My first self-made meme ever. The crazily gorgeous Debby Susanto in a challenging pose. Yeah! |
Rabu, 30 Oktober 2013
[Selera Humor] Meme #1: BAD Minton
at
03.06
Minggu, 27 Oktober 2013
[Mimpi Semalam] Horor Mel Gibson dan Pesawat ke Perancis
Sesi 1: Horor Mel Gibson
Yeah! Perlahan saya bisa selamat dari insomnia saya selama hampir seminggu yang melelahkan ini. Thanks to beer and weed. Semalam saya berencana tidur cepat agar hari ini bisa bangun pagi. Alhasil, pukul 12 malam saya sudah mematikan lampu dan mencoba tidur. Saya memang berhasil tidur cepat, tapi bangun paginya gagal. Anyway, mimpi sesi pertama saya dihiasi dengan horor visual dan Mel Gibson.
Yap, saya menjadi Mel Gibson! Atau Mel Gibson menjadi saya? Ya terserah lah. Saya (Mel Gibson) kalau tidak salah sedang berjalan keluar rumah menuju suatu destinasi. Di jalan saya bertemu dengan seorang yang agak tua bersama dua anak muda. Mereka mengajak saya ke rumahnya. Katanya mereka ingin mencoba sesuatu. Saya pun mengiyakan permintaan mereka. Saya mulai curiga ketika masuk ke rumahnya karena bukannya mengajak ke ruang tamu, tapi mereka malah mengajak ke ruang bawah tanah. Isn't it a great start for horror story?
Dan mulailah salah satu mimpi terhoror (bukan terburuk) saya. It was the most vivid, disgusting, and sick visual ever presented in my dream. Pak tua yang ternyata adalah profesor sinting itu menyuruh saya menanggalkan pakaian. Di tengah kebingungan, saya merasakan rasa sakit yang luar biasa menjalar di punggung saya. Ternyata profesor itu sedang melakukan eksperimen (yang saya juga tidak tahu tujuannya sampai akhir mimpi). Dia memasukkan berbagai binatang (ATAU MAKHLUK APAPUN ITU, YUCK!) ke dalam punggung saya. Ya! Punggung saya berlubang-lubang! Mahluk yang mirip kalajengking raksasa dan piranha darat itu menjalar-jalan dalam punggung saya. Menjijikkan sekali. I'm even getting the chills right now just to imagine the visuals!
Anyway, saya tidak ingat sisanya bagaimana. Tapi saya ingat saya berhasil lolos namun di akhir mimpi ternyata punggung saya masih sakit. Ah sayang sekali saya lupa detilnya. Andaikan ada alat perekam mimpi. Shit, that'd be wonderful. Setelah mimpi itu berakhir tiba-tiba saya terbangun sekitar pukul setengah 6 pagi. Berkeringat. Fiuuuh, what a dream. Saya pun melanjutkan tidur.
Sesi 2: Pesawat ke Perancis
Hore!!! Saya berlibur!!! Saya ke Perancis bersama ayah dan ibu saya menggunakan pesawat yang disebut-sebut sebagai Air France. Di dalamnya ada kakak saya yang entah kenapa dia seperti enggan mengenali keluarganya di muka umum. Dia duduk terpisah bersama teman-temannya. Ya sudah lah, kami pun tidak banyak berbicara dengannya.
Perjalanannya menyenangkan. I mean, knowing this trip will lead us to France is always a pleasing fact. Pesawat pun akhirnya tiba di Perancis dan memutuskan untuk mendarat dengan keren. Entah bagaimana caranya, sang pilot berakrobat hingga seluruh penumpang berteriak girang sekaligus tegang layaknya sedang di atas roller coaster. Saat pesawat sudah mendarat dengan aman, Air France masih menyimpan kejutan lain.
Antrian itu keluar pesawat berubah menjadi antrian di dalam supermarket. Selama mengantri, banyak stand-stand yang menjual berbagai produk keperluan rumah. Cool, huh?! Ayah saya pun bilang, "Wah, wafer Delfi lagi diskon tuh." Padahal saya atau pun ayah tidak pernah berhubungan dengan wafer Delfi. Lalu, di tengah antrian, kakak saya terekspos. Lagi-lagi dia membuang muka seperti tidak mau kenal dengan kami. Ya sudah lah, kami terus berjalan keluar pesawat yang ternyata tidak hanya menuju bandara Perancis tapi juga tempat tidur saya.
Waktu menunjukkan pukul 11.45 WIB. Wow! Saya tertidur hampir 12 jam! Fuck yeah! So much win! Epic victory! I'm proud of myself. Semalam seperti membayar segala jam tidur saya seminggu ini yang dihabiskan dengan menerawang langit-langit, melamunkan masa depan, menyesali masa lalu, dsb. Tidur memang berkah terindah yang ada dalam hidup. Betapa pun kamu bekerja, berpikir, berkarya, itu semua percuma tanpa tidur yang berkualitas. Tidur adalah penghargaan terbesar bagi semua kerja keras kita. Yap, tidur adalah piala Oscar, dan mimpi adalah hadiah berupa uang kas. Okay then, see you in another dream.
at
23.20
[Saksi Fiksi] Dedep Collector
Pagi hari masih sangat muda, tapi wajah Dedep sudah
menunjukkan kelelahan dan kecemasan yang menggila. Pukul lima subuh hari itu
–waktu yang biasa dimanfaatkan Dedep untuk berak-, Dedep mengutang dalam dualisme makna: hanya menggunakan kutang dan sedang
berhutang. Dua-duanya berbahaya. Mengutang
pukul lima pagi di luar rumah bisa bikin masuk angin. Di sisi lain, mengutang juga bisa mengundang bahaya
seperti ancaman debt collector atau
penagih hutang. Hutang, bukan kutang.
Bayangkan nasib Dedep bila dia dikejar penagih hutang sekaligus penagih kutang.
Asal muasal
cerita ini sebenarnya menarik walau generik. Dua tahun yang lalu, Dedep
meminjam uang dengan kenalannya kenalannya kenalannya yang kebetulan lumayan
kenal dengan kenalan jauhnya. Kenalannya ini pria tengah baya kaya raya asal
Surabaya. Namanya Pak Harta. Tidak ada yang tahu pasti tentang profesinya.
Banyak yang bilang dia bos mafia. Ada juga yang percaya kalau dia menjual
jiwanya pada iblis demi kekayaan abadi. Lain lagi dengan yang omong-omong bahwa
dia hanyalah wiraswasta biasa yang sukses luar biasa.
Nah, si
Dedep ini meminjam uang untuk memulai usaha pakaian. Jumlahnya tidak masuk akal:
Rp 100.000.000,-. Dedep yakin dalam dua tahun penghasilannya bisa 3x lipat dari
modal awal. Bodohnya (atau ‘bodo amat’-nya), Pak Harta langsung menyetujui proposal
Dedep. Ya sudah lah. Singkat cerita, dua tahun berlalu, perusahaan Dedep rugi
total. Sampai akhirnya tiba waktu pembayaran. Pak Harta bahkan mengirim si
penagih hutang atau debt collector
dengan sebutan Dedep Collector.
Dua minggu
sebelum hari-H, Dedep dan Pak Harta masih berhaha-haha. Melalui telepon, mereka
berbincang ringan layaknya sahabat. Sampai akhirnya Dedep bertanya:
“Pak, boleh saya pinjam duit lagi?”
Jawabnya?
“MEMANG SAYA BERAK DUIT?!”
*****
Dedep terus berlari sambil memegang perutnya. Keringat bukan
lagi menetes tapi muncrat dari pori-porinya. 1 liter peluh ini akibat berlari
dan menahan berak. Beberapa ratus meter di belakangnya, si penagih hutang ikut
berlari mengejar Dedep. Walaupun Dedep sudah hampir tak terkejar, si Dedep collector kekar nan kasar itu
masih terus berlari sambil berkoar-koar, “Aku bakar kau punya buah zakar!!!”
Tak terasa,
setelah berlari keluar komplek perumahan, melampaui sepuluh warung, melewati
lima tongkrongan Betawi, Dedep akhirnya mencapai jalan raya. Dalam napas
tersengal-sengal, Dedep berusaha berpikir jernih. Aku tidak mungkin lari terus-terusan. Ayo pikir, Dep, pikir! Bagaimana
cara lari dari kejaran penagih hutang liar? Atau.... Bagaimana cara membayar 100
juta kepada Pak Harta? Atau... PRET!
PRET! BREEETT! Pemberontakan isi perut Dedep semakin liar menuntut
kebebasan. Perlahan tapi agresif, pintu belakang Dedep terbuka-tutup.
Di tengah perjuangannya mencari jalan
keluar sekaligus menutup jalan keluar,
Dedep melihat dari kejauhan: plang bertuliskan WC UMUM. Tanpa pikir panjang (dan memang Dedep jarang berpikir
panjang, ataupun berpikir sama sekali), Dedep berlari menuju tulisan itu. Hah! Berak dulu kali ya biar lebih lega.
Batinnya berusaha menenangkan.
Tak lama,
dia sampai di medium pemasrahan diri tersebut. Apa yang dimaksud dengan WC umum
itu ternyata satu buah bilik 4 x 4 berdinding beton dan bermodalkan kloset
duduk. Di luarnya ada satu penjaga yang tertidur pulas mendampingi kotak amal
seadanya bertuliskan:
Kencing: seceng
Berak: goceng
Mandi: ceban
Cokil: jangan di sini
Anak bocah
paling tolol sedunia juga tahu kalau Dedep tidak mampu bayar sepeser pun. Bukan
menghakimi dari tampangnya. Tapi dia hanya menggunakan kaus kutang dan celana
dalam, jelas tak ada tempat untuk dompet. Kecuali dia menyelipkan sejumlah uang
di situ. Tapi kenyataannya hal itu jarang terjadi dan memang tidak dilakukan Dedep.
Ya sudah lah, ngutang dulu aja, pikir
Dedep sambil melengos masuk bilik.
Secepat
kilat, Dedep menanggalkan celana dalamnya dan memasang posisi ternyaman. Lebih
cepat dari kilat, isi perutnya memberontak keluar merayakan kebebasan yang
selama ini mereka dambakan. Dedep pun menemukan keindahan esensial dari
definisi kata ‘lega’. Walau begitu, Dedep tak bisa menghapus rasa khawatirnya.
Sambil duduk dan menunggu proses pengunduhan selesai, Dedep menerawang nasib.
Apa yang salah dengan diriku? Semua orang yang hampir
mencapai umur 40 telah menemukan kebijaksanaan, kebahagiaan, atau pasangan.
Aku? HUTANG! Hutang besar! Jumlah uang yang tidak akan pernah bisa aku
kembalikan sampai kapan pun. Tololnya. Buat apa meminjam 100 juta? Jumlah uang
yang tolol untuk perusahaan tolol. Gara-gara uang, aku harus berlari-lari
dengan kaus kutang menahan tahi jam 5 pagi. Tahik lah! Apapun yang aku lakukan
selalu menjadi tahi, bukan uang! Nggak ada yang benar dalam hidupku! Hidupku
tahi! Walaupun anehnya sekarang aku tak mencium bau tahi! Hmm, tumben aku berak
tidak bau busuk. Apa karena akhir-akhir ini aku udah mulai jarang makan pete?
Atau karena tadi malam... AH! FOKUS DEP! FOKUS!
Tampaknya
pengunduhan telah komplet. Dedep pun segera mencuci-cuci. Ah, berak memang enak ya. Salah satu hal terindah dalam hidup. Apalagi
kalau bisa berak duit, hihihi... Usai pembersihan sana sini, Dedep berdiri
dan hendak menyiram WC. Tanpa sengaja, Dedep melihat isi perutnya yang baru
saja keluar. Tidak akan ada yang percaya apa yang dia saksikan di dalam kloset:
ratusan lembar Rp 100.000,-.
*****
Tiga puluh hari berlalu setelah insiden pengejaran epik Dedep
di pagi hari. Sejak Dedep tahu dia bisa berak duit, Dedep akhirnya berpikir keras
dan menemukan solusi brilian atas masalahnya ini. Begini langkah-langkah yang
disebut Dedep sebagai “Operasi Penangkal Hutang”:
1.
Kabur
dari rumah
2.
Mencari
tempat persembunyian
3.
Makan
teratur
4.
Berak
terjadwal
5.
Kumpulkan
uang hingga Rp 100.000.000,-
6.
Bayar
hutang
7.
Ucapkan
maaf dan terima kasih pada Pak Harta
8.
Membereskan
hidup
9.
Mencari
pasangan
10.
Hidup
bahagia
Ya, begitu lah. Karena sekali berak Dedep
bisa menghasilkan uang sebanyak 3-4 juta, dia membutuhkan sekitar satu bulan
untuk membayar hutang sebesar 100 juta rupiah. Maka berkelana lah dia keluar
kota, mencari suaka di mana dia bisa makan, minum, dan berak dengan leluasa.
Pak Harta, tunggu saya satu bulan lagi. Saya akan kembali dan membayar semua hutang saya. Sumpah, ini bukan janji-janji tahi, ini janji sejati. –Dedep.
Begitu bunyi pesan Dedep untuk Pak Harta
dalam secarik kertas yang tertempel di pintu rumahnya. Amarah Pak Harta sudah
tidak lagi tertuang dalam teriakan atau cacian, tapi dalam sumpah. Sejak dia membaca pesan itu, Pak Harta bersumpah bahwa dia
akan menemukan Dedep, memotong buah zakar dan biji matanya, lalu menukar
posisi: buah zakar jadi mata, dan sebaliknya.
Namun keberuntungan masih berpihak pada
Dedep. Para Dedep collector utusan
Pak Harta gagal menemukan persembunyiannya. Sampai akhirnya Dedep menghitung
uang hasil jerih payah mengejan selama satu bulan: Rp 101.630.900,-. Hasilnya
tidak bulat karena ada beberapa hari di mana Dedep terlalu banyak makan kuliner
Manado hingga mencret-mencret dan menghasilkan jutaan recehan. Saat uangnya
dirasa cukup, Dedep menghubungi Pak Harta lewat wartel terdekat –dan terakhir
yang pernah ada-. Begini transkrip dialog mereka:
Dedep: Pak Harta, saya membawa uangnya.
Pak Harta: Dedep! Jangan bohong! Kamu di mana?!
Dedep: Tunggu saya satu jam lagi, saya akan ke rumah Pak Harta.
Pak Harta: Mau apa kamu? Mau mati?
Dedep: Tidak pak, saya mau bayar hutang.
Pak Harta: Tahi!
Dedep: Pak Harta, saya membawa uangnya.
Pak Harta: Dedep! Jangan bohong! Kamu di mana?!
Dedep: Tunggu saya satu jam lagi, saya akan ke rumah Pak Harta.
Pak Harta: Mau apa kamu? Mau mati?
Dedep: Tidak pak, saya mau bayar hutang.
Pak Harta: Tahi!
Usai menelepon, Dedep membawa seluruh
uangnya dalam sebuah koper besar. Satu jam kemudian Dedep menekan bel rumah Pak
Harta. Pintu pun dibukakan oleh salah satu anak buah Pak Harta yang merupakan
bekas Dedep collector tapi gagal
menjalankan misinya. Dengan kesopanan level abdi dalem keraton Solo, Dedep
memohon untuk bertemu dengan Pak Harta.
Tanpa banyak basa-basi, Dedep
dipersilahkan masuk ke dalam ruang tamu di mana Pak Harta sudah duduk di sofa
kulit kesayangannya. Didampingi tiga mantan Dedep
collector yang menggenggam senjata api, Pak Harta memulai pembicaraan.
Pak Harta: Apa yang kamu bawa, Dedep?
Dedep: Uang. Sejumlah hutang saya. Tidak kurang. Bahkan lebih.
Pak Harta: Apakah uang itu ada di dalam koper yang kamu bawa?
Dedep: Betul, pak.
Pak Harta: Ternyata janji kamu bukan cuma janji tahi.
Pak Harta: Apa yang kamu bawa, Dedep?
Dedep: Uang. Sejumlah hutang saya. Tidak kurang. Bahkan lebih.
Pak Harta: Apakah uang itu ada di dalam koper yang kamu bawa?
Dedep: Betul, pak.
Pak Harta: Ternyata janji kamu bukan cuma janji tahi.
Pak Harta tersenyum lebar. Dedep tersenyum
paling lebar. Pikirnya, usai sudah semua
masalahku. Terbayar sudah hutangku. Setelah ini, aku akan pergi, memulai hidup
baru dan tidak akan melihat ke belakang. Sambil pelan-pelan membuka koper,
Dedep memasang wajah terbahagia yang pernah dia pakai seumur hidupnya.
Klik!
Klik!
Koper pun terbuka. Dalam hitungan 0,34
detik, senyum Pak Harta musnah. Raib ditelan kemurkaan yang tak tergambarkan
lagi. Ternyata isi koper itulah penyebabnya. Dedep pun terkejut saat melihat
dalamnya: belasan kilogram kotoran manusia. Koper itu berisi semua tahi Dedep
yang dikumpulkan selama satu bulan. Ada yang encer, ada yang sudah membusuk,
ada yang masih segar, ada yang coklat dan ada juga yang hijau. Lalat dan
belatung pun mengadakan pesta megah di situ. Melihat isi koper Dedep, Pak Harta
berteriak:
“TAHI!!!!!!!!!”
18:33
WIB
Jakarta,
27/10/13
at
06.17
Senin, 21 Oktober 2013
[Mimpi Semalam] Substitusi Lars Ulrich
Di tengah misi personal saya untuk "Reinventing Myself", saya mengalami gangguan tidur. Pikiran bercabang ke ratusan masalah (sebenarnya hanya beberapa, tapi biar terkesan masif) yang sebenarnya tak bisa saya apa-apakan juga! Antara penyesalan, "kenapa-kenapa-kenapa", target hidup, masa depan, dsb, saya menerawang ke langit-langit kamar berharap akan ada solusinya di situ. Yah, maklum lah pemuda di seperempat-hidupnya. Untuk pembelaan diri, konon katanya kreativitas sejati lahir dari skeptisme berlebih. Cheers to that, if it's even true.
Anyway, setelah menghadapi rentetan serial insomnia terburuk dalam karir tidur saya selama beberapa hari ini, semalam (atau sepagi) saya dihadiahi mimpi paling menghibur. Begini. Metallica kembali menggelar konser di Jakarta! Tapi kali ini bukan Jakarta, Jakarta. Sepertinya BSD, Bekasi, atau daerah suburban lainnya. Penontonnya sepi, apalagi dibanding kemarin di Senayan. Nah, here's the best part: Lars Ulrich secara personal meminta saya untuk menggantikannya bermain drum!!! How cool is that?! Saya yang datang bertiga (bukan dua kawan yang waktu itu menonton Metallica bareng) harus meninggalkan teman-teman saya.
Di belakang panggung saya menawarkan Lars untuk melanjutkan konser. Tapi dia menolak, menurutnya permainan saya sudah bagus. Kami pun rapat kecil membahas lagu berikut. James berkata, "Jangan lupa ya, yang bagian itu ada ketawanya. Beri jeda dulu." Saya mengangguk saja pura-pura mengerti. Sesaat, encore pun dimulai. Namun adegannya menjadi fade out dan menuju ke situasi pasca-konser.
Adegan ini tidak kalah menarik. Saya bertemu dua teman saya, AP dan FM. Saya bilang, "Wah lu nyesel banget nggak dateng Metallica. Gue gantiin Lars Ulrich coy!!!" Tapi mereka tidak menyesal dan malah membalas dengan ketus. Kata AP: "Ngapain? Gue abis nonton Usher, gue juga gantiin dia nyanyi di panggung." Begitu juga kata FM. Yah, mengecewakan. Ternyata aksi subtitusi musisi sudah sering dilakukan.
Perlahan saya kembali ke dunia nyata. Wow, mimpi yang seru, pikir saya. Semoga ini menjadi puncak dan tanda akhir insomnia saya. Saya ingin percaya kalau mimpi ini adalah cara semesta untuk bilang kalau anything is possible, you can do or be anything you want. Percaya? Percaya saja deh. Lagipula tampaknya saya sudah tidak mau berpikir lagi, saya mau melakukan, demi tercapainya misi "Reinventing Myself" saya tadi. Yah, semoga.
at
21.00
Sabtu, 12 Oktober 2013
[Kacamata] Tentang Kelahiran
Mungkin keindahan paling esensial dari hidup bisa disimpulkan
begini: bahwa kelahiran bukanlah opsional. Lucunya, ketidaktahuan setiap janin
akan mengantar kita menuju pilihan. Sistem acak yang memungkinkan kita mencari,
bukan diberikan. Membuat, bukan disediakan. Memilih, bukan diarahkan. Seperti
halnya mendapat hadiah uang secara cuma-cuma. Berapapun nilai yang didapat,
kita akan menggunakannya sesuai kebutuhan. Itulah hidup, itulah dilahirkan.
Bila saja
ada sesi wawancara sebelum kita dikirim ke dunia untuk pertama kalinya.
A: Apakah kamu mau dilahirkan?
B: Apa yang akan saya dapat di sana?
A: Kemungkinan.
B: Kemungkinan?
A: Kemungkinan suka-duka, hidup sepenuhnya
atau sekarat seumur hayat.
B: Tak ada yang pasti?
A: Tidak. Semuanya risiko.
B: Ah, lebih baik saya tidak mengambil
risiko.
A: Baiklah. Kamu tidak akan dilahirkan.
Ketika pengetahuan diberikan, dan pilihan
disediakan, kelahiran menjadi tidak spontan. Kehidupan bukan lagi tentang apa
yang mungkin apa yang tidak. Perjalanan kita tidak lagi menjadi indah.
Pertanyaan-pertanyaan
tentang kelahiran ini membawa saya ke lamunan. Saya sempat berkhayal tentang
situasi pra-reinkarnasi di mana setiap orang diwawancarai tentang keinginan
mereka untuk hidup kembali atau tidak. Bahkan mereka diberikan kebebasan untuk
memilih kehidupan berikutnya.
A: Apa kamu mau dilahirkan lagi?
B: Lagi? Lagi?! Mengulangi semua kegagalan?
Semua pilu, patah hati, pengkhianatan, ketidaksetiaan, kebencian, kesalahan,
peperangan, pembantaian, penyiksaan, kekecewaan, perbudakan, untuk akhirnya
berlabuh di akhir yang tidak bahagia? Tidak. Saya ingin mati.
A: Apa kamu mau kembali
lagi ke dunia?
B: Lagi? Setelah segala
kegagalan? Tentu saja iya! Apa lagi yang lebih indah daripada kesempatan kedua
untuk memperbaiki?
A: Apa yang kamu inginkan untuk hidup kamu
yang baru?
B: Saya ingin dilahirkan di keluarga yang
harmonis secara finansial, emosional, dan ragawi. Saya ingin menjadi orang
sukses, menikah bahagia, dan akan mati tanpa rasa sakit.
Sementara itu, di semesta paralel, para
calon ibu akan diwawancarai mengenai siapa yang dia ingin lahirkan. Mereka
diberi kebebasan untuk memilih anak seperti apa.
A: Apa yang kamu inginkan dari calon anakmu?
B: Saya ingin perempuan mandiri, cantik,
siap menikah di umur 25, mencintai kedua orangtuanya, dan akan terus menemani
saya sampai akhir hayat.
C: Saya mau lelaki bertanggung jawab,
tampan, mapan di usia 27, menikahi perempuan sempurna, dan terus beranak-cucu.
Lalu saya terbangun dari lamunan dan teringat ibu. Dia akan
berulangtahun yang ke-60 beberapa minggu lagi. Wow. Bayangkan sudah berapa
cerita sejarah yang dia saksikan. 50-an, 60-an, 70-an, 80-an, 90-an, 2000-an,
hingga 2013. Ini yang saya selalu percaya: some
people never change, yet everyone is
changing in every second. Bahkan mereka yang “never change” pun selalu mengalami perubahan. Saya yakin bahwa ibu
saya adalah one of those who never
change. Yang saya tidak ketahui sama sekali adalah: sudah berapa banyak
perubahan yang menemani hidupnya?
Ibu adalah
karakter eksentrik. Dia adalah espresso sebelum tidur. Hujan di bulan Mei. Aktor
laga dalam film melodrama. Tidak aneh, hanya langka. Konvensional dan
kontemporer, kuno dan modern, melebur jadi satu keunikan abstrak. Kemudaannya
seperti enggan luntur namun rasa tua tak bisa dia hindari. Tapi yang jelas, dia
adalah alasan segala eksistensi saya.
Saya dan dia
adalah tim sepak bola yang bermain bagus walau tanpa mencetak gol. Lambang hati
yang transparan. Perang dingin abadi. Musik klasik dengan instrumen gitar
elektrik. Saya selalu mengharapkan lebih, dia rajin menginginkan banyak.
Pertemuan harapan dan kenyataan antara ibu-anak mungkin utopia. Tapi mungkin
saja kami memang tidak ditakdirkan untuk saling mengerti tapi saling membangun
dengan cinta buta. Bagaimana tidak buta? Ibu sudah menyatakan cinta sebelum
janin benar-benar menjadi bayi. Sedangkan sang anak akan tumbuh dengan ikatan
emosional tanpa alasan yang sepenuhnya jelas. Cinta dogmatis.
“It just doesn’t work that way!” selalu
ada setiap saya berkelahi dengan pikiran sendiri. Saya selalu berusaha
meyakinkan diri bahwa saya tidak mungkin mengubah dia dan dia tidak boleh
mengubah saya. Ini salah satu ketidakenakan
menjadi introver. Apa yang diutarakan tidak sesuai dengan pesan yang
ingin dipusatkan.
Tapi saya suka
menghibur diri. Saya meyakinkan hati kalau ini hanya proses. Proses menuju menerima. Karena menerima adalah segalanya. Setelah saya mencapai tahap itu, saya
yakin saya dan dia akan bahagia. Di sinilah titik kebingungan saya: jadi
bahagia itu tujuan atau perjalanan?
Anyway, sekarang saya berada di proses
untuk percaya bahwa kita tidak bisa memilih hidup sebelum akhirnya dilahirkan.
Kita tidak bisa memilih untuk tidak dilahirkan, atau tidak jadi dilahirkan.
Kita tidak bisa memilih masa depan. Kita tidak bisa menyeleksi jenis anak yang
akan kita miliki. Keindahan itu berada di tengah ketidaktahuan dan kemungkinan
yang ada. Jadi, apakah hubungan saya dan ibu saya indah? Pasti.
Di umur yang
sebentar lagi 60, Ibu masih dalam proses mencari. Which is great, karena apa artinya hidup bila semua sudah
ditemukan? Dia masih berlayar tanpa tertarik untuk berlabuh di daratan mana
pun. Sayangnya, terkadang dia mengisi kapal dengan ketidakbahagiaan. Saya ingin
bilang bahwa barangkali bahagia itu memang perjalanan, bukan tujuan.
at
12.48
Langganan:
Postingan (Atom)