Sabtu, 12 Oktober 2013

[Kacamata] Tentang Kelahiran


Mungkin keindahan paling esensial dari hidup bisa disimpulkan begini: bahwa kelahiran bukanlah opsional. Lucunya, ketidaktahuan setiap janin akan mengantar kita menuju pilihan. Sistem acak yang memungkinkan kita mencari, bukan diberikan. Membuat, bukan disediakan. Memilih, bukan diarahkan. Seperti halnya mendapat hadiah uang secara cuma-cuma. Berapapun nilai yang didapat, kita akan menggunakannya sesuai kebutuhan. Itulah hidup, itulah dilahirkan.
            Bila saja ada sesi wawancara sebelum kita dikirim ke dunia untuk pertama kalinya.

A: Apakah kamu mau dilahirkan?
B: Apa yang akan saya dapat di sana?
A: Kemungkinan.
B: Kemungkinan?
A: Kemungkinan suka-duka, hidup sepenuhnya atau sekarat seumur hayat.
B: Tak ada yang pasti?
A: Tidak. Semuanya risiko.
B: Ah, lebih baik saya tidak mengambil risiko.
A: Baiklah. Kamu tidak akan dilahirkan.

Ketika pengetahuan diberikan, dan pilihan disediakan, kelahiran menjadi tidak spontan. Kehidupan bukan lagi tentang apa yang mungkin apa yang tidak. Perjalanan kita tidak lagi menjadi indah.
           Pertanyaan-pertanyaan tentang kelahiran ini membawa saya ke lamunan. Saya sempat berkhayal tentang situasi pra-reinkarnasi di mana setiap orang diwawancarai tentang keinginan mereka untuk hidup kembali atau tidak. Bahkan mereka diberikan kebebasan untuk memilih kehidupan berikutnya.

A: Apa kamu mau dilahirkan lagi?
B: Lagi? Lagi?! Mengulangi semua kegagalan? Semua pilu, patah hati, pengkhianatan, ketidaksetiaan, kebencian, kesalahan, peperangan, pembantaian, penyiksaan, kekecewaan, perbudakan, untuk akhirnya berlabuh di akhir yang tidak bahagia? Tidak. Saya ingin mati.

A: Apa kamu mau kembali lagi ke dunia?
B: Lagi? Setelah segala kegagalan? Tentu saja iya! Apa lagi yang lebih indah daripada kesempatan kedua untuk memperbaiki?

A: Apa yang kamu inginkan untuk hidup kamu yang baru?
B: Saya ingin dilahirkan di keluarga yang harmonis secara finansial, emosional, dan ragawi. Saya ingin menjadi orang sukses, menikah bahagia, dan akan mati tanpa rasa sakit.

Sementara itu, di semesta paralel, para calon ibu akan diwawancarai mengenai siapa yang dia ingin lahirkan. Mereka diberi kebebasan untuk memilih anak seperti apa.

A: Apa yang kamu inginkan dari calon anakmu?
B: Saya ingin perempuan mandiri, cantik, siap menikah di umur 25, mencintai kedua orangtuanya, dan akan terus menemani saya sampai akhir hayat.
C: Saya mau lelaki bertanggung jawab, tampan, mapan di usia 27, menikahi perempuan sempurna, dan terus beranak-cucu.

Lalu saya terbangun dari lamunan dan teringat ibu. Dia akan berulangtahun yang ke-60 beberapa minggu lagi. Wow. Bayangkan sudah berapa cerita sejarah yang dia saksikan. 50-an, 60-an, 70-an, 80-an, 90-an, 2000-an, hingga 2013. Ini yang saya selalu percaya: some people never change, yet everyone is changing in every second. Bahkan mereka yang “never change” pun selalu mengalami perubahan. Saya yakin bahwa ibu saya adalah one of those who never change. Yang saya tidak ketahui sama sekali adalah: sudah berapa banyak perubahan yang menemani hidupnya?
            Ibu adalah karakter eksentrik. Dia adalah espresso sebelum tidur. Hujan di bulan Mei. Aktor laga dalam film melodrama. Tidak aneh, hanya langka. Konvensional dan kontemporer, kuno dan modern, melebur jadi satu keunikan abstrak. Kemudaannya seperti enggan luntur namun rasa tua tak bisa dia hindari. Tapi yang jelas, dia adalah alasan segala eksistensi saya.
            Saya dan dia adalah tim sepak bola yang bermain bagus walau tanpa mencetak gol. Lambang hati yang transparan. Perang dingin abadi. Musik klasik dengan instrumen gitar elektrik. Saya selalu mengharapkan lebih, dia rajin menginginkan banyak. Pertemuan harapan dan kenyataan antara ibu-anak mungkin utopia. Tapi mungkin saja kami memang tidak ditakdirkan untuk saling mengerti tapi saling membangun dengan cinta buta. Bagaimana tidak buta? Ibu sudah menyatakan cinta sebelum janin benar-benar menjadi bayi. Sedangkan sang anak akan tumbuh dengan ikatan emosional tanpa alasan yang sepenuhnya jelas. Cinta dogmatis.
            It just doesn’t work that way!” selalu ada setiap saya berkelahi dengan pikiran sendiri. Saya selalu berusaha meyakinkan diri bahwa saya tidak mungkin mengubah dia dan dia tidak boleh mengubah saya. Ini salah satu ketidakenakan  menjadi introver. Apa yang diutarakan tidak sesuai dengan pesan yang ingin dipusatkan.
            Tapi saya suka menghibur diri. Saya meyakinkan hati kalau ini hanya proses. Proses menuju menerima. Karena menerima adalah segalanya. Setelah saya mencapai tahap itu, saya yakin saya dan dia akan bahagia. Di sinilah titik kebingungan saya: jadi bahagia itu tujuan atau perjalanan?
            Anyway, sekarang saya berada di proses untuk percaya bahwa kita tidak bisa memilih hidup sebelum akhirnya dilahirkan. Kita tidak bisa memilih untuk tidak dilahirkan, atau tidak jadi dilahirkan. Kita tidak bisa memilih masa depan. Kita tidak bisa menyeleksi jenis anak yang akan kita miliki. Keindahan itu berada di tengah ketidaktahuan dan kemungkinan yang ada. Jadi, apakah hubungan saya dan ibu saya indah? Pasti.
            Di umur yang sebentar lagi 60, Ibu masih dalam proses mencari. Which is great, karena apa artinya hidup bila semua sudah ditemukan? Dia masih berlayar tanpa tertarik untuk berlabuh di daratan mana pun. Sayangnya, terkadang dia mengisi kapal dengan ketidakbahagiaan. Saya ingin bilang bahwa barangkali bahagia itu memang perjalanan, bukan tujuan.