Namanya Mira Sumira dari tanah pasundan. Sejak kecil
hingga hampir lulus kuliah akrab dipanggil Miras. Sapaan ini seperti
mengukuhkan stereotip kalau perempuan sunda itu ibarat madat mata. Jangan
bayangkan kadar alkoholnya, melihat kemasannya saja bisa mabuk. Mira atau Miras
memiliki bakat alami dalam perihal patah-mematah hati. Segala tentangnya
menjadi favorit para lelaki pada umumnya: rambut tergerai panjang, kulit putih
lembut, mata bulat namun mendadak sangat sipit saat tertawa, tekstur wajah
sempurna, aksen Sunda-Jakarta, tidak terlalu pintar, modis dalam takaran yang
tak berlebihan, dan yang paling fatal: senyumnya yang magis. Ya, senyum yang
mampu membuat setiap orang merasa spesial. Senyum yang mampu meredakan pedih
dan mengobati perih. Senyum yang mengandung kadar alkohol sama dengan setengah
botol Anggur Merah Orang Tua murni.
Tapi tidakkah
kamu pernah dengar kalau alkohol itu tidak baik untuk kesehatan? Konsumsi
secukupnya dan kamu akan merasa bahagia, konsumsi berlebihan dan lambungmu akan
meledak. Begitulah Miras. Entah sudah berapa lambung pria yang dibuat hancur
lebur akibat overdosis harapan kosong yang diberikannya. Para korban pun
memiliki kronologi variatif. Ada yang berhasil merebut hati Miras, namun dalam
waktu 5-6 bulan sang korban mendadak dihempaskan sadis. Ada juga yang masih
PDKT, lalu terlampau PD, dan jadi KT (Korban Tolakan). Lain lagi dengan
cecunguk-cecunguk yang dengan mudahnya menyatakan ‘saya sayang Miras!’ hanya
setelah 2-3 kali disenyumi. Ya jelas lambungnya meledak-ledak hancur terburai!
Namun jangan
terburu-buru menghakimi Miras. Dia bukan ‘cewek plastik’ yang doyan menjual
perasaan dengan harga diskon padahal calon pembeli harus membayar mahal di
kasir. Miras sejatinya hanya perempuan biasa yang mengandung kompleksitas
tersendiri. Begini, dia terlihat biasa dari permukaan, tapi sesungguhnya dia
menyimpan suatu kesedihan yang luar biasa. Mungkin kesedihan yang muncul akibat
suatu kenangan buruk di masa lalunya. Kesedihan yang mengubah dirinya menjadi
seorang keras kepala, ultra-independen, membuta dan menulikan diri sendiri dari
kenyataan. Maksudnya, kini dia ingin menjadi pilot dalam pesawat
non-komersilnya, bukan co-pilot, atau pramugari, apalagi penumpang. Tanpa
disadari, dia terus menutup diri dengan hebatnya hingga paranoid saat menjalin
hubungan antar-gender level lanjut. Miras tidak ingin keputusan dalam hidupnya
diganggu oleh siapapun. Maka dia seperti sengaja menyabotase perasaannya
sendiri ketika dia merasa hubungan itu mulai serius. Karena saat hubungan mulai
serius, di situlah dia merasa pesawatnya dibajak. Keputusan diganggu gugat.
Miras tidak bisa lagi menjadi pemimpin otoriter dalam hidupnya, dan dia benci
demokrasi.
Bukan hanya
keputusan besar, kepuasan kecil pun dia enggan membagi atau mencuri dari orang
lain. Sampai pada taraf seks. Ya, seks. Tidak seperti tipikal keluarga sunda
yang kental dengan pendidikan agamis, Miras dibesarkan dalam keluarga yang
cukup sekuler. Tidak terlalu normatif. Latar belakang ini merupakan
liberalisasi pola pikir. Miras memerdekakan keperawanannya di umur 15,
caturwulan II di kelas 1 SMA. Sejak itu dia rajin memenuhi kebutuhan biologis.
Anehnya, Miras tak pernah terpuaskan. Dia berteori kalau kesulitannya dalam
mencapai puncak disebabkan oleh kondisi psikologis. Secara fisik, ya… boleh
lah. Tapi secara fisik dan batin… tak ada yang membawanya lebih tinggi daripada
sebuah timun suri. Intinya, selama remaja Miras lebih menyukai timun daripada
penetrasi antar homo sapiens. Tapi kebiasaan itu perlahan berganti waktu lulus
SMA, temannya membawakan dildo dari
Amsterdam sebagai oleh-oleh. Dildo itu pun menjadi saksi basah kenikmatan
individual Miras awal masa kuliah. Kawan setia yang paling mengerti tolak ukur
seksualitas Miras. Selingkuhan misterius yang mampu membuat pacar-pacarnya
cemburu.
Semua berubah
ketika dia bertemu Adam. Pria adem-ayem yang sebenarnya tidak begitu tampan
bila dibandingkan dengan kecantikan Miras. Pemuda kurus ini sangat cuek dan
pendiam. Dia hanya bicara bila ada kepentingan atau saat dia memikirkan sesuatu
dan tanpa sengaja menggumamkan isi kepalanya. Mungkin ini yang membuat Miras
tertarik. Tingkat anti-sosialnya setara. Mereka tidak mengeksklusifkan status,
tapi ada kesadaran masing-masing tentang situasi satu sama lain. Mereka lebih
memilih aktivitas di mana Miras dan Adam bisa memaksimalkan waktu berkualitas
bersama pikiran masing-masing tanpa melepaskan zona aman. Perpustakaan atau
toko buku misalnya, mereka bisa langsung berpencar tanpa harus banyak bertukar
omong. Atau bioskop, di mana mereka bisa bersebelahan menikmati satu keindahan
tanpa harus menatap mata. Dan… seks. Saat magis Miras dan Adam bertukar
kenikmatan tanpa harus bercerita mengenai apa yang menarik.
Waktu berjalan
tanpa lelah secuil pun. Satu tahun. Dua tahun. Dua setengah tahun. Perlahan
dildo kesayangannya ditinggalkan. Miras menemukan pemuas alami yang mampu
mengalahkan timun 2 kg, atau dildo 20 cm. Sampai pada saatnya Miras memutuskan
untuk menjual dildo itu via internet. Dalam seminggu, kawan sejatinya pun
terjual dengan harga murah kepada seorang di Eropa. Mengakunya sih pria. Entahlah.
Satu hal pasti, tindakan ini menjadi salah satu penyesalan terbesar Miras dalam
hidupnya.
*****
Masa kuliah telah berakhir. Miras dan Adam mulai
menatap karir. Miras menjadi fotografer lepas di sejumlah media dan acara
tertentu. Honornya cukup untuk berwisata asmara dengan Adam. Sedangkan Adam
masuk dunia perbankan. Profesi aman yang akan membayar loyalitas dengan gaji
setimpal. Tapi Adam tidak pernah merasa cukup kaya. Bedanya begini: Miras melakukan
hobinya untuk dibayar, sedangkan Adam membanting tulang demi meniti karir dan
mencapai kesuksesan finansial. Begitulah, perlahan mereka berjalan menuju arah
yang berbeda.
Tanpa disadari,
Miras dan Adam saling mengejar. Ada yang berlari, ada yang mengikuti. Entah
siapa yang mana. Tapi yang jelas, Adam semakin melupakan dirinya yang lama. Dia
telah mencipta revolusi kepribadian demi tercapainya puncak karir. Dia tidak
ingin menjadi antisosial lagi. Dia ingin berteman dengan semua orang. Dia mulai
mencintai dialog. Di sisi lain, Miras adalah orang yang sama. Enggan berubah.
Dia terlalu cinta dirinya sendiri hingga lupa beradaptasi.
Transformasi
Adam semakin menghancurkan hubungannya dengan Miras. Mereka hampir tidak pernah
ke toko buku lagi. Menonton di bioskop semakin jarang. Seks? Adam kehilangan
libidonya. Miras semakin gundah dan mulai memaksa Adam untuk kembali ke Adam
yang lama. Merasa terusik, Adam pun meledak dan memutuskan untuk memutuskan
Miras. Mengusir dari beranda hatinya. Miras masih ingat betul kata-kata
terakhir yang diteriakan Adam sebelum akhirnya mereka berpisah secara resmi:
“KEMBALI SAJA KE DILDO KAMU!”
*****
Dengan segala perubahan ini, Miras kembali ke
aktivitas lamanya. Misi solo. Kembali menyendiri, kembali ke timun suri. Tapi
kali ini rasanya beda. Timun kalah jauh dengan penis Adam. Dia meminjam
vibrator temannya. Tidak terasa apa-apa. Lalu mencoba dildo kawannya. Hampa.
Tidak ada yang bisa membantu Miras mencapai orgasme selain Adam. Kemudian Miras
berteori, mungkin ini masalah psikologis. Bila hanya penis Adam yang mumpuni,
berarti… dia harus mengambil dildo pertamanya!
Miras langsung
menghubungi pembelinya di Eropa. Tujuannya untuk membeli kembali dildo
kesayangannya itu. Ternyata benar, dia pria. Phillip, seniman Perancis.
Kolektor dildo katanya. Bahkan dia mengaku ahli. Phillip suka mengendus dildo
bekas, lalu menganalisa kisah di baliknya. Dia pun mengatakan, kalau dia sangat
menyukai kisah dildo Miras. Menurut Phillip, dildo tersebut tidak hanya sekedar
pemuas waktu luang, tapi pengisi masa-masa tersuram seorang manusia. Phillip
menjelaskan, dildo itu bernilai sangat tinggi dan dia tidak akan menjualnya
pada siapapun. Lantas Miras memaparkan semua kisahnya kepada Phillip, timun
suri, dildo, Adam, perubahan, dan segala konflik batinnya. Miras mengatakan
bahwa hanya Adam yang bisa memuaskannya.
Menyimak kisah
gilanya itu, Phillip akhirnya menaruh simpati walau dia masih enggan untuk
mengembalikan dildonya . Hingga akhirnya, mereka berdua berembuk secara online.
Phillip memberikan saran-saran dan strategi kepada Miras untuk mendapatkan
orgasmenya kembali. Miras masih ingat kata-kata terakhir Phillip sebelum dia
mengucap terima kasih: “SAATNYA KAMU MENGAMBIL DILDO KAMU!”
*****
Setelah sekian bulan tidak berkontak, Adam terkejut
mendapat pesan pendek dari Miras yang mengajak ke rumahnya untuk sekedar makan
malam. Di pesannya itu, Miras mengaku kekanak-kanakan dan sudah melupakan masa
lalu. Katanya dia kini sudah dewasa. Dan makan malam di rumahnya ini bentuk
permintaan maaf dan dia ingin berdamai dengan masa lalu. Adam pun berpikir
mungkin tidak ada salahnya. Walau begitu, Adam menegaskan bahwa dia tidak akan
tertarik untuk kembali menjalin hubungan apapun yang terjadi. Miras hanya
mengiyakan dan mengingatkan makan malam di rumahnya pukul 19.00.
18.55 Adam
sudah di rumahnya. Miras menyambutnya dengan pelukan hangat antar teman. Rasa
rindu jelas terpampang di situ. Tak lama, mereka berdua sudah duduk di meja
makan. Miras tak pandai memasak, maka dia memesan makan dari restoran Cina
favorit mereka berdua dulu. Seperti biasa, dialog tidak banyak terjadi. Mereka
seperti berkomunikasi melalui udara dan tatapan mata. Pembicaraan terpanjang
terjadi ketika Adam mulai menceritakan pengalamannya di kantor baru di mana dia
mendapat gaji dan jabatan yang lebih tinggi. Di tengah penjelasannya yang
panjang lebar, Adam tiba-tiba mengantuk. Rasa kantuk terbesar dan terberat yang
pernah dialaminya seumur hidup. Tidak sampai satu menit, Adam tersungkur
pingsan di lantai.
Melihat
kejadian itu Miras tidak terkejut. Dia langsung mengangkut Adam dan dibawanya
ke tempat tidur. Dengan sigap dia menelanjanginya lalu mengikat kedua tangan
dan kaki Adam pada ranjang sehingga tidak memungkinkan untuk bergerak. Saat
tidur, Miras meminumkan obat kuat pada Adam, obat yang mampu membuat ereksi
tanpa kendali. Kemudian dia menunggu beberapa jam sampai Adam tersadar.
Setelah
terbangun, Adam terkejut bukan main. Dalam keadaan terikat, telanjang, dan
ereksi, Adam berteriak minta tolong. Mengumpat tanpa henti. Panik maksimal.
Puncak kebingungan. Miras hanya berdiri di situ, tanpa ekspresi memandang tajam
ke arah penis Adam yang sedang keras-kerasnya. Dalam hitungan detik, Miras
mengeluarkan pemotong rumput ukuran besar. Perlahan dia menarik keluar gagang
gunting, menetapkan penis Adam sebagai target, lalu menarik napas dalam-dalam.
Adam terus berteriak histeris, memohon Miras untuk tidak bertindak gila. Percuma,
Miras menekan gagang gunting dan memotong penis Adam tepat di pangkalnya.
Awalnya agak sulit, tapi setelah berulang kali Miras menekan-menarik gagang,
akhirnya penis itu copot, lepas dari Adam. Darah bercucuran ke mana-mana,
muncrat seperti pipa bocor. Adam berteriak terlalu keras hingga tidak ada lagi
suara yang keluar dari mulutnya.
Selesai
memenggal, Miras menggenggam penis itu sambil tersenyum. Adam masih ingat
kata-kata terakhir Miras sebelum dia kembali pingsan: “AKU MENDAPATKAN DILDOKU
KEMBALI!”
15:39
Jakarta, 3/9/2012