Kamis, 20 Maret 2014

[Subliminal] Contemplation I: Sorrow to Borrow





There was a girl who came out of a tree,
she thought she's human, but she's really a cherry.

With her red skin she never forgets to carry,
she felt nothing underneath but merry and cheery.

One day she fell and she fell really hard,
yet she didn't fall apart, she still has her heart.

She recalls not her agony nor her tragedy,
but how to be free and how to be jolly.

Up on the tree, she lived so comfortably,
where the world was to see and never to be.

She finally gave up and about to climb down,
to be excited for the adventure to be found.

She might be in danger, she would be at low,
but she was honestly sure, that she hoped to grow.

She would borrow my sorrow and take it to her new tree,
just to remind her that she will always be a happy cherry.

Jumat, 07 Maret 2014

[Saksi Fiksi] Penerbangan Terindah


Kabin pesawat, Jawa Tengah, 28 Desember 2013, 16:19 WIB

Jodi melempar tatapannya ke luar jendela pesawat. Bukan karena pemandangan untuk diingat, tapi keadaan cuaca yang ingin segera dia lupakan. Sore itu, Jodi di dalam perjalanan pulang dengan rute Bali-Jakarta setelah menghabiskan serangkaian kontrak kerja selama 5 hari di pulau impian. Jodi dikirim untuk meliput festival kebudayaan yang dia nilai sebagai “klise”, “tanpa kejutan”, dan “variatif namun hambar”. Biasanya dia berkelana dengan fotografer untuk menemaninya, tapi kali ini dia berada dalam misi solo. Padahal, setiap kali ada pekerjaan, hati kecilnya selalu berharap, semoga fotografer ini adalah perempuan muda, cantik, dan bersemangat di mana kita bisa bersama mengarungi petualangan kecil yang akan mengarahkan cinta lokasi tanpa skenario. Apa daya, dia selalu dipasangkan dengan pria gendut-bau-badan, mas Jowo dengan ocehan-abadi-yang-tidak-menarik, ataupun om berjenggot nan ultra-islami. Bahkan sekarang dia harus menempuh semuanya sendiri.
            Pesawat kembali terguncang. Kali ini lebih keras dan lama dari sebelumnya. Hari itu sebenarnya pesawat nyaris tidak berangkat mengingat cuaca yang sangat buruk. Walau Jodi sedikit khawatir, dia sedikit lega dengan mengingat jam terbangnya yang mencatat probabilitas menguntungkan: 100% dari pengalamannya menumpang pesawat diakhiri dengan selamat. Tapi bagi sebagian orang suasana di situ sangat mencekam: turbulensi konstan, bayi yang tidak berhenti menangis, dan ekspresi panik salah satu pramugari. Pramugari! Mereka seharusnya memberikan rasa tenang bukan seolah meyakinkan penumpang kalau perjalanan ini tidak baik-baik saja.
            Jodi yang duduk di kursi lorong alias aisle mencoba mengabaikan horor 40.000 kaki itu dan memilih untuk bercengkerama dengan memori. Lebih tepatnya, dengan kejadian sekitar 60 menit yang lalu. Jodi baru saja memasuki badan pesawat saat dia menyaksikan senyuman terindah yang pernah dia konsumsi. “Selamat sore, Pak.”, ujar bibir itu. Jodi berusaha keras untuk membalasnya dengan senyuman terbaik. Terbaik dari yang terbaik. Tak hanya itu, kedalaman kontak mata pun dia jaga teliti dengan sedikit harapan bahwa interaksi ini tidak hanya berakhir di kamar mandi sebagai fantasi seksual yang menemani mobilitas statis tangan kanannya.
Pria 28 tahun itu sesungguhnya lelah akan realitas yang sering tidak berjodoh dengan ekspektasi. Sebenarnya, dia merupakan pria tampan. Tidak sempurna dan bersih dari goresan sedikit pun layaknya bintang FTV tanpa kepribadian menarik, tapi dia keren. Karakter uniknya mengeluarkan energi tambahan untuk mengubah sekedar ‘keren’ menjadi ‘ganteng’. Tak hanya orang-orang di sekitarnya yang menyadari ini, bahkan Jodi pun awas akan ketampanannya. Namun apalah arti itu semua tanpa keberanian yang mengimbangi. Jodi hanya memanfaatkan ketampanan, intelektualitas, dan karismanya sebagai modal bermain mata atau bergenit-genit minimalis yang biasanya disambut positif oleh lawan mainnya. Sayangnya, semua itu tidak akan berlanjut ke episode berikut. Segala kisah tamat di situ, dan Jodi akan melanjutkan dengan versinya sendiri –atau sebut saja ‘berkhayal’-.
Di tengah goncangan pesawat yang semakin menggila, Jodi kembali berkelana ke sekitar 50 menit yang lalu di mana pesawat masih bersiap-siap untuk lepas landa. Jodi baru saja keluar dari toilet pesawat dan kembali menemukan si empunya senyum terindah. Secara alami, dua buah senyum tulus tertukar dengan mulus. Di balik kacamata Jodi, pupilnya melirik kilat ke arah dada kiri sang lawan bicara. Bacanya dalam hati, Lulu! Namanya Lulu... Eh, Luluh! Luluh! Pakai H! Dengan sigap matanya kembali bertolak dari obyek tersebut karena takut Luluh mengira dia memandangi payudaranya.
“Suka juga?”
Bibir Luluh kembali beraksi, kali ini dengan telunjuknya mengarah ke baju yang dipakai Jodi. Tampaknya Jodi sendiri tidak menyadari apa yang terpampang di bajunya.
“Hah?”
Jodi segera memastikan: poster film dengan tulisan “Back To The Future menemani visual mobil DeLorean. Trilogi ini telah dinobatkan Jodi sebagai “Jodi’s Film of Life” karena ia telah jatuh cinta dengan segalanya dalam film tersebut. Namun yang paling penting bagi Jodi adalah tema utamanya: mesin waktu.
Di situ, di dalam pesawat, di depan pintu toilet, Jodi berpikir keras. Berapa besar kemungkinan yang ada? Bertemu dengan pramugari dengan senyum mematikan yang menggemari Back To The Future? Bukankah sebagian besar dari mereka lebih mementingkan untuk memiliki penggemar daripada menjadi penggemar? Pramugari mana yang menonton dan menyukai Back To The Future? Ini bisa menjadi fenomena yang akan mengubah hidup!
Maka terjadilah tujuh menit terbaik dalam hidupnya. Tujuh menit yang menjawab pencariannya selama 28 tahun. Tiga menit pertama diisi oleh pembahasan teknis seperti bagaimana mereka memuja konsep jenius Back To The Future. Betapa Doc Brown, Marty McFly, dan DeLorean telah melengkapi hidup mereka. Atau ekspresi kecintaan Jodi dan Luluh akan karya-karya Robert Zemeckis.
Tiga menit kedua mengandung topik filosofis yang dibuka oleh Jodi:
“Andaikan mesin waktu itu ada, dan hanya untuk sekali pakai, ke mana kamu akan pergi? Masa depan atau masa lalu?”
“Aku akan pergi ke mana pun waktu membawa. Asal aku tidak berada di sekarang.”
“Kamu percaya adanya portal untuk berkelana mengarungi waktu?”
“Tentu saja. Dengan kombinasi fisika kuantum, momen semesta, dan sedikit imajinasi.”
“Mesin waktunya?”
“Pesawat ini mungkin?”
Satu menit terakhir adalah interaksi canggung yang dimulai Luluh:
“Sendiri?”
“Iya.”
“Pulang kerja?”
“Iya.”
“Baiklah. Aku harus kembali bekerja.”
“Baiklah. Selamat bekerja.”
            Tujuh menit tak terlupakan itu berakhir dan meninggalkan debu dalam semesta Jodi. Debu yang tidak akan pernah bisa terbang. Debu yang selamanya mengotori sekaligus menandai adanya kehidupan.

*****

Cuaca bertambah parah. Sang burung besi mulai hilang kendali. Ini adalah guncangan terbesar dan terburuk yang pernah dialami semua penumpang di dalamnya. Seorang pria tengah baya mulai komat-kamit membaca doa. Bayi yang tadi terus menangis kini berteriak histeris. Jodi tak mampu lagi mengalihkan perhatiannya. Dia berhenti mengingat-ingat Luluh dan mulai fokus pada keadaan pesawat yang tak kunjung stabil.
             Jodi tenggelam dalam rasa takut. Dia tak lagi berpikir jernih. Di kepalanya hanya ada kalkulasi probabilitas. Kemungkinannya cuma dua: mati atau hampir mati. Batinnya pun berkecamuk kejam, berdoa pada apapun yang dia percayakan. Berharap dalam ketiadaan asa, hingga menulis janji  dengan sang semesta. Begini bunyinya: wahai pemilik semesta, yang maha segalanya, si pencipta yang ada, sang penutur kosmos, bila kau selamatkan nyawaku hari ini, aku akan menjanjikan perubahan. Aku tak akan lagi menjadi pengecut, aku menolak stagnansi minimnya nyali yang tak bisa membawaku ke manapun selama 28 tahun. Aku akan menyongsong perubahan. Di mana aku akan menjadi orang yang baru, yang tak takut, yang menolak dibudaki kebimbangan. Aku akan menjadi pencari, bukan penunggu. Aku akan mengajak Luluh menjelajah waktu!
            Dengan semangat 40.000 kaki yang terbakar avtur dan terguncang petir, Jodi melepas sabuk pengaman, beranjak, dan berlari menuju tempat duduk Luluh. Setibanya di sana, Jodi hanya tertegun. Terdiam kaku memandang wajah Luluh yang penuh ketakutan. Sepuluh detik terindah. Sepuluh detik terakhir. Sepuluh detik termagis yang pernah Jodi dan Luluh rasakan selama hayat mereka. Sepuluh detik sebelum akhirnya pesawat mereka mengalami guncangan final. Jatuh bebas menuju apa yang tak terketahui. Pesawat mereka telah hilang dari radar. Wajah Luluh menjadi panorama terakhir yang Jodi lihat sebelum mereka luluh lantak dalam misteri.

*****

Kamar Hotel, Bali, 26 Desember 2013, 08.16 WITA

Jodi termenung di depan laptopnya. Dia baru saja terbangun dari tidur semalam. Dia masih terbingung dengan mimpi yang baru saja dialami. Ini salah satu mimpi teraneh yang pernah dia rasakan. Jodi pun segera membuka laptop, menelusuri blog pribadinya, membuka segmen “Jurnal Mimpi”, dan segera menuliskan ingatannya selagi belum lupa.
            Begini isinya:
            Semalam saya mengalami mimpi aneh. Sangat aneh. Terlalu aneh untuk tidak digubris. Mimpi semalam adalah audio-visual paling jelas dan terang. Tak mungkin terlupakan. Saya bermimpi bertemu... saya. Saya dari masa depan. Dia mendatangi saya dalam tidur dan berkata: “batalkan rencana kepulanganmu hari ini, Jodi. Tunda kepulanganmu ke Jakarta. Naiklah pesawat untuk keberangkatan pukul tiga sore dua hari lagi. Kamu tidak akan menyesal. Ini akan menjadi penerbangan terindahmu.”
            Saya tak pernah bertemu diri saya dalam mimpi. Untuk pertama kalinya, dia hadir dan membatalkan rencana saya. Apakah saya harus saya dengarkan?
            Oh ya, mimpi itu ditutup dengan manis. Sebuah senyum perempuan. Senyuman terindah yang pernah saya konsumsi.


19:00 WIB
Jakarta Coffee House, 7/3/2014