Mungkin keindahan paling esensial dari hidup bisa disimpulkan
begini: bahwa kelahiran bukanlah opsional. Lucunya, ketidaktahuan setiap janin
akan mengantar kita menuju pilihan. Sistem acak yang memungkinkan kita mencari,
bukan diberikan. Membuat, bukan disediakan. Memilih, bukan diarahkan. Seperti
halnya mendapat hadiah uang secara cuma-cuma. Berapapun nilai yang didapat,
kita akan menggunakannya sesuai kebutuhan. Itulah hidup, itulah dilahirkan.
Bila saja
ada sesi wawancara sebelum kita dikirim ke dunia untuk pertama kalinya.
A: Apakah kamu mau dilahirkan?
B: Apa yang akan saya dapat di sana?
A: Kemungkinan.
B: Kemungkinan?
A: Kemungkinan suka-duka, hidup sepenuhnya
atau sekarat seumur hayat.
B: Tak ada yang pasti?
A: Tidak. Semuanya risiko.
B: Ah, lebih baik saya tidak mengambil
risiko.
A: Baiklah. Kamu tidak akan dilahirkan.
Ketika pengetahuan diberikan, dan pilihan
disediakan, kelahiran menjadi tidak spontan. Kehidupan bukan lagi tentang apa
yang mungkin apa yang tidak. Perjalanan kita tidak lagi menjadi indah.
Pertanyaan-pertanyaan
tentang kelahiran ini membawa saya ke lamunan. Saya sempat berkhayal tentang
situasi pra-reinkarnasi di mana setiap orang diwawancarai tentang keinginan
mereka untuk hidup kembali atau tidak. Bahkan mereka diberikan kebebasan untuk
memilih kehidupan berikutnya.
A: Apa kamu mau dilahirkan lagi?
B: Lagi? Lagi?! Mengulangi semua kegagalan?
Semua pilu, patah hati, pengkhianatan, ketidaksetiaan, kebencian, kesalahan,
peperangan, pembantaian, penyiksaan, kekecewaan, perbudakan, untuk akhirnya
berlabuh di akhir yang tidak bahagia? Tidak. Saya ingin mati.
A: Apa kamu mau kembali
lagi ke dunia?
B: Lagi? Setelah segala
kegagalan? Tentu saja iya! Apa lagi yang lebih indah daripada kesempatan kedua
untuk memperbaiki?
A: Apa yang kamu inginkan untuk hidup kamu
yang baru?
B: Saya ingin dilahirkan di keluarga yang
harmonis secara finansial, emosional, dan ragawi. Saya ingin menjadi orang
sukses, menikah bahagia, dan akan mati tanpa rasa sakit.
Sementara itu, di semesta paralel, para
calon ibu akan diwawancarai mengenai siapa yang dia ingin lahirkan. Mereka
diberi kebebasan untuk memilih anak seperti apa.
A: Apa yang kamu inginkan dari calon anakmu?
B: Saya ingin perempuan mandiri, cantik,
siap menikah di umur 25, mencintai kedua orangtuanya, dan akan terus menemani
saya sampai akhir hayat.
C: Saya mau lelaki bertanggung jawab,
tampan, mapan di usia 27, menikahi perempuan sempurna, dan terus beranak-cucu.
Lalu saya terbangun dari lamunan dan teringat ibu. Dia akan
berulangtahun yang ke-60 beberapa minggu lagi. Wow. Bayangkan sudah berapa
cerita sejarah yang dia saksikan. 50-an, 60-an, 70-an, 80-an, 90-an, 2000-an,
hingga 2013. Ini yang saya selalu percaya: some
people never change, yet everyone is
changing in every second. Bahkan mereka yang “never change” pun selalu mengalami perubahan. Saya yakin bahwa ibu
saya adalah one of those who never
change. Yang saya tidak ketahui sama sekali adalah: sudah berapa banyak
perubahan yang menemani hidupnya?
Ibu adalah
karakter eksentrik. Dia adalah espresso sebelum tidur. Hujan di bulan Mei. Aktor
laga dalam film melodrama. Tidak aneh, hanya langka. Konvensional dan
kontemporer, kuno dan modern, melebur jadi satu keunikan abstrak. Kemudaannya
seperti enggan luntur namun rasa tua tak bisa dia hindari. Tapi yang jelas, dia
adalah alasan segala eksistensi saya.
Saya dan dia
adalah tim sepak bola yang bermain bagus walau tanpa mencetak gol. Lambang hati
yang transparan. Perang dingin abadi. Musik klasik dengan instrumen gitar
elektrik. Saya selalu mengharapkan lebih, dia rajin menginginkan banyak.
Pertemuan harapan dan kenyataan antara ibu-anak mungkin utopia. Tapi mungkin
saja kami memang tidak ditakdirkan untuk saling mengerti tapi saling membangun
dengan cinta buta. Bagaimana tidak buta? Ibu sudah menyatakan cinta sebelum
janin benar-benar menjadi bayi. Sedangkan sang anak akan tumbuh dengan ikatan
emosional tanpa alasan yang sepenuhnya jelas. Cinta dogmatis.
“It just doesn’t work that way!” selalu
ada setiap saya berkelahi dengan pikiran sendiri. Saya selalu berusaha
meyakinkan diri bahwa saya tidak mungkin mengubah dia dan dia tidak boleh
mengubah saya. Ini salah satu ketidakenakan
menjadi introver. Apa yang diutarakan tidak sesuai dengan pesan yang
ingin dipusatkan.
Tapi saya suka
menghibur diri. Saya meyakinkan hati kalau ini hanya proses. Proses menuju menerima. Karena menerima adalah segalanya. Setelah saya mencapai tahap itu, saya
yakin saya dan dia akan bahagia. Di sinilah titik kebingungan saya: jadi
bahagia itu tujuan atau perjalanan?
Anyway, sekarang saya berada di proses
untuk percaya bahwa kita tidak bisa memilih hidup sebelum akhirnya dilahirkan.
Kita tidak bisa memilih untuk tidak dilahirkan, atau tidak jadi dilahirkan.
Kita tidak bisa memilih masa depan. Kita tidak bisa menyeleksi jenis anak yang
akan kita miliki. Keindahan itu berada di tengah ketidaktahuan dan kemungkinan
yang ada. Jadi, apakah hubungan saya dan ibu saya indah? Pasti.
Di umur yang
sebentar lagi 60, Ibu masih dalam proses mencari. Which is great, karena apa artinya hidup bila semua sudah
ditemukan? Dia masih berlayar tanpa tertarik untuk berlabuh di daratan mana
pun. Sayangnya, terkadang dia mengisi kapal dengan ketidakbahagiaan. Saya ingin
bilang bahwa barangkali bahagia itu memang perjalanan, bukan tujuan.