Senin, 03 September 2012

[Saksi Fiksi] Tragedildo




Namanya Mira Sumira dari tanah pasundan. Sejak kecil hingga hampir lulus kuliah akrab dipanggil Miras. Sapaan ini seperti mengukuhkan stereotip kalau perempuan sunda itu ibarat madat mata. Jangan bayangkan kadar alkoholnya, melihat kemasannya saja bisa mabuk. Mira atau Miras memiliki bakat alami dalam perihal patah-mematah hati. Segala tentangnya menjadi favorit para lelaki pada umumnya: rambut tergerai panjang, kulit putih lembut, mata bulat namun mendadak sangat sipit saat tertawa, tekstur wajah sempurna, aksen Sunda-Jakarta, tidak terlalu pintar, modis dalam takaran yang tak berlebihan, dan yang paling fatal: senyumnya yang magis. Ya, senyum yang mampu membuat setiap orang merasa spesial. Senyum yang mampu meredakan pedih dan mengobati perih. Senyum yang mengandung kadar alkohol sama dengan setengah botol Anggur Merah Orang Tua murni.
           Tapi tidakkah kamu pernah dengar kalau alkohol itu tidak baik untuk kesehatan? Konsumsi secukupnya dan kamu akan merasa bahagia, konsumsi berlebihan dan lambungmu akan meledak. Begitulah Miras. Entah sudah berapa lambung pria yang dibuat hancur lebur akibat overdosis harapan kosong yang diberikannya. Para korban pun memiliki kronologi variatif. Ada yang berhasil merebut hati Miras, namun dalam waktu 5-6 bulan sang korban mendadak dihempaskan sadis. Ada juga yang masih PDKT, lalu terlampau PD, dan jadi KT (Korban Tolakan). Lain lagi dengan cecunguk-cecunguk yang dengan mudahnya menyatakan ‘saya sayang Miras!’ hanya setelah 2-3 kali disenyumi. Ya jelas lambungnya meledak-ledak hancur terburai!
              Namun jangan terburu-buru menghakimi Miras. Dia bukan ‘cewek plastik’ yang doyan menjual perasaan dengan harga diskon padahal calon pembeli harus membayar mahal di kasir. Miras sejatinya hanya perempuan biasa yang mengandung kompleksitas tersendiri. Begini, dia terlihat biasa dari permukaan, tapi sesungguhnya dia menyimpan suatu kesedihan yang luar biasa. Mungkin kesedihan yang muncul akibat suatu kenangan buruk di masa lalunya. Kesedihan yang mengubah dirinya menjadi seorang keras kepala, ultra-independen, membuta dan menulikan diri sendiri dari kenyataan. Maksudnya, kini dia ingin menjadi pilot dalam pesawat non-komersilnya, bukan co-pilot, atau pramugari, apalagi penumpang. Tanpa disadari, dia terus menutup diri dengan hebatnya hingga paranoid saat menjalin hubungan antar-gender level lanjut. Miras tidak ingin keputusan dalam hidupnya diganggu oleh siapapun. Maka dia seperti sengaja menyabotase perasaannya sendiri ketika dia merasa hubungan itu mulai serius. Karena saat hubungan mulai serius, di situlah dia merasa pesawatnya dibajak. Keputusan diganggu gugat. Miras tidak bisa lagi menjadi pemimpin otoriter dalam hidupnya, dan dia benci demokrasi.
            Bukan hanya keputusan besar, kepuasan kecil pun dia enggan membagi atau mencuri dari orang lain. Sampai pada taraf seks. Ya, seks. Tidak seperti tipikal keluarga sunda yang kental dengan pendidikan agamis, Miras dibesarkan dalam keluarga yang cukup sekuler. Tidak terlalu normatif. Latar belakang ini merupakan liberalisasi pola pikir. Miras memerdekakan keperawanannya di umur 15, caturwulan II di kelas 1 SMA. Sejak itu dia rajin memenuhi kebutuhan biologis. Anehnya, Miras tak pernah terpuaskan. Dia berteori kalau kesulitannya dalam mencapai puncak disebabkan oleh kondisi psikologis. Secara fisik, ya… boleh lah. Tapi secara fisik dan batin… tak ada yang membawanya lebih tinggi daripada sebuah timun suri. Intinya, selama remaja Miras lebih menyukai timun daripada penetrasi antar homo sapiens. Tapi kebiasaan itu perlahan berganti waktu lulus SMA, temannya membawakan dildo dari Amsterdam sebagai oleh-oleh. Dildo itu pun menjadi saksi basah kenikmatan individual Miras awal masa kuliah. Kawan setia yang paling mengerti tolak ukur seksualitas Miras. Selingkuhan misterius yang mampu membuat pacar-pacarnya cemburu.
          Semua berubah ketika dia bertemu Adam. Pria adem-ayem yang sebenarnya tidak begitu tampan bila dibandingkan dengan kecantikan Miras. Pemuda kurus ini sangat cuek dan pendiam. Dia hanya bicara bila ada kepentingan atau saat dia memikirkan sesuatu dan tanpa sengaja menggumamkan isi kepalanya. Mungkin ini yang membuat Miras tertarik. Tingkat anti-sosialnya setara. Mereka tidak mengeksklusifkan status, tapi ada kesadaran masing-masing tentang situasi satu sama lain. Mereka lebih memilih aktivitas di mana Miras dan Adam bisa memaksimalkan waktu berkualitas bersama pikiran masing-masing tanpa melepaskan zona aman. Perpustakaan atau toko buku misalnya, mereka bisa langsung berpencar tanpa harus banyak bertukar omong. Atau bioskop, di mana mereka bisa bersebelahan menikmati satu keindahan tanpa harus menatap mata. Dan… seks. Saat magis Miras dan Adam bertukar kenikmatan tanpa harus bercerita mengenai apa yang menarik.
            Waktu berjalan tanpa lelah secuil pun. Satu tahun. Dua tahun. Dua setengah tahun. Perlahan dildo kesayangannya ditinggalkan. Miras menemukan pemuas alami yang mampu mengalahkan timun 2 kg, atau dildo 20 cm. Sampai pada saatnya Miras memutuskan untuk menjual dildo itu via internet. Dalam seminggu, kawan sejatinya pun terjual dengan harga murah kepada seorang di Eropa. Mengakunya sih pria. Entahlah. Satu hal pasti, tindakan ini menjadi salah satu penyesalan terbesar Miras dalam hidupnya.

*****

Masa kuliah telah berakhir. Miras dan Adam mulai menatap karir. Miras menjadi fotografer lepas di sejumlah media dan acara tertentu. Honornya cukup untuk berwisata asmara dengan Adam. Sedangkan Adam masuk dunia perbankan. Profesi aman yang akan membayar loyalitas dengan gaji setimpal. Tapi Adam tidak pernah merasa cukup kaya. Bedanya begini: Miras melakukan hobinya untuk dibayar, sedangkan Adam membanting tulang demi meniti karir dan mencapai kesuksesan finansial. Begitulah, perlahan mereka berjalan menuju arah yang berbeda.
            Tanpa disadari, Miras dan Adam saling mengejar. Ada yang berlari, ada yang mengikuti. Entah siapa yang mana. Tapi yang jelas, Adam semakin melupakan dirinya yang lama. Dia telah mencipta revolusi kepribadian demi tercapainya puncak karir. Dia tidak ingin menjadi antisosial lagi. Dia ingin berteman dengan semua orang. Dia mulai mencintai dialog. Di sisi lain, Miras adalah orang yang sama. Enggan berubah. Dia terlalu cinta dirinya sendiri hingga lupa beradaptasi.
           Transformasi Adam semakin menghancurkan hubungannya dengan Miras. Mereka hampir tidak pernah ke toko buku lagi. Menonton di bioskop semakin jarang. Seks? Adam kehilangan libidonya. Miras semakin gundah dan mulai memaksa Adam untuk kembali ke Adam yang lama. Merasa terusik, Adam pun meledak dan memutuskan untuk memutuskan Miras. Mengusir dari beranda hatinya. Miras masih ingat betul kata-kata terakhir yang diteriakan Adam sebelum akhirnya mereka berpisah secara resmi: “KEMBALI SAJA KE DILDO KAMU!”

*****

Dengan segala perubahan ini, Miras kembali ke aktivitas lamanya. Misi solo. Kembali menyendiri, kembali ke timun suri. Tapi kali ini rasanya beda. Timun kalah jauh dengan penis Adam. Dia meminjam vibrator temannya. Tidak terasa apa-apa. Lalu mencoba dildo kawannya. Hampa. Tidak ada yang bisa membantu Miras mencapai orgasme selain Adam. Kemudian Miras berteori, mungkin ini masalah psikologis. Bila hanya penis Adam yang mumpuni, berarti… dia harus mengambil dildo pertamanya!
             Miras langsung menghubungi pembelinya di Eropa. Tujuannya untuk membeli kembali dildo kesayangannya itu. Ternyata benar, dia pria. Phillip, seniman Perancis. Kolektor dildo katanya. Bahkan dia mengaku ahli. Phillip suka mengendus dildo bekas, lalu menganalisa kisah di baliknya. Dia pun mengatakan, kalau dia sangat menyukai kisah dildo Miras. Menurut Phillip, dildo tersebut tidak hanya sekedar pemuas waktu luang, tapi pengisi masa-masa tersuram seorang manusia. Phillip menjelaskan, dildo itu bernilai sangat tinggi dan dia tidak akan menjualnya pada siapapun. Lantas Miras memaparkan semua kisahnya kepada Phillip, timun suri, dildo, Adam, perubahan, dan segala konflik batinnya. Miras mengatakan bahwa hanya Adam yang bisa memuaskannya.
              Menyimak kisah gilanya itu, Phillip akhirnya menaruh simpati walau dia masih enggan untuk mengembalikan dildonya . Hingga akhirnya, mereka berdua berembuk secara online. Phillip memberikan saran-saran dan strategi kepada Miras untuk mendapatkan orgasmenya kembali. Miras masih ingat kata-kata terakhir Phillip sebelum dia mengucap terima kasih: “SAATNYA KAMU MENGAMBIL DILDO KAMU!”

*****

Setelah sekian bulan tidak berkontak, Adam terkejut mendapat pesan pendek dari Miras yang mengajak ke rumahnya untuk sekedar makan malam. Di pesannya itu, Miras mengaku kekanak-kanakan dan sudah melupakan masa lalu. Katanya dia kini sudah dewasa. Dan makan malam di rumahnya ini bentuk permintaan maaf dan dia ingin berdamai dengan masa lalu. Adam pun berpikir mungkin tidak ada salahnya. Walau begitu, Adam menegaskan bahwa dia tidak akan tertarik untuk kembali menjalin hubungan apapun yang terjadi. Miras hanya mengiyakan dan mengingatkan makan malam di rumahnya pukul 19.00.
            18.55 Adam sudah di rumahnya. Miras menyambutnya dengan pelukan hangat antar teman. Rasa rindu jelas terpampang di situ. Tak lama, mereka berdua sudah duduk di meja makan. Miras tak pandai memasak, maka dia memesan makan dari restoran Cina favorit mereka berdua dulu. Seperti biasa, dialog tidak banyak terjadi. Mereka seperti berkomunikasi melalui udara dan tatapan mata. Pembicaraan terpanjang terjadi ketika Adam mulai menceritakan pengalamannya di kantor baru di mana dia mendapat gaji dan jabatan yang lebih tinggi. Di tengah penjelasannya yang panjang lebar, Adam tiba-tiba mengantuk. Rasa kantuk terbesar dan terberat yang pernah dialaminya seumur hidup. Tidak sampai satu menit, Adam tersungkur pingsan di lantai.
             Melihat kejadian itu Miras tidak terkejut. Dia langsung mengangkut Adam dan dibawanya ke tempat tidur. Dengan sigap dia menelanjanginya lalu mengikat kedua tangan dan kaki Adam pada ranjang sehingga tidak memungkinkan untuk bergerak. Saat tidur, Miras meminumkan obat kuat pada Adam, obat yang mampu membuat ereksi tanpa kendali. Kemudian dia menunggu beberapa jam sampai Adam tersadar.
               Setelah terbangun, Adam terkejut bukan main. Dalam keadaan terikat, telanjang, dan ereksi, Adam berteriak minta tolong. Mengumpat tanpa henti. Panik maksimal. Puncak kebingungan. Miras hanya berdiri di situ, tanpa ekspresi memandang tajam ke arah penis Adam yang sedang keras-kerasnya. Dalam hitungan detik, Miras mengeluarkan pemotong rumput ukuran besar. Perlahan dia menarik keluar gagang gunting, menetapkan penis Adam sebagai target, lalu menarik napas dalam-dalam. Adam terus berteriak histeris, memohon Miras untuk tidak bertindak gila. Percuma, Miras menekan gagang gunting dan memotong penis Adam tepat di pangkalnya. Awalnya agak sulit, tapi setelah berulang kali Miras menekan-menarik gagang, akhirnya penis itu copot, lepas dari Adam. Darah bercucuran ke mana-mana, muncrat seperti pipa bocor. Adam berteriak terlalu keras hingga tidak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya.
                Selesai memenggal, Miras menggenggam penis itu sambil tersenyum. Adam masih ingat kata-kata terakhir Miras sebelum dia kembali pingsan: “AKU MENDAPATKAN DILDOKU KEMBALI!”

15:39
Jakarta, 3/9/2012