Selasa, 13 November 2012

[KacaMata, Subliminal] Monolog Senja: Mengenai Liburan

Menurut kamu, apa bagian terburuk dari sebuah liburan?
Saat memasuki hari-hari terakhir.

We were just there, lost in all estrangement.

Apakah kamu tahu kalau perjalanan ini bukanlah abadi?
Ya.
Never be too sure, never.


Lalu, kenapa kamu terus melakukannya?
Saya tidak memikirkan bagian terburuknya.

Their rotting routines
is our  once-in-a-lifetime.

Tapi?
Setiap liburan adalah harapan, bukan risiko.

We're smaller than the smallest,
the tiniest dust of the tiniest dust.

Kamu tidak lelah berlari?
Belum.


Some things aren't just worth it.
Look closer.

Berapa orang asing lagi yang ingin kamu asingkan?
Saya tidak mengasingkan orang. Saya hanya tidak nyaman berada bersama alien.

For life's sake,
one day we'd be dressed to kill.

Tidak nyaman atau takut?
Ketidaknyamanan itu menakutkan.


We find a light in every darkness,
but it always unreasonably died.

Bung, ketakutan itu ilusi. Setelah itu selalu ada tempat yang lebih baik.
Saya tahu, hanya saja saya pelupa.


The treasures were there all along...
Maybe.

Ingat ini: selalu ada tuangan kemenangan sesudah pertumpahan peluh.
Tapi apakah itu semua setimpal? Kamu punya surat garansinya?

Every pour is a false hope,
every sip is a awakening.
Siapa yang membutuhkan garansi saat kamu diberkati ketidaktahuan? Jangan bersiap untuk terkejut. Masa depan hanyalah khayalan yang tidak hadir membumi. Dia jauh di sana, mengimingi kesempurnaan. Membuatmu lupa daratan, lupa berpijak pada saat ini. Mengirimkan takut yang tidak seharusnya nyata. Menghapuskan oranye sore, dan menggantinya dengan hitam malam.


The dawn isn't meant to be immortal,
now is the most eternity you'd ever live.


Senja tidak berlangsung selamanya, bung.







Senin, 12 November 2012

[Kacamata] Feses Fauna

Belajar dan bekerja itu seru juga menyenangkan.

Tapi berjuang demi mendapatkan gelar adalah feses fauna.

Senin, 15 Oktober 2012

[Subliminal] Lakukan!

Apa yang akan kamu lakukan?
Saat tubuhmu dibatasi sekat-sekat
Pantatmu dipaku erat-erat
Kamu menggunakan kacamata kuda
Semua sudah biasa


Apa yang akan kamu lakukan?
Bila rutinitas menjadi hantu
Seluruh jalan sudah buntu
Ingin sekali bisa lari
Apa daya pagar berduri

Apa yang akan kamu lakukan?
Ketika mati spontanitas
Insting alami diberantas
Buah zakarmu telah dikontrak
Dan kamu tak bisa teriak


Apa yang akan kamu lakukan?
Saat kamu menjadi mayat hidup
Berjalan menuju ruang tertutup
Langit-langit yang teratas
Dan cakrawala yang terbatas

Apa yang akan kamu lakukan?
Bila merasa terlalu nyaman
Semua terasa aman
Mengacuhkan yang berlalu
Tanpa sedikit rasa malu


Apa yang akan kamu lakukan?
Ketika selalu ada yang harus kamu lakukan
Tanpa henti mengimingi imbalan
Dan perlahan kamu berharap untuk terbang
Terus berjalan tanpa menoleh belakang


Apa yang akan kamu lakukan?

Apa?

Lakukan!

Senin, 03 September 2012

[Saksi Fiksi] Tragedildo




Namanya Mira Sumira dari tanah pasundan. Sejak kecil hingga hampir lulus kuliah akrab dipanggil Miras. Sapaan ini seperti mengukuhkan stereotip kalau perempuan sunda itu ibarat madat mata. Jangan bayangkan kadar alkoholnya, melihat kemasannya saja bisa mabuk. Mira atau Miras memiliki bakat alami dalam perihal patah-mematah hati. Segala tentangnya menjadi favorit para lelaki pada umumnya: rambut tergerai panjang, kulit putih lembut, mata bulat namun mendadak sangat sipit saat tertawa, tekstur wajah sempurna, aksen Sunda-Jakarta, tidak terlalu pintar, modis dalam takaran yang tak berlebihan, dan yang paling fatal: senyumnya yang magis. Ya, senyum yang mampu membuat setiap orang merasa spesial. Senyum yang mampu meredakan pedih dan mengobati perih. Senyum yang mengandung kadar alkohol sama dengan setengah botol Anggur Merah Orang Tua murni.
           Tapi tidakkah kamu pernah dengar kalau alkohol itu tidak baik untuk kesehatan? Konsumsi secukupnya dan kamu akan merasa bahagia, konsumsi berlebihan dan lambungmu akan meledak. Begitulah Miras. Entah sudah berapa lambung pria yang dibuat hancur lebur akibat overdosis harapan kosong yang diberikannya. Para korban pun memiliki kronologi variatif. Ada yang berhasil merebut hati Miras, namun dalam waktu 5-6 bulan sang korban mendadak dihempaskan sadis. Ada juga yang masih PDKT, lalu terlampau PD, dan jadi KT (Korban Tolakan). Lain lagi dengan cecunguk-cecunguk yang dengan mudahnya menyatakan ‘saya sayang Miras!’ hanya setelah 2-3 kali disenyumi. Ya jelas lambungnya meledak-ledak hancur terburai!
              Namun jangan terburu-buru menghakimi Miras. Dia bukan ‘cewek plastik’ yang doyan menjual perasaan dengan harga diskon padahal calon pembeli harus membayar mahal di kasir. Miras sejatinya hanya perempuan biasa yang mengandung kompleksitas tersendiri. Begini, dia terlihat biasa dari permukaan, tapi sesungguhnya dia menyimpan suatu kesedihan yang luar biasa. Mungkin kesedihan yang muncul akibat suatu kenangan buruk di masa lalunya. Kesedihan yang mengubah dirinya menjadi seorang keras kepala, ultra-independen, membuta dan menulikan diri sendiri dari kenyataan. Maksudnya, kini dia ingin menjadi pilot dalam pesawat non-komersilnya, bukan co-pilot, atau pramugari, apalagi penumpang. Tanpa disadari, dia terus menutup diri dengan hebatnya hingga paranoid saat menjalin hubungan antar-gender level lanjut. Miras tidak ingin keputusan dalam hidupnya diganggu oleh siapapun. Maka dia seperti sengaja menyabotase perasaannya sendiri ketika dia merasa hubungan itu mulai serius. Karena saat hubungan mulai serius, di situlah dia merasa pesawatnya dibajak. Keputusan diganggu gugat. Miras tidak bisa lagi menjadi pemimpin otoriter dalam hidupnya, dan dia benci demokrasi.
            Bukan hanya keputusan besar, kepuasan kecil pun dia enggan membagi atau mencuri dari orang lain. Sampai pada taraf seks. Ya, seks. Tidak seperti tipikal keluarga sunda yang kental dengan pendidikan agamis, Miras dibesarkan dalam keluarga yang cukup sekuler. Tidak terlalu normatif. Latar belakang ini merupakan liberalisasi pola pikir. Miras memerdekakan keperawanannya di umur 15, caturwulan II di kelas 1 SMA. Sejak itu dia rajin memenuhi kebutuhan biologis. Anehnya, Miras tak pernah terpuaskan. Dia berteori kalau kesulitannya dalam mencapai puncak disebabkan oleh kondisi psikologis. Secara fisik, ya… boleh lah. Tapi secara fisik dan batin… tak ada yang membawanya lebih tinggi daripada sebuah timun suri. Intinya, selama remaja Miras lebih menyukai timun daripada penetrasi antar homo sapiens. Tapi kebiasaan itu perlahan berganti waktu lulus SMA, temannya membawakan dildo dari Amsterdam sebagai oleh-oleh. Dildo itu pun menjadi saksi basah kenikmatan individual Miras awal masa kuliah. Kawan setia yang paling mengerti tolak ukur seksualitas Miras. Selingkuhan misterius yang mampu membuat pacar-pacarnya cemburu.
          Semua berubah ketika dia bertemu Adam. Pria adem-ayem yang sebenarnya tidak begitu tampan bila dibandingkan dengan kecantikan Miras. Pemuda kurus ini sangat cuek dan pendiam. Dia hanya bicara bila ada kepentingan atau saat dia memikirkan sesuatu dan tanpa sengaja menggumamkan isi kepalanya. Mungkin ini yang membuat Miras tertarik. Tingkat anti-sosialnya setara. Mereka tidak mengeksklusifkan status, tapi ada kesadaran masing-masing tentang situasi satu sama lain. Mereka lebih memilih aktivitas di mana Miras dan Adam bisa memaksimalkan waktu berkualitas bersama pikiran masing-masing tanpa melepaskan zona aman. Perpustakaan atau toko buku misalnya, mereka bisa langsung berpencar tanpa harus banyak bertukar omong. Atau bioskop, di mana mereka bisa bersebelahan menikmati satu keindahan tanpa harus menatap mata. Dan… seks. Saat magis Miras dan Adam bertukar kenikmatan tanpa harus bercerita mengenai apa yang menarik.
            Waktu berjalan tanpa lelah secuil pun. Satu tahun. Dua tahun. Dua setengah tahun. Perlahan dildo kesayangannya ditinggalkan. Miras menemukan pemuas alami yang mampu mengalahkan timun 2 kg, atau dildo 20 cm. Sampai pada saatnya Miras memutuskan untuk menjual dildo itu via internet. Dalam seminggu, kawan sejatinya pun terjual dengan harga murah kepada seorang di Eropa. Mengakunya sih pria. Entahlah. Satu hal pasti, tindakan ini menjadi salah satu penyesalan terbesar Miras dalam hidupnya.

*****

Masa kuliah telah berakhir. Miras dan Adam mulai menatap karir. Miras menjadi fotografer lepas di sejumlah media dan acara tertentu. Honornya cukup untuk berwisata asmara dengan Adam. Sedangkan Adam masuk dunia perbankan. Profesi aman yang akan membayar loyalitas dengan gaji setimpal. Tapi Adam tidak pernah merasa cukup kaya. Bedanya begini: Miras melakukan hobinya untuk dibayar, sedangkan Adam membanting tulang demi meniti karir dan mencapai kesuksesan finansial. Begitulah, perlahan mereka berjalan menuju arah yang berbeda.
            Tanpa disadari, Miras dan Adam saling mengejar. Ada yang berlari, ada yang mengikuti. Entah siapa yang mana. Tapi yang jelas, Adam semakin melupakan dirinya yang lama. Dia telah mencipta revolusi kepribadian demi tercapainya puncak karir. Dia tidak ingin menjadi antisosial lagi. Dia ingin berteman dengan semua orang. Dia mulai mencintai dialog. Di sisi lain, Miras adalah orang yang sama. Enggan berubah. Dia terlalu cinta dirinya sendiri hingga lupa beradaptasi.
           Transformasi Adam semakin menghancurkan hubungannya dengan Miras. Mereka hampir tidak pernah ke toko buku lagi. Menonton di bioskop semakin jarang. Seks? Adam kehilangan libidonya. Miras semakin gundah dan mulai memaksa Adam untuk kembali ke Adam yang lama. Merasa terusik, Adam pun meledak dan memutuskan untuk memutuskan Miras. Mengusir dari beranda hatinya. Miras masih ingat betul kata-kata terakhir yang diteriakan Adam sebelum akhirnya mereka berpisah secara resmi: “KEMBALI SAJA KE DILDO KAMU!”

*****

Dengan segala perubahan ini, Miras kembali ke aktivitas lamanya. Misi solo. Kembali menyendiri, kembali ke timun suri. Tapi kali ini rasanya beda. Timun kalah jauh dengan penis Adam. Dia meminjam vibrator temannya. Tidak terasa apa-apa. Lalu mencoba dildo kawannya. Hampa. Tidak ada yang bisa membantu Miras mencapai orgasme selain Adam. Kemudian Miras berteori, mungkin ini masalah psikologis. Bila hanya penis Adam yang mumpuni, berarti… dia harus mengambil dildo pertamanya!
             Miras langsung menghubungi pembelinya di Eropa. Tujuannya untuk membeli kembali dildo kesayangannya itu. Ternyata benar, dia pria. Phillip, seniman Perancis. Kolektor dildo katanya. Bahkan dia mengaku ahli. Phillip suka mengendus dildo bekas, lalu menganalisa kisah di baliknya. Dia pun mengatakan, kalau dia sangat menyukai kisah dildo Miras. Menurut Phillip, dildo tersebut tidak hanya sekedar pemuas waktu luang, tapi pengisi masa-masa tersuram seorang manusia. Phillip menjelaskan, dildo itu bernilai sangat tinggi dan dia tidak akan menjualnya pada siapapun. Lantas Miras memaparkan semua kisahnya kepada Phillip, timun suri, dildo, Adam, perubahan, dan segala konflik batinnya. Miras mengatakan bahwa hanya Adam yang bisa memuaskannya.
              Menyimak kisah gilanya itu, Phillip akhirnya menaruh simpati walau dia masih enggan untuk mengembalikan dildonya . Hingga akhirnya, mereka berdua berembuk secara online. Phillip memberikan saran-saran dan strategi kepada Miras untuk mendapatkan orgasmenya kembali. Miras masih ingat kata-kata terakhir Phillip sebelum dia mengucap terima kasih: “SAATNYA KAMU MENGAMBIL DILDO KAMU!”

*****

Setelah sekian bulan tidak berkontak, Adam terkejut mendapat pesan pendek dari Miras yang mengajak ke rumahnya untuk sekedar makan malam. Di pesannya itu, Miras mengaku kekanak-kanakan dan sudah melupakan masa lalu. Katanya dia kini sudah dewasa. Dan makan malam di rumahnya ini bentuk permintaan maaf dan dia ingin berdamai dengan masa lalu. Adam pun berpikir mungkin tidak ada salahnya. Walau begitu, Adam menegaskan bahwa dia tidak akan tertarik untuk kembali menjalin hubungan apapun yang terjadi. Miras hanya mengiyakan dan mengingatkan makan malam di rumahnya pukul 19.00.
            18.55 Adam sudah di rumahnya. Miras menyambutnya dengan pelukan hangat antar teman. Rasa rindu jelas terpampang di situ. Tak lama, mereka berdua sudah duduk di meja makan. Miras tak pandai memasak, maka dia memesan makan dari restoran Cina favorit mereka berdua dulu. Seperti biasa, dialog tidak banyak terjadi. Mereka seperti berkomunikasi melalui udara dan tatapan mata. Pembicaraan terpanjang terjadi ketika Adam mulai menceritakan pengalamannya di kantor baru di mana dia mendapat gaji dan jabatan yang lebih tinggi. Di tengah penjelasannya yang panjang lebar, Adam tiba-tiba mengantuk. Rasa kantuk terbesar dan terberat yang pernah dialaminya seumur hidup. Tidak sampai satu menit, Adam tersungkur pingsan di lantai.
             Melihat kejadian itu Miras tidak terkejut. Dia langsung mengangkut Adam dan dibawanya ke tempat tidur. Dengan sigap dia menelanjanginya lalu mengikat kedua tangan dan kaki Adam pada ranjang sehingga tidak memungkinkan untuk bergerak. Saat tidur, Miras meminumkan obat kuat pada Adam, obat yang mampu membuat ereksi tanpa kendali. Kemudian dia menunggu beberapa jam sampai Adam tersadar.
               Setelah terbangun, Adam terkejut bukan main. Dalam keadaan terikat, telanjang, dan ereksi, Adam berteriak minta tolong. Mengumpat tanpa henti. Panik maksimal. Puncak kebingungan. Miras hanya berdiri di situ, tanpa ekspresi memandang tajam ke arah penis Adam yang sedang keras-kerasnya. Dalam hitungan detik, Miras mengeluarkan pemotong rumput ukuran besar. Perlahan dia menarik keluar gagang gunting, menetapkan penis Adam sebagai target, lalu menarik napas dalam-dalam. Adam terus berteriak histeris, memohon Miras untuk tidak bertindak gila. Percuma, Miras menekan gagang gunting dan memotong penis Adam tepat di pangkalnya. Awalnya agak sulit, tapi setelah berulang kali Miras menekan-menarik gagang, akhirnya penis itu copot, lepas dari Adam. Darah bercucuran ke mana-mana, muncrat seperti pipa bocor. Adam berteriak terlalu keras hingga tidak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya.
                Selesai memenggal, Miras menggenggam penis itu sambil tersenyum. Adam masih ingat kata-kata terakhir Miras sebelum dia kembali pingsan: “AKU MENDAPATKAN DILDOKU KEMBALI!”

15:39
Jakarta, 3/9/2012

Minggu, 20 Mei 2012

[Saksi Fiksi] Pria dari Langit




Seorang pria terjatuh dari langit mendung siang itu. Tepatnya pukul 14.05 menurut operator 108. Telanjang bulat, tanpa sehelai sandang melekat. Bahkan pikirannya kosong tanpa pretensi secuil keringat. Dia mungkin hampir setinggi 170 cm. Agak gempal tapi atletis. Rambutnya seperak medali juara dua Olimpiade. Tapi dia bukan Terminator, apalagi Mr. Bean. Kumisnya yang tidak terlalu tebal menyimpan berhelai-helai misteri. Apa yang dia lakukan di sini?
         Pertanyaan itu muncul dari benak Akid, pemuda yang tanpa sengaja menyaksikan kejadian fenomenal itu. Di tengah perjalanannya menuju rumah, Akid terkejut bukan main ketika ada kegaduhan kecil dari jarak hanya 10 meter di depannya. Dengan wajah tidak percaya, Akid memperhatikan gerak-gerik pria misterius tersebut. Walaupun terjatuh dari langit, dia tidak tampak kesakitan sama sekali. Kulitnya yang bugil sawo matang juga tidak terluka. Lengkap sudah keanehan yang disaksikan Akid: seorang pria telanjang terjatuh dari langit tanpa merasa sakit dan terluka sedikit pun.
        “Hey, kamu.” Belum sempat Akid menyimpulkan apa-apa, pria itu sudah menyadari kehadirannya. Akid pun terkesiap mendengar sapaannya. Suaranya standar dan normal layaknya manusia. Tidak ada kesan dewa atau mahluk gaib.
          “Kamu mau tolong saya?”
          “Ya… A-apa yang bisa saya bantu?”
          “Bisa bantu saya kembali ke rumah?”
          “Hmm… Di mana rumah Anda tepatnya?”
          “Tidak jauh dari sini.”
          “Baiklah. Apa yang bisa saya lakukan?”
          “Pertama, saya butuh pakaian.”
       Saat masih terbengong, ponsel Akid berbunyi. Pesan pendek dari pacarnya: Kamu di mana? Kenapa telpon ga diangkat-angkat?

*****


Pikiran Akid terus berkecamuk. Dua sisi dalam dirinya sedang berkelahi mendebatkan keputusan yang bijak. Di satu sisi, Akid ingin rasanya kabur. Dengan alasan ingin mengambilkan baju di rumahnya, dia bisa saja langsung minggat. Tapi di sisi lain, Akid ingin sekali menolong pria itu. Ada sesuatu yang mendorong Akid untuk mengantarkannya pulang. Pria itu terlalu aneh untuk dicampakkan, sekaligus terlalu mencurigakan untuk ditemani. Siapa dia? Atau lebih tepatnya, APA dia?
          Setelah pertempuran hati yang absurd, akhirnya Akid buru-buru mengambil pakaian di rumah dan kembali ke tempat tadi. Meminjamkannya kaos, celana dalam, celana pendek, dan sendal jepit. Akid memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang orang itu. Toh tidak ada satu orang pun yang akan percaya bila dia melaporkan kejadian ini.
           “Hmm, terlalu kecil ya?”
       “Ya sedikit. Tapi tidak apa-apa lah. Daripada saya dituduh amoral karena mempertontonkan aurat.”
          “Siapa nama Anda?”, Akid tidak mampu menahan rasa penasarannya.
          “Panggil saya… Isakayoga.” Akid mengernyitkan dahi.
          “Kenapa? Aneh ya?”, tanya pria yang ternyata bernama Isakayoga itu.
          “Hmm, tidak juga. Hanya sedikit… tidak lazim.”
          “Itu artinya anak Tuhan,” jawabnya santai.
      Akid mengangguk tanpa mampu menghilangkan rasa ragunya. Isakayoga pun melanjutkan perjalanannya, “yuk, kita mulai bergerak. Waktu saya tidak banyak di sini.”
          “Lalu, kita ke mana?”
          “Ada rekomendasi tempat makan yang enak? Saya lapar.”
      Akid kembali terbengong dengan permintaannya. Dia pikir Isakayoga akan memohon untuk diantarkan ke suatu bukit misterius, atau mengajaknya berburu harta karun di hutan belantara, atau bahkan membunuh naga antagonis di sebuah pulau antah berantah. Tidak ada yang spektakuler dari pria misterius ini. Dia minta MAKAN. Di saat bersamaan, ponselnya kembali berbunyi. Pesan pendek dari bosnya: Telpon kamu ga diangkat-angkat? Jangan lupa meeting sama klien jam 9 pagi mau ngomongin pre-production. JANGAN TELAT. Akid mengantongi ponselnya kembali.
       Mereka berdua langsung berjalan keluar dari gang sempit itu. Perlahan Akid menyusuri jalan diikuti Isakayoga di belakangnya. Tanpa pikir panjang, Akid menuju restoran favoritnya, Wong Nyojo. Rumah makan yang menjajakan kuliner khas Yogyakarta.
       Seperti sudah mengenal baik tempat itu, Isakayoga langsung memesan gudeg telor. Lengkap dengan kepala ayam dan krecek. Tidak pedas. Akid hanya memesan es teh manis. Rasa laparnya lenyap dilahap rasa penasaran. Mereka berdua memilih tempat duduk yang agak memojok. Isakayoga menyantap ala barbar. Seperti tidak pernah bertemu makanan berminggu-minggu, gudeg itu habis dalam durasi kurang dari 5 menit.
          Setelah usai makan, Isakayoga mulai berdialog dengan Akid yang dari tadi hanya melongo.
         “Jangan takut, nak. Jangan pernah takut gagal.”
         “Hah?”
        “Jadilah orang yang berani. Jangan pernah terjebak dalam area di mana semua kondisi aman dan terkendali. Keluarlah dari barikademu, ikutlah berperang dengan dunia, taklukkan peradaban yang semakin menjijikkan ini.”
         “M-maksud Anda?”
         Isakayoga menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.
        “Maksud saya begini… Kamu punya semangat dan ketertarikan yang tinggi pada hidup ini, Kid. Jangan biarkan hidupmu hanya menjadi panggung yang sudah didekorasi oleh panitia. Lebih baik kamu robohkan panggung itu, dan mulailah menulis sandiwara kamu sendiri. Semua orang berhak menjadi sutradara, bukan hanya aktor.”
         “Saya…tidak mengerti.”
     “Kamu akan mengerti suatu hari. Yang terpenting adalah kamu menjadi orang yang berani. Tinggalkan tempat perlindunganmu. Kejar apa yang sesungguhnya kamu ingin. Risiko adalah takdir, nak. Dan kamu tidak bisa memberontak dari takdir.”
         “Hmm… Baiklah… Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
         “Enjoy your life while it lasts. Dan… selamat ulang tahun!”
Selamat ulang tahun…
Selamat ulang tahun…
Selamat ulang tahun…
         “SELAMAT ULANG TAHUN!!”
     Akid terbangun dari tidur nyenyak. Nyanyian itu mengejutkannya. Setengah sadar, Akid memperhatikan orang di sekeliling kamarnya. Ayah-Ibunya, pacarnya, dan teman-temannya. Mereka bernyanyi selamat ulang tahun kepada Akid sambil membawakan kue yang ditaburi lilin.

*****

Sebenarnya tidak begitu banyak yang datang hari itu. Untuk orang “sekelas” Akid, pemakamannya bisa dibilang bukan perhelatan yang terlalu heboh. Hanya orang-orang terdekat dan benar-benar empati saja yang hadir hari itu. Sesuai dengan keinginannya.
        Takdir Akid datang malam sebelumnya. Serangan jantung mendadak, atau cardiac arrest menurut ahli kesehatan, menjemputnya untuk kembali ke rumah sesungguhnya di umur yang tidak terlalu senja. Dia masih tergolong muda bagi orang tua, tapi sudah cukup tua bagi anak muda. Sesaat setelah meninggal, Akid tiba dalam suatu ruangan yang tidak terlalu besar, tapi entah kenapa seperti memiliki ketidakterbatasan ruang.
      Di situ dia dihampiri sesosok misterius. Dia ada dan berwujud, tapi mata manusia tak mampu mendefinisikan dirinya. Akid pun mungkin tidak bisa memberikan deskripsi yang komprehensif. Tanpa alasan yang jelas, orang itu mendekati Akid yang sedang terkesima dengan suasana di sekelilingnya.
         “Selamat datang. Bagaimana hidup? Asyik?”
         “…. Saya… mati ya?”
        “Ya bisa dibilang begitu.”
     Akid terdiam. Cukup lama hingga membuat sang lawan bicara bosan dan mengulang pertanyaannya.
        “Bagaimana hidup?”
        “H-hidup… Ya, menarik… Tapi, entah kenapa… “, Akid terdiam.
        “Kenapa?”
       “…seperti ada yang belum usai.”
        “Manusia memang diciptakan untuk tidak pernah menuntaskan. Sekali pun kalian bisa hidup 1000 tahun lagi, kalian tidak akan bisa menemukan garis akhir.”
      “Tapi… saya merasa hidup saya hanya sesuatu yang terlewatkan. Sesuatu yang terlupakan. Sesuatu yang ada untuk mengisi waktu, bukan sesuatu untuk diisi. Saya…”
         “Takut.”
        “Takut?”
        “Ya, kamu takut. Kamu menghabiskan puluhan tahun dalam hidup dengan rasa takut. Kamu terus bersembunyi di balik barikade zona amanmu. Kamu tidak ikut berperang melawan dunia. Kamu tidak menaklukkan peradaban. Kamu hanya aktor dari sebuah drama yang sudah berlangsung setengah babak. Kamu tidak berani menuliskan ceritamu sendiri. Kamu… tidak hidup.”
        Akid terdiam, dia merasa terpukul dengan jawabannya tegasnya. Dia merasa omongan itu sangat benar. Dia merasa penyesalan sedang menusuk dadanya. Perih. Masa lalu memang mampu melahirkan pilu yang berlipat-lipat. Di tengah kesedihan, si manusia misterius tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang kurang biasa.
         “Kamu percaya multi-semesta?”
          “Multi-semesta?”
         “Ya, semesta paralel, Large Hadron Collidge, dimensi lain, partikel Tuhan, teori big bang, dan segala omong kosong yang kalian sebut sains itu. Kamu percaya?”
         “… Ya… sedikit…”
     “Bila kamu mendapatkan kesempatan kedua untuk mengubah nasibmu, apakah kamu akan mengambilnya?”
          Akid tertegun. ‘Kesempatan kedua’ tedengar menggiurkan.
          “Lalu, apa yang akan terjadi?”
          “Ya hidup kamu akan berubah di semesta lainnya. Versi ‘kamu’ yang baru akan mendapatkan keuntungan dari ‘kesempatan kedua’ yang kamu ambil. ‘Kamu’ di dimensi waktu yang berbeda akan mengubah nasib. Bagaimana tertarik?”
          Akid berpikir keras. Mencoba menimbang-nimbang jawaban yang tepat, yang tidak akan disesali. Tapi kemudian dia tersadar kesalahan utamanya dalam hidup: menimbang suatu keputusan hingga akhirnya dia tidak berani mengambil tindakan. Akid ingat betapa dia lebih menyesal karena tidak melakukan apa-apa daripada karena melakukan kesalahan.
          “Oke, saya mau. Apa yang harus saya lakukan?”
          “Baiklah. Kamu akan dikirim ke masa lalu. Kamu akan bertemu dengan dirimu yang masih muda, yang masih memiliki semangat perubahan. Kamu akan berbicara dengan ‘dirimu’ di masa lalu, agar dia mau berubah. Kapan tepatnya kamu mau dikirim?”
          “Hmm, mungkin saat umur saya 23. Ketika itu saya sedang memiliki pekerjaan yang saya benci, dan pacar yang tidak membuat saya maju.”
          “Baiklah. Sebagai manusia baru, kamu akan saya namakan…. Isakayoga.”

14/5/12
Untuk Isakayoga Cakra Hudasmara, manusia dengan amarah misterius.



Jumat, 23 Maret 2012

[Saksi Fiksi] Ki Ahmad Sudah Dekat



Accidentally consists of similar content with the true tale of The Jonestown Massacre
which I ran into after finishing Ki Ahmad.
Entah dari mana awal rumor ini tersebar, tapi sejak subuh penduduk desa Sukadosa sudah dihebohkan dengan teriakan histeris Tegar, pemuda labil yang terus berseru gentar: “gawat, Ki Ahmad sudah dekat! Cepat bertobat!” Semua orang pun langsung terserang panik mendadak. Mereka belum siap untuk menghadap Ki Ahmad. Keadaan desa Sukadosa yang biasanya tentram tiba-tiba jadi mencekam. Para petani tidak ke ladang, ibu-ibu PKK membatalkan agendanya, anak-anak muda pun hanya tinggal di rumah sambil menangis. Toa-toa masjid di seluruh penjuru desa mengumandangkan kemarahan, “lihat apa yang telah kalian perbuat! Kini sudah saatnya kita berpasrah dan menyerah! Ki Ahmad sudah dekat!”
          Kabar burung ini bermula dari mitos mengenai Ki Ahmad, seorang kyai utusan kerajaan surga yang akan datang untuk membunuh seluruh penduduk desa. Menurut cerita, beliau akan dikirim ke bumi saat manusia tidak lagi manusiawi, ketika kehidupan tidak lagi hidup, kala yang terlarang menjadi awam. Konon siapa pun yang masih hidup saat menghadap sang Ki Ahmad akan dikirim ke neraka paling bawah. Pria akan dipotong buah zakarnya untuk dijadikan bahan sup makan malam para iblis, wanita bakal diperkosa sampai akhir zaman, dan anak-anak bekerja sebagai budak 30 jam sehari.
          Untuk mengatasi situasi yang tidak terkendali, Pak Subijak, selaku Kepala Desa Sukadosa langsung menggelar sidang di balai desa. KepDes yang terkenal gemar menikah ini mengundang sejumlah orang-orang penting di badan pemerintahan desa. Selain itu hadir juga perwakilan dari PKK, aliansi petani, ikatan peternak, forum pedagang, karang taruna, pemuka agama, cendekiawan, dan kelompok seniman.
          Dug! Dug! Dug! Pak Subijak mengetuk palu untuk menenangkan para hadirin yang terus berkicau tanpa juntrungan.
          “Harap tenang!”
          Semua pun terdiam. Bukan karena palu atau perintah, tapi wibawa Pak Subijak yang bertindak.
          “Selamat pagi para hadirin yang saya hormati. Sebelum sidang dimulai, saya ingin memastikan apakah kita orang yang beradab. Mahluk hidup dengan kasta tertinggi, ciptaan Tuhan yang dikaruniai otak dan nurani. Manusia yang mengerti tata tertib dalam ruang sidang!”
          Kali ini ruang sidang benar-benar hening. Terlalu sunyi hingga kentut nyamuk pun samar-samar terdengar.
        “Baiklah,” Pak Subijak mulai membaca tumpukan kertas di depannya.
        “Menurut kabar yang tersebar, Ki Ahmad sang eksekutor umat manusia akan datang mengunjungi desa Sukadosa paling lambat tengah malam nanti. Dari berbagai sumber terpercaya, Ki Ahmad diberitakan telah melewati desa Ciharam, Berhala, Mabugtrus, Narkobi, Mesummulu, dan terakhir mencapai desa Hedonista, yang hanya berjarak 20 kilometer dari desa kita.
          Artinya, kita memiliki 3 pilihan: evakuasi warga menuju desa sebelah; menghadap Ki Ahmad dengan pasrah; atau… bunuh diri berjama’ah.”
          Pak Subijak menelan ludah.
          “Bagaimana respon para hadirin sekalian?”
          “Bila kita ke desa sebelah, apakah menyelesaikan masalah? Toh Ki Ahmad akan ke sana juga,” ucap pegawai kantor pemerintah.
         “Yang terpenting adalah selamatkan anak-anak kita,” kata ibu PKK.
         “Sampai mati, saya akan bersama hewan-hewan saya,” sambar seorang peternak.
          “Kita tidak bisa melawan takdir! Mari kita hadapi,” teriak pemuka agama.
          “Setiap individu harus diberikan jalannya masing-masing,” seru cendekiawan.
          “Mari kita semua mati sebelum dia datang,” ajak sang seniman.
         Rapat pun berjalan alot. Hadirin yang diharapkan bertukar pendapat malah bertukar caci. Pak Subijak yang biasanya bijak kali ini seperti kehilangan akal. Solusi hanya menjadi misteri. Proses berjalan tidak sesuai ritme. Hingga akhirnya terdengar celetukan keras.
          “Apakah kita harus percaya tentang kedatangan Ki Ahmad?”
      Semua terdiam. Pak Subijak terbengong. Ruang kembali hening. Kentut nyamuk lagi-lagi terdengar.
          “Apakah kita bisa dengan mudah percaya cerita ini? Apakah salah satu dari kita pernah bertemu dan melihat Ki Ahmad membantai seluruh warga desa? Apakah Ki Ahmad itu nyata?”
          Di antara keheningan canggung, Pak Subijak angkat bicara sambil tergagap, “si…si…siapa kamu?”
     “Saya Parno, pak. Maaf atas kelancangannya. Tapi dengan segala hormat, saya hanya ingin mengajak seluruh warga desa untuk lebih kritis melihat masalah ini,” ucapnya dengan intonasi yang bersahabat.
            “Parno…Maaf, kamu bicara sebagai perwakilan dari mana?”
          “Saya tidak tergabung dengan organisasi mana pun. Saya berbicara atas diri saya sendiri, untuk warga desa Sukadosa, demi umat manusia.”
          Hadirin masih terdiam. Pak Subijak makin terbengong. Ruang sidang tambah hening. Kentut nyamuk harum semerbak.
          “Menurut saya, kita terlalu berlebihan dalam menghadapi isu ini. Padahal Ki Ahmad sendiri masih isapan jempol. Apakah kita terlalu bodoh hingga rela berkorban karena sesuatu yang tidak pasti? Ki Ahmad bukan keyakinan atau kepercayaan, dia hanyalah dongeng! Apakah manusia memang sudah melewati batas kodrat? Apakah kita sudah mengalami overdosis dosa? Apakah ini semua salah kita hingga Ki Ahmad rela membumihanguskan desa kita? Apakah ini adil mengingat kita hanyalah penerus dosa dari para nenek moyang? Mengapa Ki Ahmad tidak datang saat dosa itu diciptakan pertama kali?!”
          Pertanyaan-pertanyaan menyembur cepat dari mulut Parno. Tembakan berentet yang tidak menyisakan ruang nafas bagi para target. Keraguan mulai berhambur di hati para hadirin. Pak Subijak pun menyadari hal ini. Dia melihat wajah-wajah dengan ekspresi setuju, bingung, mempertanyakan. Mereka tidak lagi takut. Pak Subijak segera angkat bicara.
       “Sebelum Ki Ahmad datang, sebelum kalian terjerumus pemuda sesat ini, sebelum semua terlambat, saya akan mengambil keputusan demi keselamatan kalian dari siksa neraka.” Pak Subijak berhasil mengerahkan seluruh wibawanya untuk membuat satu ruangan terdiam dan mendengarkan. Termasuk Parno.
          “Saya pernah melihat Ki Ahmad. Dia nyata. Mari kita bunuh diri berjama’ah.”

*****

Senja mulai berkumandang dengan indah di desa Sukadosa. Di balik itu, terlihat pemandangan yang mengerikan. Anggota keamanan desa berhasil mengumpulkan seluruh warga di pinggir telaga. Mereka berbaris tertib, menunggu giliran untuk menenggelamkan dirinya ke dasar terdalam hingga tak lagi bernyawa. Dimulai dari anak, ibu, bapak, hingga terakhir anggota pemerintahan. Pak Subijak pun memulai pidato terakhirnya.
          “Para warga yang tercinta, kini saatnya kita mengakhiri semua yang telah kita lalui. Semua air mata bahagia, tangisan pilu, canda tawa, kerja keras, sudah kita lewati bersama di desa Sukadosa yang indah ini,” Pak Subijak mulai menangis.
          “Biarkan telaga ini menjadi saksi kebijaksanaan kita dalam menghadapi realita. Biarlah Ki Ahmad datang dan menemukan desa kita yang telah hampa. Kita menang, saudara-saudara! Sekali lagi, kita telah menang!”
          Orasi itu disambut dengan teriakan berapi-api dari seluruh warga Sukadosa. Membahana di senja terakhir yang mereka alami. Setelah beberapa saat, orang pertama mulai memasuki telaga. Disusul orang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
          Ini semua lelucon! Pikir Parno dari kejauhan. Dia memutuskan untuk tidak bergabung dalam pawai menuju ajal tersebut. Parno hanya menonton sambil merokok. Saya akan menunggu Ki Ahmad dan menjadi orang terakhir yang menertawakan ketololan mereka. Bila mereka benar, saya rela buah zakar saya menjadi makanan para iblis. Parno pun bergegas pergi dari telaga mencari tempat sempurna untuk menanti kepastian.

*****

Sudah hampir 6 jam berlalu. Tengah malam nyaris tiba. Parno masih terduduk sendiri di teras balai desa. Ki Ahmad belum juga datang. Bila setengah jam lagi Parno masih hidup, dia yakin Ki Ahmad hanyalah bualan nenek moyang. Dan sang penyebar berita palsu adalah manusia yang tidak bertanggung jawab.
          Sreg, sreg, sreg, sreg. Parno terkesiap. Di tengah kesunyian tanpa satu manusia pun, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki terseret. Bulu kuduk Parno mendadak mengalami ereksi. Keringat dingin mulai menetes. Tubuhnya gemetar. Parno memberanikan diri untuk melihat dari kejauhan, mencari sumber suara.
          Sreg, Sreg, SREG, SREG. Semakin dekat. Semakin DEKAT. SEMAKIN DEKAT. Gigi Parno beradu seperti orang kedingingan. Otaknya tiba-tiba memerintahkan mulut Parno untuk bersuara kecil. Nyaris berbisik.
          “Ki…Ki…Ahmad…?”
          SREG, SREG, SREG, SREG. Tidak ada balasan.
          “Ki…Ahmad?”
          SREG, SREG, SREG.
         “KI AHMAD!!! Ampuni saya!!! Jangan bunuh saya!!! Jangan kirim saya ke neraka!!” Parno berteriak histeris sambil bersujud menghadap ke tanah.
          SREG, SRE… “Permisi, benar ini desa Sukadosa?”
Parno masih gemetar sambil perlahan mengangkat kepalanya untuk melihat sumber suara tersebut. Seorang tua dengan setelan kyai. Dia membawa tas besar.
          “Ki…Ahmad?”
      “AKHIRNYA! AKHIRNYA!”, manusia misterius itu tiba-tiba berteriak girang. Parno masih berlutut gemetar menunggu kelanjutan dari kalimat itu.
          “AKHIRNYA…saya bertemu dengan manusia!”
          Parno terbengong.
         “Saya telah berjalan melewati 6 desa dan menemukan keanehan, tidak satu orang pun saya temui! Sungguh tidak lazim.”
          Parno pun mulai bicara, “maaf…Anda ini siapa?”
          “Kenalkan, saya Ki Ahmad.”
          “Apa tujuan Anda ke sini?” Parno bertanya dengan ekstra hati-hati.
          “Yah, mungkin banyak orang yang tidak menyukai apa yang saya lakukan sebagai pekerjaan. Saya... pedagang.”
          “Pedagang?”
         “Ya pedagang. Saya menjajakan alat ibadah, kitab suci, dan segala atribut agama lainnya. Hmm… barangkali Anda tertarik?”
          Parno terdiam. Sukadosa kembali hening. Kentut nyamuk meledak-ledak.


13.40 WIB
Bandung, 23/3/2012

Sabtu, 07 Januari 2012

[Saksi Fiksi] Dialog Sebelum Titik


Semalam saya mati. Tidak ada yang tahu penyebab sebenarnya kecelakaan ini. Mobil saya menghantam pembatas jalan di suatu titik di jalan tol. Hancur lebur, seperti hati saya sebelum kedatangan sang ajal. Mereka pun tahu tentang hal itu. Mereka tahu saya mati sebelum menyelesaikan banyak hal yang seharusnya saya tuntaskan lebih dulu. Ya. Spekulasi tentang penyebab kematian saya pun mulai bertumbuhan. Mantan pacar saya mengatakan kalau saya bunuh diri karena rasa sesal. Kawan-kawan saya yakin kalau saya sedang mabuk. Orang tua saya bilang saya mengantuk saat menyetir. Banyak juga yang menerka kalau ini hanyalah kecelakaan murni. Tanpa sengaja. Setitik insiden takdir. Sebuah keputusan hasil musyawarah para pemegang saham semesta.
Tapi satu hal yang mereka tidak tahu adalah fakta bahwa saya mati bahagia. Ini adalah momen yang paling saya nantikan seumur hidup! Apakah ada yang menandingi kebahagiaan seorang yang mati? Saya terlahir dengan menangis. Merengek penuh amarah dengan keinginan kembali ke rahim. Tapi ketika mati? Apakah saya ingin kembali? Tidak. Tentu tidak. Kematian ini adalah hari di mana saya keluar penjara setelah dikurung bertahun-tahun. Merenggut kebebasan absolut. Meninggalkan semua kesalahan di belakang, dimaafkan begitu saja, dan bebas dari tanggung jawab. Ada lagi yang lebih sempurna dari ini?

*****

Kematian saya berjalan normal dan baik-baik saja sebelum munculnya benderang cahaya di sana. Setelah sekian detik mobil menabrak pembatas jalan, seketika semua menjadi gelap. Lalu terasa aneh. Kemudian saya melihat cahaya kecil agak jauh di depan saya. Bermodal insting manusia yang selalu mencari terang dan meninggalkan gelap, saya pun berjalan mencari sumber cahaya tersebut.
Semakin saya mendekat, cahaya tersebut semakin terang dan membutakan. Bahkan dalam sekejap saya tidak bisa melihat apa-apa selain warna putih.Tapi setelah proses itu, saya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan, sesuatu yang tidak pernah saya lihat sebelumnya: ruang pengadilan. Anehnya, ruang pengadilan ini berada di sebuah padang rumput antah berantah. 360 derajat horizontal memandang, yang tampak hanya cakrawala. Seperti sebuah dunia tanpa batas dengan dimensi dan semesta sendiri!
Sesaat saya tersadar, saya tidak sendiri. Ada seseorang yang duduk di meja hakim. Di tengah kebingungan, dia pun memukulkan palu dan memanggil nama saya. Dug dug!
         "Adhityasaka Mahatama?"
         Saya masih diam.
         "ADHITYASAKA??"
         "Be..bet..betul."
         "Harap mendekat."
       Dengan kaki gemetar, saya berjalan perlahan. Tatapan orang itu seperti menelanjangi saya dari atas, bawah, kiri, kanan, luar, dalam, vertikal, horizontal, dan diagonal. Sambil terus menatap, dia bertanya: "Kamu udah siap?" Saya kembali tertegun.
          "KAMU UDAH SIAP??"
         "Ehm..ehm. Si..si...siap??"
         "Ya. Sudah siap untuk pulang?"
         "Pulang?"
      "Iya pulang. Kamu baru saja mati. Nabrak pembatas jalan di tol. Gara-gara kamu, jalanan jadi macet total. Ngantri sampe 10 kilo."
      Untuk ketiga kalinya, saya membeku. Kali ini saya benar-benar bingung harus merespon apa. Orang yang agak aneh itu tampaknya mengerti. Dia hanya menunggu saya sambil membakar dan menghisap sebatang rokok. Atau ganja? Saya tidak tahu. Dengan penuh perjuangan, saya pun mulai angkat bicara.
          "Anda ini siapa?"
          Dia terbahak-bahak hingga tersedak asap rokok ataupun ganja tersebut.
          "Hmm. Baiklah. Kamu berhak mendapatkan penjelasan." Segera dia matikan puntung di asbak.
         "Orang beriman menyebut saya sebagai Tuhan, Sang Pencipta, Sang Pengadil, Sang Segalanya. Orang ateis menganggap saya adalah karakter imajinatif yang terwujud karena alam bawah sadar kalian. Sedangkan orang agnostik.....Ya kayak kamu tadi! Banyak nanya. Dasar, hidup kok penuh keraguan. HAHAHA. Tapi saya suka kok yang ragu-ragu gitu." Lanjut si hakim aneh tanpa memberikan simpulan apa-apa. Saya masih bertanya, "jadi sebenarnya...Anda ini...Tuhan?"
"Saya lebih suka hal itu tetap menjadi misteri."
"Lalu...apa yang saya harus lakukan sekarang?"
Si hakim memicingkan matanya dan mendekatkan wajahnya ke muka saya. Ekspresinya mulai serius. "Jadi, kamu ini udah siap? Siap meninggalkan dunia yang sudah terlanjur mengingat nama kamu. Siap untuk ditangisi selama beberapa bulan, lalu dilupakan karena semua orang melanjutkan hidupnya. Siap?"
Ketika mendengar itu, secuil pertanyaan muncul di benak: 'Lebih baik menyesal dan terus berjalan, atau kembali menyusuri kesalahan?' Saya pun melamun agak lama sampai membuat hakim itu tidak sabar.
"HEY! Jawab."
"Apa konsekuensi dari jawaban saya?"
"Bila kamu sudah siap, maka kamu akan pulang untuk selamanya. Bila kamu belum siap, saya akan mempertimbangkannya lagi."
Tanpa sadar, mulut saya menyimpulkan sebuah senyum. Dengan yakin saya menjawab, "YA! Saya siap. Bawa saya jauh-jauh dari kehidupan saya, dan jangan bawa saya kembali!"
Hakim itu terdiam sesaat lalu kembali meluncurkan pertanyaan.
"Tapi sebelumnya, boleh saya kasih saran terakhir?"
"Apa itu?"
"Tidakkah kamu penasaran dengan reaksi orang-orang tentang kematianmu?"

*****

Anda tidak akan percaya apa yang saya lihat selanjutnya. Hakim itu menggenggam sebuah iPad 2. Mengesankan.
"Keren ya?", ujarnya jujur tanpa maksud sombong. Saya hanya mengangguk pelan sambil menunggu dia mengutak-atik mainannya itu. Makhluk akhirat itu pun kembali angkat bicara sambil menyodorkan iPad tersebut, "Hmm. Lihat ini, 2 hari setelah kecelakaan itu."
Saya terkesima melihat apa yang ditampilkan di situ. Sebuah video dengan sinematografi apik dan editan solid. Video ini seperti sebuah dokumenter yang digarap serius. Terdapat footage keadaan rumah duka, wawancara pengunjung, dan.... tubuh saya yang terbaring tanpa nyawa. Sungguh, ini bukan sesuatu yang ingin saya tonton, tapi entah kenapa video ini membuat saya tersenyum.
"Dia tidak hanya pintar, tapi juga baik hati dan rela berkorban."
"Dia itu pemuda dengan masa depan cerah. Sayang sekali takdir berkata lain."
"Dia adalah anak yang berbakti pada orang tuanya."

Dan berbagai pendapat para pelayat lainnya tentang saya. Sesekali terlihat orang tua, saudara, kekasih, kawan saya menangis bergantian. Hmm, sekarang kalian tahu betapa berharganya saya. Setelah video itu mencapai akhir, saya menarik simpulan: saatnya meninggalkan ini semua.
“Hmm. Baiklah, saya sudah memutuskan untuk mati permanen.”
Sang hakim langsung memotong: “Wow. Kamu memang suka buru-buru ya. Masih ada video berikut. Ini adalah lima tahun setelah kematianmu.”
Video berikutnya ternyata tidak begitu menarik. Hanya potongan keadaan orang-orang yang saya kenal sedang menjalani harinya seperti biasa. Tanpa beban, tanpa tangisan, tanpa pujian yang dilayangkan untuk saya; SAYA, sebuah karakter yang pernah bermain bersama dalam drama hidup mereka. Saya bosan dan tidak menemukan poin penting apapun. Hingga video itu mencapai bagian puncak.
“Saya tidak bisa melupakan kejadian itu. Saya sangat menyesal dia harus meninggalkan saya dengan bunuh diri. Bila saya bisa kembali ke hari itu, saya tidak akan marah karena dia telah berselingkuh.”
“Kita adalah pemabuk. Saya tahu dia sering menyetir saat mabuk. Bila saya bisa mengubah masa lalu, saya tidak akan mengajaknya minum malam itu.”
“Saya sangat merindukannya. Sungguh. Bila saya bisa mengulang waktu, saya akan kembali dan mencegah anak saya pergi malam itu. Mungkin dia mengantuk saat menyetir.”
Saya tertegun. Tanpa disadari, air mata saya mengalir. Terus mengalir.
“Kenapa kamu tiba-tiba emosional gitu?”
Pertanyaan hakim itu membuyarkan kesedihan saya.
“Bukankah kamu senang melihat betapa mereka kehilanganmu? Bukankah dengan begitu kamu yakin kalau kamu telah berguna sepenuhnya saat masih hidup?”
“TIDAK! Mereka tidak menangis karena saya pergi selamanya, mereka menangis karena masih banyak hal yang belum tuntas!”
“Lalu? Bukankah kematian jalan terbaik untuk menyelesaikan hal-hal yang belum tuntas? Mudah, gratis, tanpa beban!”
“Kematian adalah jalan keluar. Dan saya tidak ingin menuju pintu keluar sebelum saya menyelesaikan semua!”
“HEY! Kamu lupa? Saya yang punya kuasa, bukan kamu. Ketika saya ingin memanggilmu, kamu harus pergi. SELESAI, atau TIDAK SELESAI!”
Saya kembali terbungkam. Saya hanya meresapi sedihnya kenyataan yang saya hadapi sekarang.
“Lalu…apa yang kita lakukan sekarang? Kenapa kamu memberikan saya semua video ini? Kenapa kamu tidak langsung saja mengirim saya ke neraka??!!”
Si hakim hanya tersenyum. Lalu kembali membakar sepuntung rokok. Atau ganja?
“Selamat bung, kamu adalah manusia ke 100.000 yang meninggal hari ini. Sebagai bentuk terima kasih saya atas loyalitas Anda terhadap hidup, kami memberikan tawaran spesial.”
“HA?”
“Koma.”
“Koma?”
“Ya, kamu belum mati. Kamu cuma koma. Dan kamu diberi pilihan untuk hidup kembali, atau mati permanen.”
Saat aku terbengong-bengong, dia mengambil stempel dan menekannya di atas telapak tangan kiriku. Aku baca: KOMA.
“Dan saya menyimpulkan, kamu ingin kembali. Betul? Atau kamu ingin mengubah pikiran lagi?”
“Tidak, tidak! Terima kasih,” balas saya sopan.
“Oke. Selamat menikmati hidupmu kembali. Ingat, suatu hari tulisan di tanganmu adalah ‘TITIK’. Jangan pernah berhenti hidup hingga mencapai titik. Koma tidak datang setiap hari.”
Saya hanya tersenyum minimalis. Tiba-tiba saya teringat suatu pertanyaan penting yang selalu ingin saya tanyakan.
“Hey, kamu kan Tuhan… atau apapun itu. Saya penasaran. Apakah surga dan neraka itu ada?”
“Haha, lucu. Bukankah kamu setiap hari mengalami keduanya?”

*****

Saya membuka kelopak mataku perlahan. Semua terlihat buram. Samar-samar saya mendengar orang-orang memanggil. Pelan-pelan saya sadar dan mulai menganalisis keadaan sekitar. Perban. Infus. Kedua orang tua. Pacar. Kawan-kawan. Dokter. Perawat. Dan bau ini…rumah sakit.

*****

Semalam saya mati. Tidak ada yang tahu penyebab sebenarnya kecelakaan ini. Mobil saya menghantam pembatas jalan di suatu titik di jalan tol. Hancur lebur, seperti hati saya sebelum kedatangan sang ajal. Saya mati sebelum menyelesaikan banyak hal yang seharusnya saya tuntaskan lebih dulu.
Saya terlahir dengan menangis. Merengek penuh amarah dengan keinginan kembali ke rahim. Tapi ketika mati? Apakah saya ingin kembali? Ya. Bila saya diberi kesempatan untuk menuntaskan hal-hal yang belum selesai, ya. Kelahiran adalah hari di mana saya keluar menuju taman bermain. Di mana saya bisa bermain ayunan setinggi-tingginya, merosot di papan luncur hingga terluka, atau duduk menikmati keadaan taman saat senja. Ada lagi yang lebih sempurna dari ini?
Di saat lamunan saya memanjakan tubuh tak berdaya, ayah saya menyapa.
“Kamu baik-baik saja?”
“Ya, lumayan,” balasku lemas.
“Apa yang kamu rasakan saat koma?”
“Mimpi. Hanya mimpi.”
Gatal. Kening saya gatal. Spontan saya menggaruknya dengan tangan kiri dan membaca sesuatu di telapak yang membuat saya ragu dengan pernyataan barusan: KOMA.


22:33
Jakarta, 7 Januari 2011
Untuk mereka yang lupa untuk hidup.