Seorang pria terjatuh dari langit mendung siang itu.
Tepatnya pukul 14.05 menurut operator 108. Telanjang bulat, tanpa sehelai
sandang melekat. Bahkan pikirannya kosong tanpa pretensi secuil keringat. Dia
mungkin hampir setinggi 170 cm. Agak gempal tapi atletis. Rambutnya seperak
medali juara dua Olimpiade. Tapi dia bukan Terminator, apalagi Mr. Bean.
Kumisnya yang tidak terlalu tebal menyimpan berhelai-helai misteri. Apa yang
dia lakukan di sini?
Pertanyaan itu
muncul dari benak Akid, pemuda yang tanpa sengaja menyaksikan kejadian
fenomenal itu. Di tengah perjalanannya menuju rumah, Akid terkejut bukan main
ketika ada kegaduhan kecil dari jarak hanya 10 meter di depannya. Dengan wajah
tidak percaya, Akid memperhatikan gerak-gerik pria misterius tersebut. Walaupun
terjatuh dari langit, dia tidak tampak kesakitan sama sekali. Kulitnya yang
bugil sawo matang juga tidak terluka. Lengkap sudah keanehan yang disaksikan
Akid: seorang pria telanjang terjatuh dari langit tanpa merasa sakit dan terluka
sedikit pun.
“Hey, kamu.” Belum sempat Akid menyimpulkan apa-apa, pria itu sudah menyadari kehadirannya. Akid pun terkesiap mendengar sapaannya. Suaranya standar dan normal layaknya manusia. Tidak ada kesan dewa atau mahluk gaib.
“Hey, kamu.” Belum sempat Akid menyimpulkan apa-apa, pria itu sudah menyadari kehadirannya. Akid pun terkesiap mendengar sapaannya. Suaranya standar dan normal layaknya manusia. Tidak ada kesan dewa atau mahluk gaib.
“Kamu mau tolong saya?”
“Ya…
A-apa yang bisa saya bantu?”
“Bisa bantu saya kembali ke rumah?”
“Hmm… Di mana rumah Anda tepatnya?”
“Tidak jauh dari sini.”
“Baiklah. Apa yang bisa saya lakukan?”
“Pertama, saya butuh pakaian.”
Saat masih terbengong, ponsel Akid berbunyi. Pesan pendek
dari pacarnya: Kamu di mana? Kenapa
telpon ga diangkat-angkat?
*****
Pikiran Akid terus berkecamuk. Dua sisi dalam dirinya
sedang berkelahi mendebatkan keputusan yang bijak. Di satu sisi, Akid ingin
rasanya kabur. Dengan alasan ingin mengambilkan baju di rumahnya, dia bisa saja
langsung minggat. Tapi di sisi lain, Akid ingin sekali menolong pria itu. Ada
sesuatu yang mendorong Akid untuk mengantarkannya pulang. Pria itu terlalu aneh
untuk dicampakkan, sekaligus terlalu mencurigakan untuk ditemani. Siapa dia?
Atau lebih tepatnya, APA dia?
Setelah
pertempuran hati yang absurd, akhirnya Akid buru-buru mengambil pakaian di
rumah dan kembali ke tempat tadi. Meminjamkannya kaos, celana dalam, celana
pendek, dan sendal jepit. Akid memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut
tentang orang itu. Toh tidak ada satu orang pun yang akan percaya bila dia
melaporkan kejadian ini.
“Hmm, terlalu kecil ya?”
“Ya sedikit. Tapi tidak apa-apa lah. Daripada saya
dituduh amoral karena mempertontonkan aurat.”
“Siapa nama Anda?”, Akid tidak mampu menahan rasa
penasarannya.
“Panggil saya… Isakayoga.” Akid mengernyitkan dahi.
“Kenapa? Aneh ya?”, tanya pria yang ternyata bernama
Isakayoga itu.
“Hmm, tidak juga. Hanya sedikit… tidak lazim.”
“Itu artinya anak Tuhan,” jawabnya santai.
Akid mengangguk tanpa mampu menghilangkan rasa
ragunya. Isakayoga pun melanjutkan perjalanannya, “yuk, kita mulai bergerak.
Waktu saya tidak banyak di sini.”
“Lalu, kita ke mana?”
“Ada rekomendasi tempat makan yang enak? Saya lapar.”
Akid kembali terbengong dengan permintaannya. Dia
pikir Isakayoga akan memohon untuk diantarkan ke suatu bukit misterius, atau
mengajaknya berburu harta karun di hutan belantara, atau bahkan membunuh naga
antagonis di sebuah pulau antah berantah. Tidak ada yang spektakuler dari pria
misterius ini. Dia minta MAKAN. Di saat bersamaan, ponselnya kembali berbunyi.
Pesan pendek dari bosnya: Telpon kamu ga
diangkat-angkat? Jangan lupa meeting sama klien jam 9 pagi mau ngomongin
pre-production. JANGAN TELAT. Akid mengantongi ponselnya kembali.
Mereka berdua langsung berjalan keluar dari gang
sempit itu. Perlahan Akid menyusuri jalan diikuti Isakayoga di belakangnya.
Tanpa pikir panjang, Akid menuju restoran favoritnya, Wong Nyojo. Rumah makan
yang menjajakan kuliner khas Yogyakarta.
Seperti sudah mengenal baik tempat itu, Isakayoga
langsung memesan gudeg telor. Lengkap dengan kepala ayam dan krecek. Tidak
pedas. Akid hanya memesan es teh manis. Rasa laparnya lenyap dilahap rasa
penasaran. Mereka berdua memilih tempat duduk yang agak memojok. Isakayoga
menyantap ala barbar. Seperti tidak pernah bertemu makanan berminggu-minggu,
gudeg itu habis dalam durasi kurang dari 5 menit.
Setelah usai makan, Isakayoga mulai berdialog dengan
Akid yang dari tadi hanya melongo.
“Jangan takut, nak. Jangan pernah takut gagal.”
“Hah?”
“Jadilah orang yang berani. Jangan pernah terjebak
dalam area di mana semua kondisi aman dan terkendali. Keluarlah dari
barikademu, ikutlah berperang dengan dunia, taklukkan peradaban yang semakin
menjijikkan ini.”
“M-maksud Anda?”
Isakayoga menarik napas panjang dan menghembuskannya
perlahan.
“Maksud saya begini… Kamu punya semangat dan
ketertarikan yang tinggi pada hidup ini, Kid. Jangan biarkan hidupmu hanya
menjadi panggung yang sudah didekorasi oleh panitia. Lebih baik kamu robohkan
panggung itu, dan mulailah menulis sandiwara kamu sendiri. Semua orang berhak
menjadi sutradara, bukan hanya aktor.”
“Saya…tidak mengerti.”
“Kamu akan mengerti suatu hari. Yang terpenting
adalah kamu menjadi orang yang berani. Tinggalkan tempat perlindunganmu. Kejar
apa yang sesungguhnya kamu ingin. Risiko adalah takdir, nak. Dan kamu tidak
bisa memberontak dari takdir.”
“Hmm… Baiklah… Apa yang harus saya lakukan sekarang?”
“Enjoy your
life while it lasts. Dan… selamat ulang tahun!”
Selamat ulang
tahun…
Selamat ulang
tahun…
Selamat ulang
tahun…
“SELAMAT ULANG TAHUN!!”
Akid terbangun dari tidur nyenyak. Nyanyian itu
mengejutkannya. Setengah sadar, Akid memperhatikan orang di sekeliling
kamarnya. Ayah-Ibunya, pacarnya, dan teman-temannya. Mereka bernyanyi selamat
ulang tahun kepada Akid sambil membawakan kue yang ditaburi lilin.
*****
Sebenarnya tidak begitu banyak yang datang hari itu.
Untuk orang “sekelas” Akid, pemakamannya bisa dibilang bukan perhelatan yang
terlalu heboh. Hanya orang-orang terdekat dan benar-benar empati saja yang
hadir hari itu. Sesuai dengan keinginannya.
Takdir Akid datang malam sebelumnya. Serangan jantung
mendadak, atau cardiac arrest menurut
ahli kesehatan, menjemputnya untuk kembali ke rumah sesungguhnya di umur yang tidak
terlalu senja. Dia masih tergolong muda bagi orang tua, tapi sudah cukup tua
bagi anak muda. Sesaat setelah meninggal, Akid tiba dalam suatu ruangan yang
tidak terlalu besar, tapi entah kenapa seperti memiliki ketidakterbatasan
ruang.
Di situ dia dihampiri sesosok misterius. Dia ada dan
berwujud, tapi mata manusia tak mampu mendefinisikan dirinya. Akid pun mungkin
tidak bisa memberikan deskripsi yang komprehensif. Tanpa alasan yang jelas,
orang itu mendekati Akid yang sedang terkesima dengan suasana di sekelilingnya.
“Selamat datang. Bagaimana hidup? Asyik?”
“…. Saya… mati ya?”
“Ya bisa dibilang begitu.”
Akid terdiam. Cukup lama hingga membuat sang lawan bicara bosan dan mengulang pertanyaannya.
Akid terdiam. Cukup lama hingga membuat sang lawan bicara bosan dan mengulang pertanyaannya.
“Bagaimana hidup?”
“H-hidup… Ya, menarik… Tapi, entah kenapa… “, Akid
terdiam.
“Kenapa?”
“…seperti ada yang belum usai.”
“Manusia memang diciptakan untuk tidak pernah
menuntaskan. Sekali pun kalian bisa hidup 1000 tahun lagi, kalian tidak akan
bisa menemukan garis akhir.”
“Tapi… saya merasa hidup saya hanya sesuatu yang
terlewatkan. Sesuatu yang terlupakan. Sesuatu yang ada untuk mengisi waktu,
bukan sesuatu untuk diisi. Saya…”
“Takut.”
“Takut?”
“Ya, kamu takut. Kamu menghabiskan puluhan tahun
dalam hidup dengan rasa takut. Kamu terus bersembunyi di balik barikade zona
amanmu. Kamu tidak ikut berperang melawan dunia. Kamu tidak menaklukkan
peradaban. Kamu hanya aktor dari sebuah drama yang sudah berlangsung setengah
babak. Kamu tidak berani menuliskan ceritamu sendiri. Kamu… tidak hidup.”
Akid terdiam, dia merasa terpukul dengan jawabannya
tegasnya. Dia merasa omongan itu sangat benar. Dia merasa penyesalan sedang
menusuk dadanya. Perih. Masa lalu memang mampu melahirkan pilu yang
berlipat-lipat. Di tengah kesedihan, si manusia misterius tiba-tiba melontarkan
pertanyaan yang kurang biasa.
“Kamu percaya multi-semesta?”
“Multi-semesta?”
“Ya, semesta paralel, Large Hadron Collidge, dimensi lain, partikel Tuhan, teori big bang, dan segala omong kosong yang kalian
sebut sains itu. Kamu percaya?”
“… Ya… sedikit…”
“Bila kamu mendapatkan kesempatan kedua untuk
mengubah nasibmu, apakah kamu akan mengambilnya?”
Akid tertegun. ‘Kesempatan kedua’ tedengar
menggiurkan.
“Lalu, apa yang akan terjadi?”
“Ya hidup kamu akan berubah di semesta lainnya. Versi
‘kamu’ yang baru akan mendapatkan keuntungan dari ‘kesempatan kedua’ yang kamu
ambil. ‘Kamu’ di dimensi waktu yang berbeda akan mengubah nasib. Bagaimana
tertarik?”
Akid berpikir keras. Mencoba menimbang-nimbang
jawaban yang tepat, yang tidak akan disesali. Tapi kemudian dia tersadar kesalahan
utamanya dalam hidup: menimbang suatu keputusan hingga akhirnya dia tidak
berani mengambil tindakan. Akid ingat betapa dia lebih menyesal karena tidak
melakukan apa-apa daripada karena melakukan kesalahan.
“Oke, saya mau. Apa yang harus saya lakukan?”
“Baiklah. Kamu akan dikirim ke masa lalu. Kamu akan
bertemu dengan dirimu yang masih muda, yang masih memiliki semangat perubahan.
Kamu akan berbicara dengan ‘dirimu’ di masa lalu, agar dia mau berubah. Kapan
tepatnya kamu mau dikirim?”
“Hmm, mungkin saat umur saya 23. Ketika itu saya
sedang memiliki pekerjaan yang saya benci, dan pacar yang tidak membuat saya
maju.”
“Baiklah. Sebagai manusia baru, kamu akan saya
namakan…. Isakayoga.”
14/5/12
Untuk Isakayoga Cakra Hudasmara, manusia dengan amarah misterius.