Jumat, 23 Maret 2012

[Saksi Fiksi] Ki Ahmad Sudah Dekat



Accidentally consists of similar content with the true tale of The Jonestown Massacre
which I ran into after finishing Ki Ahmad.
Entah dari mana awal rumor ini tersebar, tapi sejak subuh penduduk desa Sukadosa sudah dihebohkan dengan teriakan histeris Tegar, pemuda labil yang terus berseru gentar: “gawat, Ki Ahmad sudah dekat! Cepat bertobat!” Semua orang pun langsung terserang panik mendadak. Mereka belum siap untuk menghadap Ki Ahmad. Keadaan desa Sukadosa yang biasanya tentram tiba-tiba jadi mencekam. Para petani tidak ke ladang, ibu-ibu PKK membatalkan agendanya, anak-anak muda pun hanya tinggal di rumah sambil menangis. Toa-toa masjid di seluruh penjuru desa mengumandangkan kemarahan, “lihat apa yang telah kalian perbuat! Kini sudah saatnya kita berpasrah dan menyerah! Ki Ahmad sudah dekat!”
          Kabar burung ini bermula dari mitos mengenai Ki Ahmad, seorang kyai utusan kerajaan surga yang akan datang untuk membunuh seluruh penduduk desa. Menurut cerita, beliau akan dikirim ke bumi saat manusia tidak lagi manusiawi, ketika kehidupan tidak lagi hidup, kala yang terlarang menjadi awam. Konon siapa pun yang masih hidup saat menghadap sang Ki Ahmad akan dikirim ke neraka paling bawah. Pria akan dipotong buah zakarnya untuk dijadikan bahan sup makan malam para iblis, wanita bakal diperkosa sampai akhir zaman, dan anak-anak bekerja sebagai budak 30 jam sehari.
          Untuk mengatasi situasi yang tidak terkendali, Pak Subijak, selaku Kepala Desa Sukadosa langsung menggelar sidang di balai desa. KepDes yang terkenal gemar menikah ini mengundang sejumlah orang-orang penting di badan pemerintahan desa. Selain itu hadir juga perwakilan dari PKK, aliansi petani, ikatan peternak, forum pedagang, karang taruna, pemuka agama, cendekiawan, dan kelompok seniman.
          Dug! Dug! Dug! Pak Subijak mengetuk palu untuk menenangkan para hadirin yang terus berkicau tanpa juntrungan.
          “Harap tenang!”
          Semua pun terdiam. Bukan karena palu atau perintah, tapi wibawa Pak Subijak yang bertindak.
          “Selamat pagi para hadirin yang saya hormati. Sebelum sidang dimulai, saya ingin memastikan apakah kita orang yang beradab. Mahluk hidup dengan kasta tertinggi, ciptaan Tuhan yang dikaruniai otak dan nurani. Manusia yang mengerti tata tertib dalam ruang sidang!”
          Kali ini ruang sidang benar-benar hening. Terlalu sunyi hingga kentut nyamuk pun samar-samar terdengar.
        “Baiklah,” Pak Subijak mulai membaca tumpukan kertas di depannya.
        “Menurut kabar yang tersebar, Ki Ahmad sang eksekutor umat manusia akan datang mengunjungi desa Sukadosa paling lambat tengah malam nanti. Dari berbagai sumber terpercaya, Ki Ahmad diberitakan telah melewati desa Ciharam, Berhala, Mabugtrus, Narkobi, Mesummulu, dan terakhir mencapai desa Hedonista, yang hanya berjarak 20 kilometer dari desa kita.
          Artinya, kita memiliki 3 pilihan: evakuasi warga menuju desa sebelah; menghadap Ki Ahmad dengan pasrah; atau… bunuh diri berjama’ah.”
          Pak Subijak menelan ludah.
          “Bagaimana respon para hadirin sekalian?”
          “Bila kita ke desa sebelah, apakah menyelesaikan masalah? Toh Ki Ahmad akan ke sana juga,” ucap pegawai kantor pemerintah.
         “Yang terpenting adalah selamatkan anak-anak kita,” kata ibu PKK.
         “Sampai mati, saya akan bersama hewan-hewan saya,” sambar seorang peternak.
          “Kita tidak bisa melawan takdir! Mari kita hadapi,” teriak pemuka agama.
          “Setiap individu harus diberikan jalannya masing-masing,” seru cendekiawan.
          “Mari kita semua mati sebelum dia datang,” ajak sang seniman.
         Rapat pun berjalan alot. Hadirin yang diharapkan bertukar pendapat malah bertukar caci. Pak Subijak yang biasanya bijak kali ini seperti kehilangan akal. Solusi hanya menjadi misteri. Proses berjalan tidak sesuai ritme. Hingga akhirnya terdengar celetukan keras.
          “Apakah kita harus percaya tentang kedatangan Ki Ahmad?”
      Semua terdiam. Pak Subijak terbengong. Ruang kembali hening. Kentut nyamuk lagi-lagi terdengar.
          “Apakah kita bisa dengan mudah percaya cerita ini? Apakah salah satu dari kita pernah bertemu dan melihat Ki Ahmad membantai seluruh warga desa? Apakah Ki Ahmad itu nyata?”
          Di antara keheningan canggung, Pak Subijak angkat bicara sambil tergagap, “si…si…siapa kamu?”
     “Saya Parno, pak. Maaf atas kelancangannya. Tapi dengan segala hormat, saya hanya ingin mengajak seluruh warga desa untuk lebih kritis melihat masalah ini,” ucapnya dengan intonasi yang bersahabat.
            “Parno…Maaf, kamu bicara sebagai perwakilan dari mana?”
          “Saya tidak tergabung dengan organisasi mana pun. Saya berbicara atas diri saya sendiri, untuk warga desa Sukadosa, demi umat manusia.”
          Hadirin masih terdiam. Pak Subijak makin terbengong. Ruang sidang tambah hening. Kentut nyamuk harum semerbak.
          “Menurut saya, kita terlalu berlebihan dalam menghadapi isu ini. Padahal Ki Ahmad sendiri masih isapan jempol. Apakah kita terlalu bodoh hingga rela berkorban karena sesuatu yang tidak pasti? Ki Ahmad bukan keyakinan atau kepercayaan, dia hanyalah dongeng! Apakah manusia memang sudah melewati batas kodrat? Apakah kita sudah mengalami overdosis dosa? Apakah ini semua salah kita hingga Ki Ahmad rela membumihanguskan desa kita? Apakah ini adil mengingat kita hanyalah penerus dosa dari para nenek moyang? Mengapa Ki Ahmad tidak datang saat dosa itu diciptakan pertama kali?!”
          Pertanyaan-pertanyaan menyembur cepat dari mulut Parno. Tembakan berentet yang tidak menyisakan ruang nafas bagi para target. Keraguan mulai berhambur di hati para hadirin. Pak Subijak pun menyadari hal ini. Dia melihat wajah-wajah dengan ekspresi setuju, bingung, mempertanyakan. Mereka tidak lagi takut. Pak Subijak segera angkat bicara.
       “Sebelum Ki Ahmad datang, sebelum kalian terjerumus pemuda sesat ini, sebelum semua terlambat, saya akan mengambil keputusan demi keselamatan kalian dari siksa neraka.” Pak Subijak berhasil mengerahkan seluruh wibawanya untuk membuat satu ruangan terdiam dan mendengarkan. Termasuk Parno.
          “Saya pernah melihat Ki Ahmad. Dia nyata. Mari kita bunuh diri berjama’ah.”

*****

Senja mulai berkumandang dengan indah di desa Sukadosa. Di balik itu, terlihat pemandangan yang mengerikan. Anggota keamanan desa berhasil mengumpulkan seluruh warga di pinggir telaga. Mereka berbaris tertib, menunggu giliran untuk menenggelamkan dirinya ke dasar terdalam hingga tak lagi bernyawa. Dimulai dari anak, ibu, bapak, hingga terakhir anggota pemerintahan. Pak Subijak pun memulai pidato terakhirnya.
          “Para warga yang tercinta, kini saatnya kita mengakhiri semua yang telah kita lalui. Semua air mata bahagia, tangisan pilu, canda tawa, kerja keras, sudah kita lewati bersama di desa Sukadosa yang indah ini,” Pak Subijak mulai menangis.
          “Biarkan telaga ini menjadi saksi kebijaksanaan kita dalam menghadapi realita. Biarlah Ki Ahmad datang dan menemukan desa kita yang telah hampa. Kita menang, saudara-saudara! Sekali lagi, kita telah menang!”
          Orasi itu disambut dengan teriakan berapi-api dari seluruh warga Sukadosa. Membahana di senja terakhir yang mereka alami. Setelah beberapa saat, orang pertama mulai memasuki telaga. Disusul orang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
          Ini semua lelucon! Pikir Parno dari kejauhan. Dia memutuskan untuk tidak bergabung dalam pawai menuju ajal tersebut. Parno hanya menonton sambil merokok. Saya akan menunggu Ki Ahmad dan menjadi orang terakhir yang menertawakan ketololan mereka. Bila mereka benar, saya rela buah zakar saya menjadi makanan para iblis. Parno pun bergegas pergi dari telaga mencari tempat sempurna untuk menanti kepastian.

*****

Sudah hampir 6 jam berlalu. Tengah malam nyaris tiba. Parno masih terduduk sendiri di teras balai desa. Ki Ahmad belum juga datang. Bila setengah jam lagi Parno masih hidup, dia yakin Ki Ahmad hanyalah bualan nenek moyang. Dan sang penyebar berita palsu adalah manusia yang tidak bertanggung jawab.
          Sreg, sreg, sreg, sreg. Parno terkesiap. Di tengah kesunyian tanpa satu manusia pun, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki terseret. Bulu kuduk Parno mendadak mengalami ereksi. Keringat dingin mulai menetes. Tubuhnya gemetar. Parno memberanikan diri untuk melihat dari kejauhan, mencari sumber suara.
          Sreg, Sreg, SREG, SREG. Semakin dekat. Semakin DEKAT. SEMAKIN DEKAT. Gigi Parno beradu seperti orang kedingingan. Otaknya tiba-tiba memerintahkan mulut Parno untuk bersuara kecil. Nyaris berbisik.
          “Ki…Ki…Ahmad…?”
          SREG, SREG, SREG, SREG. Tidak ada balasan.
          “Ki…Ahmad?”
          SREG, SREG, SREG.
         “KI AHMAD!!! Ampuni saya!!! Jangan bunuh saya!!! Jangan kirim saya ke neraka!!” Parno berteriak histeris sambil bersujud menghadap ke tanah.
          SREG, SRE… “Permisi, benar ini desa Sukadosa?”
Parno masih gemetar sambil perlahan mengangkat kepalanya untuk melihat sumber suara tersebut. Seorang tua dengan setelan kyai. Dia membawa tas besar.
          “Ki…Ahmad?”
      “AKHIRNYA! AKHIRNYA!”, manusia misterius itu tiba-tiba berteriak girang. Parno masih berlutut gemetar menunggu kelanjutan dari kalimat itu.
          “AKHIRNYA…saya bertemu dengan manusia!”
          Parno terbengong.
         “Saya telah berjalan melewati 6 desa dan menemukan keanehan, tidak satu orang pun saya temui! Sungguh tidak lazim.”
          Parno pun mulai bicara, “maaf…Anda ini siapa?”
          “Kenalkan, saya Ki Ahmad.”
          “Apa tujuan Anda ke sini?” Parno bertanya dengan ekstra hati-hati.
          “Yah, mungkin banyak orang yang tidak menyukai apa yang saya lakukan sebagai pekerjaan. Saya... pedagang.”
          “Pedagang?”
         “Ya pedagang. Saya menjajakan alat ibadah, kitab suci, dan segala atribut agama lainnya. Hmm… barangkali Anda tertarik?”
          Parno terdiam. Sukadosa kembali hening. Kentut nyamuk meledak-ledak.


13.40 WIB
Bandung, 23/3/2012