Kasihan Eman. Dia satu-satunya sapi betina yang diberi nama paling jantan di antara teman-temannya satu pekarangan. Sampai sekarang remaja, Eman belum tahu kenapa orang tuanya memberi nama Eman. Mereka sudah lama mati. Bapaknya jadi steak, ibunya disumbangkan untuk Idul Adha. Sekarang Eman dibudidayakan di pekarangan asri bersama teman-temannya. Susunya bermanfaat untuk manusia, kucing, anjing, dll. Eman senang dia bisa berguna buat orang lain -walaupun bukan sapi lain-.
Meski dia rela dan bahagia diperah, sebenarnya Eman menyimpan pilu yang mendalam. Setiap hari dia melamun galau. Berpikir keras. Mencari jawaban. "Kenapa sih nama saya Eman?". Tidak heran. Teman-temannya punya nama cantik dan feminin. Sebut saja Sari, Sandra, Rossa, Martina, dsb. Bahkan ada yang memiliki nama secara harfiah, Indah dan Cantik. Eman dengan mereka pun tidak ada beda, sama-sama makan rumput, badannya montok, susunya segar.
Kasihan Eman. Gara-gara nama, dia dijauhi gank sapi betina eksis. Jadilah dia lebih nyaman nongkrong bareng sapi-sapi jantan. Sedihnya, tidak semua yang bisa menerima dia di tongkrongan sapi jantan gahar. Dari puluhan lelaki, Eman cuma berteman baik dengan Dimas dan Rio. Dimas ABG banget, pecicilan, suka Justin Bieber, dan diam-diam suka Eman. Sedangkan Rio pendiam, tua, bijak, pemikir, tapi kadang-kadang kurang nyambung.
Banyak lelaki yang tidak suka kehadiran Eman. "Namanya doang Eman, tapi punya susu", "Eman? Mestinya Ewoman!", "Bukannya saya ngga suka Eman, tapi dia itu betina. Ga usah sok-sok nongkrong bareng deh bro", "Betina itu ditakdirkan untuk didekati, dicinta, disayang oleh Jantan. Lah ini?! Malah kongkow bareng". Dunia gender sapi memang keras.
*****
Suatu hari Eman lagi melamun galau sambil menguyah rumput bareng Dimas dan Rio. Dimas yang lagi godeg-godeg sambil menyenandungkan lagu Lady Gaga mendadak sok peduli dengan Eman. "Man, mukanya sedih amat?".
Eman kaget, "Eh, emang iya?".
Rio yang sedang berpikir 'kenapa-sapi-nggak-bisa-jadi-hewan-peliharaan-rumah-seperti-anjing-?' pun ikut nimbrung singkat, "Iya".
Eman menjawab malu tapi nafsu, "Ehm, iya nih. Gue lagi mikir. Kenapa ya nama gue Eman? Bapak ibu gue ngga tau apa gue cewek? Walaupun gue rada tomboy tapi kan gue tetep aja BE-TI-NA. Terus kalau nama gue Eman, kenapa cewek-cewek genit itu nggak mau berteman sama gue? Kenapa para lelaki sok macho itu ngejauhin gue? Kita kan sama-sama sapi! SA-PI! Ada yang dimakan, ada yang ngasih susu! SAPI!"
Dimas colongan, "Mungkin karena lo sapi yang paling keren dan montok Man! Kalau gue ya, ngga pernah.."
"DIM! Diam! Gue lagi ga mood!", potong Eman sadis.
"Apalah arti sebuah nama Man?", jawab Rio. "Ngga usah dijadiin beban. Lo nggak salah apa-apa. Yang salah itu budaya patrisapi, terlalu memojokkan kaum betina. Nah pas ada perempuan namanya Eman, momennya tepat banget. 'Apa-apaan neh, betina udah mulai berani ya mau nyama-nyamain jantan!!'. Gitu lah Man".
Eman tertegun. Syok. Perkataan itu seperti menusuk-nusuk nurani bimbang Eman. Sedangkan Dimas malah ganti lagu. Susah payah, Eman kembali angkat bicara, "Ta..ta..tapiii. Ehm. Jadi gue pasrah aja gitu? Biarin aja cewek kayak gue dimarjinalkan karena gue nggak seperti sapi-sapi wanita itu??!!"
"Cukup dengan aksi dan persepsi sudah membuat lo menjadi sapi yang setara Man. Lo bukan 'WANITA' yang diagungkan, atau 'CEWEK' yang direndahkan. Lo adalah ''PEREMPUAN'. Sang pencipta, penikmat, pelaku. Lo adalah imbuhan 'me-' bukan sekedar 'di-'". Benar-benar sapi yang intelek.
Eman hanya terdiam dan berpikir. Saat hening, peternak mereka datang mengunjungi. Orang itu hanya mengelus kepala Rio sambil bergumam ramah dengan bahasa manusia, "^&@)(&*)@_^#@.... '{8[}??".
Eman bertanya pada Rio, "ngemeng apa dia?"
"Mana gue tau. Gue kan sapi".
*****
Hari berlalu, minggu berganti, alienasi Eman terus berjalan. Tapi kini Eman lebih terang. Lebih tegar. Lebih yakin. Dia tidak lagi peduli dengan gank betina eksis atau tongkrongan jantan gahar. Eman hanya menjalani hari sebagaimana hidup sapi seharusnya. Nikmat sekali rasanya. Sempurna.
Sore itu seperti biasa, Eman sedang meresapi keindahan hidup bersama Dimas dan Rio dengan berbincang ringan masalah dunia persapian. Topik silih berganti. Tidak ada yang terlalu penting, hingga Rio membuka tema dengan nada serius.
"Man. Gue titip Dimas ya."
Eman dan Dimas hanya mengernyitkan dahi.
"Maksud lo apa Yo? Emang gue tempat penitipan sapi?"
"Dim. Pesan gue buat lo, tetaplah bangga dengan diri lo ya. Jangan pernah berubah."
Dimas semakin bingung, "Apa sih?!"
Rio menarik napas panjang.
"Selama ini gue bohong sama lo berdua. Gue... ngerti bahasa manusia".
Dimas dan Eman cuma menatap satu sama lain dengan ekspresi heran. Eman pun terus melanjutkan.
"Inget ngga 1 bulan yang lalu? Waktu itu bos kita datang bentar. Cuma ngelus kepala gue sambil bergumam?"
Dimas dan Eman kompak, "OOOOHHHH. Emang dia ngomong apa?".
"Hey, siap siap ya. 1 bulan lagi kamu akan dibeli pengusaha steak".
Dimas dan Eman hanya terdiam. Benar-benar terdiam. Sekitar 2 menit kemudian, Eman merespon, "YO! Kok lo ga bilang-bilang sih? Gimana dong? Gue gimana? Gue ga bisa kalau lo ga ada yo!!".
"Jangan gitu Man, ini memang takdir kita kan? Seharusnya udah siap dari awal".
Dimas tak mau kalah sedih, "YO!! Lo satu-satunya temen cowok gue Yo!"
"Ini ada Eman! Hehe", jawabnya menghibur.
Mereka bertiga mengucapkan perpisahan. Menangis. Mengenang. Bercerita, berbincang, bergunjing untuk yang terakhir kalinya dengan Rio. Hingga tertidur, dan pagi menjelang. Rio sudah tidak ada.
*****
Sore itu, Eman berjalan-jalan sendiri. Setelah 6 bulan Rio pergi, Dimas juga pergi. Tidak secara harfiah, tapi Dimas sudah meninggalkan Eman yang dianggapnya cinta bertepuk sebelah tangan. Dimas menemukan pacar. Sapi betina bernama Selly. Mereka sangat romantis. Kencan setiap waktu. Godeg-godeg bareng sambil bersenandung lagu Vierra. Pokoknya dunia hanya milik berdua, yang lain cuma ngontrak.
Sejak itu, Eman benar-benar sendiri. Dia masih menolak untuk menjadi cewek yang menerima budaya patrisapi, dan dia masih tidak diterima sapi-sapi jantan. Kasihan Eman. Lebih kasihan lagi, sore itu dia tidak menyangka akan menjadi hari yang sangat tidak biasa.
"EH BENCONG, ngapain lu?! HAHAHA", ejek seorang sapi lelaki kekar kepada Eman yang sedang melintas di depan tongkrongan jantan gahar. Eman tidak acuh. "SEDIH YA MBA, ditinggal bapaknya?". Eman melempar pandangan kepada tongkrongan itu. Sapi kurang ajar itu pun terus melancarkan bully, "Kenapa? Lo ga tau ya Rio itu bapak lo? HAHAHA. Dasar, udah bencong, bego pula".
Eman angkat bicara, "maksud lo apa?". "Semua orang di sini juga tau kalo Rio itu bapak kandung lo! Dia yang ngasih lo nama EMAN. Mampus sekarang dia udah ga ada. Mau ngadu sama siapa lo?".
Eman syok. Dia ragu. Tapi penasaran. Dia langsung berlari dengan cemas. Menuju Dimas. Sapi sarkastis itu pun masih terus berbicara, "HAHA. Mau kabur?! EMAN gue pikirin??!! HAHAHA."
Eman terus berlari. Hanya ada satu pertanyaan yang ingin dia sampaikan pada Dimas. Seketika, sosok Dimas terlihat dari kejauhan. Eman pun semakin cepat mengayuh kaki-kaki gendutnya. "DIMAS!!!"
Dimas sampai tersedak rumput, "uhuk uhuk! Apaan sih?!"
"LO TAU RIO ITU BAPAK GUE?!".
Dimas sangat terkejut. Dia menunduk dengan spontan.
"DIM! DIMAS!"
"Ehm, lo... denger dari mana?"
"GA PENTING!"
"Oke, oke Man. Dengerin cerita gue dulu ya."
Kemudian Dimas bercerita panjang lebar tentang sejarah hidup Eman. Sebenarnya, Dimas juga hanya mendengar dari obrolan di tongkrongan sapi jantan gahar. Ternyata benar, Rio adalah bapaknya Eman. Dulu, Rio datang di peternakan itu bersama istrinya, Ria. Mereka berdua sangat bahagia. Ria pun dikaruniai anak tunggal. Tragis, Ria meninggal saat melahirkan Eman. Rio sangat terpukul. Dia takut menjadi orang tua tunggal. Dia merasa tidak mampu membesarkan anak tanpa perempuan di sisinya. Rio tahu persis bahwa Eman adalah sapi betina. Justru ini yang menjadi alasan kenapa Rio memberikan nama 'Eman'. Nama itu mengandung harapan besar bahwa Eman akan menjadi perempuan mandiri, tangguh, dan kokoh seperti layaknya konsep pria yang diyakini. Tapi ketakutan Rio tidak hanya di situ. Dia tidak berani mengenalkan dirinya sebagai 'ayah' dari Eman. Dia tidak berani dengan tanggung jawab dan beban itu.
Eman hanya menyimak tanpa tahu harus berbuat apa. Dimas sendiri pun bingung. Sampai akhirnya dia berhasil mengeluarkan kata-kata penghibur, "Man. Mungkin udah saatnya lo mengorbankan pemikiran lo. Gue ga mau lo sendiri terus. Maaf Man, gue ga bisa selalu ada buat lo. Maklum, Selly over-posesif. Kalau dia lagi di sini, pasti gue udah diseruduk".
"Cowok macem apa lo?"
"Hmm. Gue bukan penganut patrisapi".
Eman berputar. Dia kembali berjalan lesu. Meresapi pilu yang tidak bisa dideskripsikan. Eman benar-benar merasakan esensi dari kata sedih. Dia bertanya, "Dewa sapi, apakah kamu memang menciptakan kami seperti ini? Apakah jantan dan betina memang seharusnya duduk bertingkat?".
Lamunannya terhenti. Dia melihat dari kejauhan. Di sisi kanan ladang, tampak tongkrongan sapi jantan gahar sedang menggoda sapi-sapi betina. Di seberangnya terlihat gank sapi betina eksis sedang bergerombol sambil mengeluarkan jurus-jurus genit. Eman hanya tersenyum. Sesaat dia berbisik, "ehm, rasanya..... ingin jadi steak".
16:31
Bandung, 22/4/2011
Untuk Shir yang ingin disetarakan, bukan dispesialkan.