Pagi hari masih sangat muda, tapi wajah Dedep sudah
menunjukkan kelelahan dan kecemasan yang menggila. Pukul lima subuh hari itu
–waktu yang biasa dimanfaatkan Dedep untuk berak-, Dedep mengutang dalam dualisme makna: hanya menggunakan kutang dan sedang
berhutang. Dua-duanya berbahaya. Mengutang
pukul lima pagi di luar rumah bisa bikin masuk angin. Di sisi lain, mengutang juga bisa mengundang bahaya
seperti ancaman debt collector atau
penagih hutang. Hutang, bukan kutang.
Bayangkan nasib Dedep bila dia dikejar penagih hutang sekaligus penagih kutang.
Asal muasal
cerita ini sebenarnya menarik walau generik. Dua tahun yang lalu, Dedep
meminjam uang dengan kenalannya kenalannya kenalannya yang kebetulan lumayan
kenal dengan kenalan jauhnya. Kenalannya ini pria tengah baya kaya raya asal
Surabaya. Namanya Pak Harta. Tidak ada yang tahu pasti tentang profesinya.
Banyak yang bilang dia bos mafia. Ada juga yang percaya kalau dia menjual
jiwanya pada iblis demi kekayaan abadi. Lain lagi dengan yang omong-omong bahwa
dia hanyalah wiraswasta biasa yang sukses luar biasa.
Nah, si
Dedep ini meminjam uang untuk memulai usaha pakaian. Jumlahnya tidak masuk akal:
Rp 100.000.000,-. Dedep yakin dalam dua tahun penghasilannya bisa 3x lipat dari
modal awal. Bodohnya (atau ‘bodo amat’-nya), Pak Harta langsung menyetujui proposal
Dedep. Ya sudah lah. Singkat cerita, dua tahun berlalu, perusahaan Dedep rugi
total. Sampai akhirnya tiba waktu pembayaran. Pak Harta bahkan mengirim si
penagih hutang atau debt collector
dengan sebutan Dedep Collector.
Dua minggu
sebelum hari-H, Dedep dan Pak Harta masih berhaha-haha. Melalui telepon, mereka
berbincang ringan layaknya sahabat. Sampai akhirnya Dedep bertanya:
“Pak, boleh saya pinjam duit lagi?”
Jawabnya?
“MEMANG SAYA BERAK DUIT?!”
*****
Dedep terus berlari sambil memegang perutnya. Keringat bukan
lagi menetes tapi muncrat dari pori-porinya. 1 liter peluh ini akibat berlari
dan menahan berak. Beberapa ratus meter di belakangnya, si penagih hutang ikut
berlari mengejar Dedep. Walaupun Dedep sudah hampir tak terkejar, si Dedep collector kekar nan kasar itu
masih terus berlari sambil berkoar-koar, “Aku bakar kau punya buah zakar!!!”
Tak terasa,
setelah berlari keluar komplek perumahan, melampaui sepuluh warung, melewati
lima tongkrongan Betawi, Dedep akhirnya mencapai jalan raya. Dalam napas
tersengal-sengal, Dedep berusaha berpikir jernih. Aku tidak mungkin lari terus-terusan. Ayo pikir, Dep, pikir! Bagaimana
cara lari dari kejaran penagih hutang liar? Atau.... Bagaimana cara membayar 100
juta kepada Pak Harta? Atau... PRET!
PRET! BREEETT! Pemberontakan isi perut Dedep semakin liar menuntut
kebebasan. Perlahan tapi agresif, pintu belakang Dedep terbuka-tutup.
Di tengah perjuangannya mencari jalan
keluar sekaligus menutup jalan keluar,
Dedep melihat dari kejauhan: plang bertuliskan WC UMUM. Tanpa pikir panjang (dan memang Dedep jarang berpikir
panjang, ataupun berpikir sama sekali), Dedep berlari menuju tulisan itu. Hah! Berak dulu kali ya biar lebih lega.
Batinnya berusaha menenangkan.
Tak lama,
dia sampai di medium pemasrahan diri tersebut. Apa yang dimaksud dengan WC umum
itu ternyata satu buah bilik 4 x 4 berdinding beton dan bermodalkan kloset
duduk. Di luarnya ada satu penjaga yang tertidur pulas mendampingi kotak amal
seadanya bertuliskan:
Kencing: seceng
Berak: goceng
Mandi: ceban
Cokil: jangan di sini
Anak bocah
paling tolol sedunia juga tahu kalau Dedep tidak mampu bayar sepeser pun. Bukan
menghakimi dari tampangnya. Tapi dia hanya menggunakan kaus kutang dan celana
dalam, jelas tak ada tempat untuk dompet. Kecuali dia menyelipkan sejumlah uang
di situ. Tapi kenyataannya hal itu jarang terjadi dan memang tidak dilakukan Dedep.
Ya sudah lah, ngutang dulu aja, pikir
Dedep sambil melengos masuk bilik.
Secepat
kilat, Dedep menanggalkan celana dalamnya dan memasang posisi ternyaman. Lebih
cepat dari kilat, isi perutnya memberontak keluar merayakan kebebasan yang
selama ini mereka dambakan. Dedep pun menemukan keindahan esensial dari
definisi kata ‘lega’. Walau begitu, Dedep tak bisa menghapus rasa khawatirnya.
Sambil duduk dan menunggu proses pengunduhan selesai, Dedep menerawang nasib.
Apa yang salah dengan diriku? Semua orang yang hampir
mencapai umur 40 telah menemukan kebijaksanaan, kebahagiaan, atau pasangan.
Aku? HUTANG! Hutang besar! Jumlah uang yang tidak akan pernah bisa aku
kembalikan sampai kapan pun. Tololnya. Buat apa meminjam 100 juta? Jumlah uang
yang tolol untuk perusahaan tolol. Gara-gara uang, aku harus berlari-lari
dengan kaus kutang menahan tahi jam 5 pagi. Tahik lah! Apapun yang aku lakukan
selalu menjadi tahi, bukan uang! Nggak ada yang benar dalam hidupku! Hidupku
tahi! Walaupun anehnya sekarang aku tak mencium bau tahi! Hmm, tumben aku berak
tidak bau busuk. Apa karena akhir-akhir ini aku udah mulai jarang makan pete?
Atau karena tadi malam... AH! FOKUS DEP! FOKUS!
Tampaknya
pengunduhan telah komplet. Dedep pun segera mencuci-cuci. Ah, berak memang enak ya. Salah satu hal terindah dalam hidup. Apalagi
kalau bisa berak duit, hihihi... Usai pembersihan sana sini, Dedep berdiri
dan hendak menyiram WC. Tanpa sengaja, Dedep melihat isi perutnya yang baru
saja keluar. Tidak akan ada yang percaya apa yang dia saksikan di dalam kloset:
ratusan lembar Rp 100.000,-.
*****
Tiga puluh hari berlalu setelah insiden pengejaran epik Dedep
di pagi hari. Sejak Dedep tahu dia bisa berak duit, Dedep akhirnya berpikir keras
dan menemukan solusi brilian atas masalahnya ini. Begini langkah-langkah yang
disebut Dedep sebagai “Operasi Penangkal Hutang”:
1.
Kabur
dari rumah
2.
Mencari
tempat persembunyian
3.
Makan
teratur
4.
Berak
terjadwal
5.
Kumpulkan
uang hingga Rp 100.000.000,-
6.
Bayar
hutang
7.
Ucapkan
maaf dan terima kasih pada Pak Harta
8.
Membereskan
hidup
9.
Mencari
pasangan
10.
Hidup
bahagia
Ya, begitu lah. Karena sekali berak Dedep
bisa menghasilkan uang sebanyak 3-4 juta, dia membutuhkan sekitar satu bulan
untuk membayar hutang sebesar 100 juta rupiah. Maka berkelana lah dia keluar
kota, mencari suaka di mana dia bisa makan, minum, dan berak dengan leluasa.
Pak Harta, tunggu saya satu bulan lagi. Saya akan kembali dan membayar semua hutang saya. Sumpah, ini bukan janji-janji tahi, ini janji sejati. –Dedep.
Begitu bunyi pesan Dedep untuk Pak Harta
dalam secarik kertas yang tertempel di pintu rumahnya. Amarah Pak Harta sudah
tidak lagi tertuang dalam teriakan atau cacian, tapi dalam sumpah. Sejak dia membaca pesan itu, Pak Harta bersumpah bahwa dia
akan menemukan Dedep, memotong buah zakar dan biji matanya, lalu menukar
posisi: buah zakar jadi mata, dan sebaliknya.
Namun keberuntungan masih berpihak pada
Dedep. Para Dedep collector utusan
Pak Harta gagal menemukan persembunyiannya. Sampai akhirnya Dedep menghitung
uang hasil jerih payah mengejan selama satu bulan: Rp 101.630.900,-. Hasilnya
tidak bulat karena ada beberapa hari di mana Dedep terlalu banyak makan kuliner
Manado hingga mencret-mencret dan menghasilkan jutaan recehan. Saat uangnya
dirasa cukup, Dedep menghubungi Pak Harta lewat wartel terdekat –dan terakhir
yang pernah ada-. Begini transkrip dialog mereka:
Dedep: Pak Harta, saya membawa uangnya.
Pak Harta: Dedep! Jangan bohong! Kamu di mana?!
Dedep: Tunggu saya satu jam lagi, saya akan ke rumah Pak Harta.
Pak Harta: Mau apa kamu? Mau mati?
Dedep: Tidak pak, saya mau bayar hutang.
Pak Harta: Tahi!
Dedep: Pak Harta, saya membawa uangnya.
Pak Harta: Dedep! Jangan bohong! Kamu di mana?!
Dedep: Tunggu saya satu jam lagi, saya akan ke rumah Pak Harta.
Pak Harta: Mau apa kamu? Mau mati?
Dedep: Tidak pak, saya mau bayar hutang.
Pak Harta: Tahi!
Usai menelepon, Dedep membawa seluruh
uangnya dalam sebuah koper besar. Satu jam kemudian Dedep menekan bel rumah Pak
Harta. Pintu pun dibukakan oleh salah satu anak buah Pak Harta yang merupakan
bekas Dedep collector tapi gagal
menjalankan misinya. Dengan kesopanan level abdi dalem keraton Solo, Dedep
memohon untuk bertemu dengan Pak Harta.
Tanpa banyak basa-basi, Dedep
dipersilahkan masuk ke dalam ruang tamu di mana Pak Harta sudah duduk di sofa
kulit kesayangannya. Didampingi tiga mantan Dedep
collector yang menggenggam senjata api, Pak Harta memulai pembicaraan.
Pak Harta: Apa yang kamu bawa, Dedep?
Dedep: Uang. Sejumlah hutang saya. Tidak kurang. Bahkan lebih.
Pak Harta: Apakah uang itu ada di dalam koper yang kamu bawa?
Dedep: Betul, pak.
Pak Harta: Ternyata janji kamu bukan cuma janji tahi.
Pak Harta: Apa yang kamu bawa, Dedep?
Dedep: Uang. Sejumlah hutang saya. Tidak kurang. Bahkan lebih.
Pak Harta: Apakah uang itu ada di dalam koper yang kamu bawa?
Dedep: Betul, pak.
Pak Harta: Ternyata janji kamu bukan cuma janji tahi.
Pak Harta tersenyum lebar. Dedep tersenyum
paling lebar. Pikirnya, usai sudah semua
masalahku. Terbayar sudah hutangku. Setelah ini, aku akan pergi, memulai hidup
baru dan tidak akan melihat ke belakang. Sambil pelan-pelan membuka koper,
Dedep memasang wajah terbahagia yang pernah dia pakai seumur hidupnya.
Klik!
Klik!
Koper pun terbuka. Dalam hitungan 0,34
detik, senyum Pak Harta musnah. Raib ditelan kemurkaan yang tak tergambarkan
lagi. Ternyata isi koper itulah penyebabnya. Dedep pun terkejut saat melihat
dalamnya: belasan kilogram kotoran manusia. Koper itu berisi semua tahi Dedep
yang dikumpulkan selama satu bulan. Ada yang encer, ada yang sudah membusuk,
ada yang masih segar, ada yang coklat dan ada juga yang hijau. Lalat dan
belatung pun mengadakan pesta megah di situ. Melihat isi koper Dedep, Pak Harta
berteriak:
“TAHI!!!!!!!!!”
18:33
WIB
Jakarta,
27/10/13