Minggu, 27 Oktober 2013

[Saksi Fiksi] Dedep Collector



Pagi hari masih sangat muda, tapi wajah Dedep sudah menunjukkan kelelahan dan kecemasan yang menggila. Pukul lima subuh hari itu –waktu yang biasa dimanfaatkan Dedep untuk berak-, Dedep mengutang dalam dualisme makna: hanya menggunakan kutang dan sedang berhutang. Dua-duanya berbahaya. Mengutang pukul lima pagi di luar rumah bisa bikin masuk angin. Di sisi lain, mengutang juga bisa mengundang bahaya seperti ancaman debt collector atau penagih hutang. Hutang, bukan kutang. Bayangkan nasib Dedep bila dia dikejar penagih hutang sekaligus penagih kutang.
            Seperti yang dipaparkan sebelumnya, Dedep sedang menghadapi situasi seperti berikut: menahan berak pukul lima pagi, dikejar penagih hutang, hanya berkaus kutang, berlarian keluar rumah, panik luar biasa. Sebetulnya, ini bukan kali pertama si penagih hutang itu mengancam Dedep. Ini hari ke-10! Hari pertama, Dedep sekedar diberi informasi mengenai kewajibannya membayar hutang. Hari ke-5, penagih hutang mulai mengancam Dedep tentang konsekuensinya bila telat membayar. Hari ke-10, Dedep pontang panting dikejar-kejar penagih hutang yang bukan hanya kekar tapi juga kasar dan sama sekali tak suka kelakar.
            Asal muasal cerita ini sebenarnya menarik walau generik. Dua tahun yang lalu, Dedep meminjam uang dengan kenalannya kenalannya kenalannya yang kebetulan lumayan kenal dengan kenalan jauhnya. Kenalannya ini pria tengah baya kaya raya asal Surabaya. Namanya Pak Harta. Tidak ada yang tahu pasti tentang profesinya. Banyak yang bilang dia bos mafia. Ada juga yang percaya kalau dia menjual jiwanya pada iblis demi kekayaan abadi. Lain lagi dengan yang omong-omong bahwa dia hanyalah wiraswasta biasa yang sukses luar biasa.
            Nah, si Dedep ini meminjam uang untuk memulai usaha pakaian. Jumlahnya tidak masuk akal: Rp 100.000.000,-. Dedep yakin dalam dua tahun penghasilannya bisa 3x lipat dari modal awal. Bodohnya (atau ‘bodo amat’-nya), Pak Harta langsung menyetujui proposal Dedep. Ya sudah lah. Singkat cerita, dua tahun berlalu, perusahaan Dedep rugi total. Sampai akhirnya tiba waktu pembayaran. Pak Harta bahkan mengirim si penagih hutang atau debt collector dengan sebutan Dedep Collector.
            Dua minggu sebelum hari-H, Dedep dan Pak Harta masih berhaha-haha. Melalui telepon, mereka berbincang ringan layaknya sahabat. Sampai akhirnya Dedep bertanya:
“Pak, boleh saya pinjam duit lagi?”
Jawabnya?
“MEMANG SAYA BERAK DUIT?!”
*****

Dedep terus berlari sambil memegang perutnya. Keringat bukan lagi menetes tapi muncrat dari pori-porinya. 1 liter peluh ini akibat berlari dan menahan berak. Beberapa ratus meter di belakangnya, si penagih hutang ikut berlari mengejar Dedep. Walaupun Dedep sudah hampir tak terkejar, si Dedep collector kekar nan kasar itu masih terus berlari sambil berkoar-koar, “Aku bakar kau punya buah zakar!!!”
            Tak terasa, setelah berlari keluar komplek perumahan, melampaui sepuluh warung, melewati lima tongkrongan Betawi, Dedep akhirnya mencapai jalan raya. Dalam napas tersengal-sengal, Dedep berusaha berpikir jernih. Aku tidak mungkin lari terus-terusan. Ayo pikir, Dep, pikir! Bagaimana cara lari dari kejaran penagih hutang liar? Atau.... Bagaimana cara membayar 100 juta kepada Pak Harta? Atau... PRET! PRET! BREEETT! Pemberontakan isi perut Dedep semakin liar menuntut kebebasan. Perlahan tapi agresif, pintu belakang Dedep terbuka-tutup.  
Di tengah perjuangannya mencari jalan keluar sekaligus menutup jalan keluar, Dedep melihat dari kejauhan: plang bertuliskan WC UMUM. Tanpa pikir panjang (dan memang Dedep jarang berpikir panjang, ataupun berpikir sama sekali), Dedep berlari menuju tulisan itu. Hah! Berak dulu kali ya biar lebih lega. Batinnya berusaha menenangkan.
            Tak lama, dia sampai di medium pemasrahan diri tersebut. Apa yang dimaksud dengan WC umum itu ternyata satu buah bilik 4 x 4 berdinding beton dan bermodalkan kloset duduk. Di luarnya ada satu penjaga yang tertidur pulas mendampingi kotak amal seadanya bertuliskan:

Kencing: seceng

Berak: goceng

Mandi: ceban

Cokil: jangan di sini


            Anak bocah paling tolol sedunia juga tahu kalau Dedep tidak mampu bayar sepeser pun. Bukan menghakimi dari tampangnya. Tapi dia hanya menggunakan kaus kutang dan celana dalam, jelas tak ada tempat untuk dompet. Kecuali dia menyelipkan sejumlah uang di situ. Tapi kenyataannya hal itu jarang terjadi dan memang tidak dilakukan Dedep. Ya sudah lah, ngutang dulu aja, pikir Dedep sambil melengos masuk bilik.
            Secepat kilat, Dedep menanggalkan celana dalamnya dan memasang posisi ternyaman. Lebih cepat dari kilat, isi perutnya memberontak keluar merayakan kebebasan yang selama ini mereka dambakan. Dedep pun menemukan keindahan esensial dari definisi kata ‘lega’. Walau begitu, Dedep tak bisa menghapus rasa khawatirnya. Sambil duduk dan menunggu proses pengunduhan selesai, Dedep menerawang nasib.
            Apa yang salah dengan diriku? Semua orang yang hampir mencapai umur 40 telah menemukan kebijaksanaan, kebahagiaan, atau pasangan. Aku? HUTANG! Hutang besar! Jumlah uang yang tidak akan pernah bisa aku kembalikan sampai kapan pun. Tololnya. Buat apa meminjam 100 juta? Jumlah uang yang tolol untuk perusahaan tolol. Gara-gara uang, aku harus berlari-lari dengan kaus kutang menahan tahi jam 5 pagi. Tahik lah! Apapun yang aku lakukan selalu menjadi tahi, bukan uang! Nggak ada yang benar dalam hidupku! Hidupku tahi! Walaupun anehnya sekarang aku tak mencium bau tahi! Hmm, tumben aku berak tidak bau busuk. Apa karena akhir-akhir ini aku udah mulai jarang makan pete? Atau karena tadi malam... AH! FOKUS DEP! FOKUS!
            Tampaknya pengunduhan telah komplet. Dedep pun segera mencuci-cuci. Ah, berak memang enak ya. Salah satu hal terindah dalam hidup. Apalagi kalau bisa berak duit, hihihi... Usai pembersihan sana sini, Dedep berdiri dan hendak menyiram WC. Tanpa sengaja, Dedep melihat isi perutnya yang baru saja keluar. Tidak akan ada yang percaya apa yang dia saksikan di dalam kloset: ratusan lembar Rp 100.000,-.

*****
Tiga puluh hari berlalu setelah insiden pengejaran epik Dedep di pagi hari. Sejak Dedep tahu dia bisa berak duit, Dedep akhirnya berpikir keras dan menemukan solusi brilian atas masalahnya ini. Begini langkah-langkah yang disebut Dedep sebagai “Operasi Penangkal Hutang”:

      1.     Kabur dari rumah
2.     Mencari tempat persembunyian
3.     Makan teratur
4.     Berak terjadwal
5.     Kumpulkan uang hingga Rp 100.000.000,-
6.     Bayar hutang
7.     Ucapkan maaf dan terima kasih pada Pak Harta
8.     Membereskan hidup
9.     Mencari pasangan
10.  Hidup bahagia

Ya, begitu lah. Karena sekali berak Dedep bisa menghasilkan uang sebanyak 3-4 juta, dia membutuhkan sekitar satu bulan untuk membayar hutang sebesar 100 juta rupiah. Maka berkelana lah dia keluar kota, mencari suaka di mana dia bisa makan, minum, dan berak dengan leluasa.

Pak Harta, tunggu saya satu bulan lagi. Saya akan kembali dan membayar semua hutang saya. Sumpah, ini bukan janji-janji tahi, ini janji sejati. –Dedep.


Begitu bunyi pesan Dedep untuk Pak Harta dalam secarik kertas yang tertempel di pintu rumahnya. Amarah Pak Harta sudah tidak lagi tertuang dalam teriakan atau cacian, tapi dalam sumpah. Sejak dia membaca pesan itu, Pak Harta bersumpah bahwa dia akan menemukan Dedep, memotong buah zakar dan biji matanya, lalu menukar posisi: buah zakar jadi mata, dan sebaliknya.
Namun keberuntungan masih berpihak pada Dedep. Para Dedep collector utusan Pak Harta gagal menemukan persembunyiannya. Sampai akhirnya Dedep menghitung uang hasil jerih payah mengejan selama satu bulan: Rp 101.630.900,-. Hasilnya tidak bulat karena ada beberapa hari di mana Dedep terlalu banyak makan kuliner Manado hingga mencret-mencret dan menghasilkan jutaan recehan. Saat uangnya dirasa cukup, Dedep menghubungi Pak Harta lewat wartel terdekat –dan terakhir yang pernah ada-. Begini transkrip dialog mereka:

Dedep: Pak Harta, saya membawa uangnya.
Pak Harta: Dedep! Jangan bohong! Kamu di mana?!
Dedep: Tunggu saya satu jam lagi, saya akan ke rumah Pak Harta.
Pak Harta: Mau apa kamu? Mau mati?
Dedep: Tidak pak, saya mau bayar hutang.
Pak Harta: Tahi!

Usai menelepon, Dedep membawa seluruh uangnya dalam sebuah koper besar. Satu jam kemudian Dedep menekan bel rumah Pak Harta. Pintu pun dibukakan oleh salah satu anak buah Pak Harta yang merupakan bekas Dedep collector tapi gagal menjalankan misinya. Dengan kesopanan level abdi dalem keraton Solo, Dedep memohon untuk bertemu dengan Pak Harta.
Tanpa banyak basa-basi, Dedep dipersilahkan masuk ke dalam ruang tamu di mana Pak Harta sudah duduk di sofa kulit kesayangannya. Didampingi tiga mantan Dedep collector yang menggenggam senjata api, Pak Harta memulai pembicaraan.

Pak Harta: Apa yang kamu bawa, Dedep?
Dedep: Uang. Sejumlah hutang saya. Tidak kurang. Bahkan lebih.
Pak Harta: Apakah uang itu ada di dalam koper yang kamu bawa?
Dedep: Betul, pak.
Pak Harta: Ternyata janji kamu bukan cuma janji tahi.

Pak Harta tersenyum lebar. Dedep tersenyum paling lebar. Pikirnya, usai sudah semua masalahku. Terbayar sudah hutangku. Setelah ini, aku akan pergi, memulai hidup baru dan tidak akan melihat ke belakang. Sambil pelan-pelan membuka koper, Dedep memasang wajah terbahagia yang pernah dia pakai seumur hidupnya.
Klik! Klik!
Koper pun terbuka. Dalam hitungan 0,34 detik, senyum Pak Harta musnah. Raib ditelan kemurkaan yang tak tergambarkan lagi. Ternyata isi koper itulah penyebabnya. Dedep pun terkejut saat melihat dalamnya: belasan kilogram kotoran manusia. Koper itu berisi semua tahi Dedep yang dikumpulkan selama satu bulan. Ada yang encer, ada yang sudah membusuk, ada yang masih segar, ada yang coklat dan ada juga yang hijau. Lalat dan belatung pun mengadakan pesta megah di situ. Melihat isi koper Dedep, Pak Harta berteriak:
“TAHI!!!!!!!!!”


18:33 WIB
Jakarta, 27/10/13