Semalam saya hanya tidur empat jam. Bukan karena deadline kerja atau alkohol berjamaah, tapi ketidakmampuan saya untuk tidur tenang di saat besok pagi ada suatu kepentingan. Apalagi kepentingan ini menyangkut masa depan karir akademis. Pukul sembilan pagi saya harus mendarat di Jatinangor, sedangkan 6 jam sebelumnya saya masih menjadi peserta dari Match of The Century yang menghadirkan pertandingan gulat akbar antara bagian hati yang terus menyuruh tidur dan bagian lain yang masih ingin mengunduh episode How I Met Your Mother dan Girls teranyar. Percayalah, tidak pernah menjadi ide bijak untuk memikirkan aktivitas besok sebagai pengantar tidur. Entah kegiatan esoknya adalah menyenangkan, menyebalkan, ataupun mengancam. Bukannya tidur, saya malah bolak-balik badan berharap terlelap.
Singkat cerita -yang memang tidak terlalu panjang-, pukul satu siang saya sudah kembali ke kamar kost kesayangan setelah pulang-pergi menempuh jalan tol menuju masa depan. Wacana prosesi pemejaman mata yang telah dicanangkan seharian akhirnya bisa direalisasikan. Walau hanya berdurasi satu episode Game of Thrones, 6 kali sesi hubungan intim antar remaja, atau sepertiga perjalanan Jakarta-Bandung di siang hari, upacara ini berjalan dengan khusyuk dan penuh penghormatan. Teater bawah sadar mendadak menampilkan drama audio-visual. Begini kira-kira:
Saya berdiri di sebuah parkiran mobil. Saat itu malam hari dan gerimis minimalis menemani suasana yang terbangun sendu. Saya harus pergi ke suatu tempat. Segera. Namun saya tidak berkendara apapun hingga jalan kaki menjadi satu-satunya pilihan yang saya lakukan. Saya terus berjalan tanpa mengindahkan permukaan jalan yang becek dan tidak indah. Area parkir itu buruk rupa. Belum diaspal, terhiasi bolongan, dan banyak tanah liat yang berubah menyerupai bumbu sate padang. Berjalan dan terus berjalan.
Di tengah lamunan tanpa tujuan, sebuah sinar lampu mobil menyinari pandangan saya. Sebuah mobil Rush atau Terios atau sejenisnya berhenti menyampingi saya sebelum akhirnya jendela penumpang depan terbuka perlahan. Sang pengendara yang hanya sendirian di dalamnya memanggil saya dan bertanya:
"Dik! Ada?"
"Ada. Tapi gue nebeng ya."
"Oke, bayar pake cimeng ya."
Pria muda itu bertanya dengan kode sederhana yang berarti: apakah saya memiliki ganja. Kode itu saya pecahkan dengan mudah dan saya manfaatkan dengan kilat. Bagian yang aneh terletak pada sang pria misterius. Di dalam mimpi saya sangat yakin kami pernah bertemu sebelumnya, namun saya tidak bisa mengingat namanya. Sama sekali. Walau berusaha keras mengingat, saya kembali gagal. Di atas sadar, saya tidak pernah bertemu, berkenalan, atau melihat wajahnya. Sama sekali. Padahal dari artikel yang saya pernah baca (di realitas, bukan alam mimpi), seluruh elemen mimpi adalah bagian dari semua yang pernah dialami di realitas. Tak lazimnya, dia adalah karakter baru yang tercipta di dalam kepala saya.
Cerita bergulir. Akhirnya saya menumpang mobilnya dan meminta untuk diantarkan ke suatu restoran di mana ganja saya terletak. Pria itu menurunkan saya di suatu parkiran mobil lainnya di mana restoran tersebut belum tampak. Kata saya:
"Lebih baik diturunkan di sini saja. Tidak aman. Memutarlah, kita akan bertemu di sana."
Saya pun menyusuri area parkir lain yang juga serupa: gelap, becek, dan masih gerimis. Lagi-lagi saya berpapasan dengan situasi aneh: lima anak kecil perempuan sedang berteduh di sebuah pinggiran ruko. Mereka kedinginan dan tampak butuh bantuan. Saya mendekati hanya untuk menemukan usaha saya gagal karena mereka langsung berlarian menghindar. Sepertinya paranoid. Dengan sedikit kecewa, saya memutar balik badan melanjutkan perjalanan mencari ganja di sebuah restoran misterius.
"Hey," sebuah suara anak kecil perempuan terdengar halus dari belakang.
Ternyata tak semua anak-anak itu pergi. Salah satunya jalan pelan mengikuti saya. Di situ lah saya mampu melihat wajahnya dengan detil, 10x zoom in. Seorang perempuan tionghoa kecil dengan rambut pendek dan mata sipit. Lagi-lagi wajah yang tidak pernah saya ingat. Dia tidak tersenyum, tapi tidak juga cemberut. Matanya memohon pertolongan. Saya tidak terlalu ingat pakaiannya. Mungkin kemeja putih dan jas hujan.
"Mari," saya mengajaknya beranjak sembari mengulurkan tangan untuk menuntunnya menelusuri jalanan gelap nan becek ini.
Tidak. Tangannya tidak membalas uluran tangan saya. Ekspresinya tidak berubah. Dia lebih memilih untuk berdiri di bawah hujan dan menatap saya berjalan menjauh. Terus berjalan, menjauh, dan menjauh, hingga kembali menatap langit-langit kamar kost tercinta saya. Sayang, saya gagal menemukan di mana ganja itu berada, siapa pria misterius dan anak-anak kecil itu, dan yang paling penting: ke mana saya hendak beranjak dari area parkir mobil tersebut.
Barangkali ini salah satu mimpi favorit saya. Gelap, sendu, misterius, dan tanpa akhir yang menyimpulkan.