang becek dan tidak indah. Area parkir itu buruk rupa. Belum diaspal, terhiasi bolongan, dan banyak tanah liat yang berubah menyerupai bumbu sate padang. Berjalan dan terus berjalan.
        Di tengah lamunan tanpa tujuan, sebuah sinar lampu mobil menyinari pandangan saya. Sebuah mobil Rush atau Terios atau sejenisnya berhenti menyampingi saya sebelum akhirnya jendela penumpang depan terbuka perlahan. Sang pengendara yang hanya sendirian di dalamnya memanggil saya dan bertanya:
          "Dik! Ada?"
          "Ada. Tapi gue nebeng ya."
          "Oke, bayar pake cimeng ya."
          Pria muda itu bertanya dengan kode sederhana yang berarti: apakah saya memiliki ganja. Kode itu saya pecahkan dengan mudah dan saya manfaatkan dengan kilat. Bagian yang aneh terletak pada sang pria misterius. Di dalam mimpi saya sangat yakin kami pernah bertemu sebelumnya, namun saya tidak bisa mengingat namanya. Sama sekali. Walau berusaha keras mengingat, saya kembali gagal. Di atas sadar, saya tidak pernah bertemu, berkenalan, atau melihat wajahnya. Sama sekali. Padahal dari artikel yang saya pernah baca (di realitas, bukan alam mimpi), seluruh elemen mimpi adalah bagian dari semua yang pernah dialami di realitas. Tak lazimnya, dia adalah karakter baru yang tercipta di dalam kepala saya.
          Cerita bergulir. Akhirnya saya menumpang mobilnya dan meminta untuk diantarkan ke suatu restoran di mana ganja saya terletak. Pria itu menurunkan saya di suatu parkiran mobil lainnya di mana restoran tersebut belum tampak. Kata saya:
          "Lebih baik diturunkan di sini saja. Tidak aman. Memutarlah, kita akan bertemu di sana."
          Saya pun menyusuri area parkir lain yang juga serupa: gelap, becek, dan masih gerimis. Lagi-lagi saya berpapasan dengan situasi aneh: lima anak kecil perempuan sedang berteduh di sebuah pinggiran ruko. Mereka kedinginan dan tampak butuh bantuan. Saya mendekati hanya untuk menemukan usaha saya gagal karena mereka langsung berlarian menghindar. Sepertinya paranoid. Dengan sedikit kecewa, saya memutar balik badan melanjutkan perjalanan mencari ganja di sebuah restoran misterius.
         "Hey," sebuah suara anak kecil perempuan terdengar halus dari belakang.
           Ternyata tak semua anak-anak itu pergi. Salah satunya jalan pelan mengikuti saya. Di situ lah saya mampu melihat wajahnya dengan detil, 10x zoom in. Seorang perempuan tionghoa kecil dengan rambut pendek dan mata sipit. Lagi-lagi wajah yang tidak pernah saya ingat. Dia tidak tersenyum, tapi tidak juga cemberut.  Matanya memohon pertolongan. Saya tidak terlalu ingat pakaiannya. Mungkin kemeja putih dan jas hujan.
          "Mari," saya mengajaknya beranjak sembari mengulurkan tangan untuk menuntunnya menelusuri jalanan gelap nan becek ini.
          Tidak. Tangannya tidak membalas uluran tangan saya. Ekspresinya tidak berubah. Dia lebih memilih untuk berdiri di bawah hujan dan menatap saya berjalan menjauh. Terus berjalan, menjauh, dan menjauh, hingga kembali menatap langit-langit kamar kost tercinta saya. Sayang, saya gagal menemukan di mana ganja itu berada, siapa pria misterius dan anak-anak kecil itu, dan yang paling penting: ke mana saya hendak beranjak dari area parkir mobil tersebut.
          Barangkali ini salah satu mimpi favorit saya. Gelap, sendu, misterius, dan tanpa akhir yang menyimpulkan.