Kabin pesawat, Jawa Tengah, 28 Desember
2013, 16:19 WIB
Jodi melempar tatapannya ke luar jendela pesawat. Bukan karena
pemandangan untuk diingat, tapi keadaan cuaca yang ingin segera dia lupakan.
Sore itu, Jodi di dalam perjalanan pulang dengan rute Bali-Jakarta setelah
menghabiskan serangkaian kontrak kerja selama 5 hari di pulau impian. Jodi
dikirim untuk meliput festival kebudayaan yang dia nilai sebagai “klise”,
“tanpa kejutan”, dan “variatif namun hambar”. Biasanya dia berkelana dengan
fotografer untuk menemaninya, tapi kali ini dia berada dalam misi solo.
Padahal, setiap kali ada pekerjaan, hati kecilnya selalu berharap, semoga fotografer ini adalah perempuan muda,
cantik, dan bersemangat di mana kita bisa bersama mengarungi petualangan kecil
yang akan mengarahkan cinta lokasi tanpa skenario. Apa daya, dia selalu dipasangkan
dengan pria gendut-bau-badan, mas Jowo dengan ocehan-abadi-yang-tidak-menarik,
ataupun om berjenggot nan ultra-islami. Bahkan sekarang dia harus menempuh
semuanya sendiri.
Pesawat kembali
terguncang. Kali ini lebih keras dan lama dari sebelumnya. Hari itu sebenarnya
pesawat nyaris tidak berangkat mengingat cuaca yang sangat buruk. Walau Jodi
sedikit khawatir, dia sedikit lega dengan mengingat jam terbangnya yang mencatat
probabilitas menguntungkan: 100% dari pengalamannya menumpang pesawat diakhiri
dengan selamat. Tapi bagi sebagian orang suasana di situ sangat mencekam:
turbulensi konstan, bayi yang tidak berhenti menangis, dan ekspresi panik salah
satu pramugari. Pramugari! Mereka seharusnya memberikan rasa tenang bukan
seolah meyakinkan penumpang kalau perjalanan ini tidak baik-baik saja.
Jodi yang duduk di
kursi lorong alias aisle mencoba mengabaikan
horor 40.000 kaki itu dan memilih untuk bercengkerama dengan memori. Lebih tepatnya,
dengan kejadian sekitar 60 menit yang lalu. Jodi baru saja memasuki badan
pesawat saat dia menyaksikan senyuman terindah yang pernah dia konsumsi.
“Selamat sore, Pak.”, ujar bibir itu. Jodi berusaha keras untuk membalasnya
dengan senyuman terbaik. Terbaik dari yang terbaik. Tak hanya itu, kedalaman
kontak mata pun dia jaga teliti dengan sedikit harapan bahwa interaksi ini
tidak hanya berakhir di kamar mandi sebagai fantasi seksual yang menemani mobilitas
statis tangan kanannya.
Pria 28 tahun itu sesungguhnya lelah akan realitas
yang sering tidak berjodoh dengan ekspektasi. Sebenarnya, dia merupakan pria
tampan. Tidak sempurna dan bersih dari goresan sedikit pun layaknya bintang FTV
tanpa kepribadian menarik, tapi dia keren. Karakter uniknya mengeluarkan energi
tambahan untuk mengubah sekedar ‘keren’ menjadi ‘ganteng’. Tak hanya
orang-orang di sekitarnya yang menyadari ini, bahkan Jodi pun awas akan
ketampanannya. Namun apalah arti itu semua tanpa keberanian yang mengimbangi.
Jodi hanya memanfaatkan ketampanan, intelektualitas, dan karismanya sebagai
modal bermain mata atau bergenit-genit minimalis yang biasanya disambut positif
oleh lawan mainnya. Sayangnya, semua itu tidak akan berlanjut ke episode
berikut. Segala kisah tamat di situ, dan Jodi akan melanjutkan dengan versinya
sendiri –atau sebut saja ‘berkhayal’-.
Di tengah goncangan pesawat yang semakin menggila,
Jodi kembali berkelana ke sekitar 50 menit yang lalu di mana pesawat masih
bersiap-siap untuk lepas landa. Jodi baru saja keluar dari toilet pesawat dan
kembali menemukan si empunya senyum terindah. Secara alami, dua buah senyum tulus
tertukar dengan mulus. Di balik kacamata Jodi, pupilnya melirik kilat ke arah
dada kiri sang lawan bicara. Bacanya dalam hati, Lulu! Namanya Lulu... Eh,
Luluh! Luluh! Pakai H! Dengan sigap matanya kembali bertolak dari obyek
tersebut karena takut Luluh mengira dia memandangi payudaranya.
“Suka juga?”
Bibir Luluh kembali beraksi, kali ini dengan
telunjuknya mengarah ke baju yang dipakai Jodi. Tampaknya Jodi sendiri tidak
menyadari apa yang terpampang di bajunya.
“Hah?”
Jodi segera memastikan: poster film dengan tulisan “Back
To The Future” menemani visual mobil
DeLorean. Trilogi ini telah dinobatkan Jodi sebagai “Jodi’s Film of Life”
karena ia telah jatuh cinta dengan segalanya dalam film tersebut. Namun yang
paling penting bagi Jodi adalah tema utamanya: mesin waktu.
Di situ, di dalam pesawat, di depan pintu toilet,
Jodi berpikir keras. Berapa besar
kemungkinan yang ada? Bertemu dengan pramugari dengan senyum mematikan yang
menggemari Back To The Future? Bukankah sebagian besar dari mereka lebih
mementingkan untuk memiliki penggemar daripada menjadi penggemar? Pramugari
mana yang menonton dan menyukai Back To The Future? Ini bisa menjadi fenomena
yang akan mengubah hidup!
Maka terjadilah tujuh menit terbaik dalam hidupnya.
Tujuh menit yang menjawab pencariannya selama 28 tahun. Tiga menit pertama
diisi oleh pembahasan teknis seperti bagaimana mereka memuja konsep jenius Back
To The Future. Betapa Doc Brown, Marty McFly, dan DeLorean telah melengkapi
hidup mereka. Atau ekspresi kecintaan Jodi dan Luluh akan karya-karya Robert
Zemeckis.
Tiga menit kedua mengandung topik filosofis yang
dibuka oleh Jodi:
“Andaikan mesin waktu itu ada, dan hanya untuk sekali
pakai, ke mana kamu akan pergi? Masa depan atau masa lalu?”
“Aku akan pergi ke mana pun waktu membawa. Asal aku
tidak berada di sekarang.”
“Kamu percaya adanya portal untuk berkelana
mengarungi waktu?”
“Tentu saja. Dengan kombinasi fisika kuantum, momen
semesta, dan sedikit imajinasi.”
“Mesin waktunya?”
“Pesawat ini mungkin?”
Satu menit terakhir adalah interaksi canggung yang
dimulai Luluh:
“Sendiri?”
“Iya.”
“Pulang kerja?”
“Iya.”
“Baiklah. Aku harus kembali bekerja.”
“Baiklah. Selamat bekerja.”
Tujuh menit tak
terlupakan itu berakhir dan meninggalkan debu dalam semesta Jodi. Debu yang
tidak akan pernah bisa terbang. Debu yang selamanya mengotori sekaligus
menandai adanya kehidupan.
*****
Cuaca bertambah parah. Sang burung besi mulai hilang kendali. Ini adalah
guncangan terbesar dan terburuk yang pernah dialami semua penumpang di
dalamnya. Seorang pria tengah baya mulai komat-kamit membaca doa. Bayi yang
tadi terus menangis kini berteriak histeris. Jodi tak mampu lagi mengalihkan
perhatiannya. Dia berhenti mengingat-ingat Luluh dan mulai fokus pada keadaan
pesawat yang tak kunjung stabil.
Jodi tenggelam dalam rasa
takut. Dia tak lagi berpikir jernih. Di kepalanya hanya ada kalkulasi
probabilitas. Kemungkinannya cuma dua: mati atau hampir mati. Batinnya pun
berkecamuk kejam, berdoa pada apapun yang dia percayakan. Berharap dalam
ketiadaan asa, hingga menulis janji
dengan sang semesta. Begini bunyinya: wahai pemilik semesta, yang maha segalanya, si pencipta yang ada, sang
penutur kosmos, bila kau selamatkan nyawaku hari ini, aku akan menjanjikan
perubahan. Aku tak akan lagi menjadi pengecut, aku menolak stagnansi minimnya
nyali yang tak bisa membawaku ke manapun selama 28 tahun. Aku akan menyongsong
perubahan. Di mana aku akan menjadi orang yang baru, yang tak takut, yang menolak
dibudaki kebimbangan. Aku akan menjadi pencari, bukan penunggu. Aku akan
mengajak Luluh menjelajah waktu!
Dengan semangat 40.000
kaki yang terbakar avtur dan terguncang petir, Jodi melepas sabuk pengaman,
beranjak, dan berlari menuju tempat duduk Luluh. Setibanya di sana, Jodi hanya
tertegun. Terdiam kaku memandang wajah Luluh yang penuh ketakutan. Sepuluh
detik terindah. Sepuluh detik terakhir. Sepuluh detik termagis yang pernah Jodi
dan Luluh rasakan selama hayat mereka. Sepuluh detik sebelum akhirnya pesawat
mereka mengalami guncangan final. Jatuh bebas menuju apa yang tak terketahui.
Pesawat mereka telah hilang dari radar. Wajah Luluh menjadi panorama terakhir
yang Jodi lihat sebelum mereka luluh lantak dalam misteri.
*****
Kamar Hotel, Bali, 26 Desember 2013,
08.16 WITA
Jodi termenung di depan laptopnya. Dia baru saja terbangun dari tidur
semalam. Dia masih terbingung dengan mimpi yang baru saja dialami. Ini salah
satu mimpi teraneh yang pernah dia rasakan. Jodi pun segera membuka laptop,
menelusuri blog pribadinya, membuka segmen “Jurnal Mimpi”, dan segera
menuliskan ingatannya selagi belum lupa.
Begini isinya:
Semalam
saya mengalami mimpi aneh. Sangat aneh. Terlalu aneh untuk tidak digubris.
Mimpi semalam adalah audio-visual paling jelas dan terang. Tak mungkin
terlupakan. Saya bermimpi bertemu... saya. Saya dari masa depan. Dia mendatangi
saya dalam tidur dan berkata: “batalkan
rencana kepulanganmu hari ini, Jodi. Tunda kepulanganmu ke Jakarta. Naiklah
pesawat untuk keberangkatan pukul tiga sore dua hari lagi. Kamu tidak akan
menyesal. Ini akan menjadi penerbangan terindahmu.”
Saya tak pernah bertemu diri saya dalam mimpi. Untuk pertama kalinya,
dia hadir dan membatalkan rencana saya. Apakah saya harus saya dengarkan?
Oh
ya, mimpi itu ditutup dengan manis. Sebuah senyum perempuan. Senyuman terindah
yang pernah saya konsumsi.
19:00 WIB
Jakarta Coffee House, 7/3/2014