Dibuka dengan adegan reuni. Tak seperti biasanya, saya rela
menghadiri acara non-formal pertemuan kawan-kawan SMA. Di situ banyak wajah
familiar, dialog detil, tapi tempatnya sama sekali asing. Sebuah ruangan kayu
yang tidak begitu besar tapi entah bagaimana caranya puluhan orang bisa masuk
situ.
Pertama saya berbincang dengan dua kawan
SMA saya yang kebetulan tidak begitu lama yang lalu baru saja bertemu di realitas. Saya
tidak ingat naskahnya. Lalu bermunculan kawan-kawan lainnya yang sudah tidak
lagi intim. Kesenangan dimulai. Entah bagaimana caranya, tapi saya sangat
bersenang-senang saat itu.
Atmosfir mendadak berubah drastis.
Seseorang yang tidak saya kenal –tapi saya sadar kalau dia berderajat lebih
tinggi- mendatangi saya, memberikan saya sebuah penjelasan mengenai suatu misi
berbahaya. Kalau tidak salah, kira-kira petikannya begini: “Ini saatnya kamu
buktikan keahlianmu. Ini tidak seberbahaya itu kok, kamu hanya harus bertemu
dengan seseorang, dan tanyakan dia mengenai misi terorisme.” Intinya, tugas
saya hanya untuk bertemu dan berbincang.
Awalnya saya menolak, tapi entah kenapa
saya tetap menjalankannya. Di saat reuni sudah mulai sepi, saya mengendap-endap
keluar ruangan itu dan mencari tempat yang dimaksud bos saya. Tapi apa yang
saya temukan sungguh tidak lazim: sebuah ruangan besi kecil dan sempit di mana
ternyata perserta reuni tadi sudah berkumpul di situ. Namun, ada satu penyusup,
entah siapa. Asumsi saya mengatakan untuk menghajarnya habis-habisan.
Teman-teman hanya menyoraki saya yang semangat memukulinya. Usai perkelahian
satu arah, saya keluar ruangan dan kembali menuju ke tempat awal sambl berharap
si pemberi misi masih ada.
Beruntung, dia sedang duduk santai. Dengan
pengkhayatan total sebagai pemberontak bijaksana, saya menggebrak meja
(mungkin. Saya tidak ingat betul). Kira-kira saya bilang begini: “Saya tidak
akan melakukannya! Lihat dia sudah babak belur! Lakukan saja sendiri! You know
what? I QUIT!”. Overdosis harga diri, saya keluar ruangan dan terus berlari
dengan senyum kepuasan maksimal. Terus berlari hingga mencapai kamar tidur
rumah saya, telentang.
Sepertinya akumulasi maraton Homeland Season 1, -dan Season 2 Episode 1 (The Smile) sebagai penutup hari- menjadikan saya Carrie Mathison (Claire Danes) absurd yang merindukan
kawan-kawan SMU. Ah, setidaknya saya belajar untuk memberontak, berkelahi, dan
menghadapi acara reuni. Walau hanya dalam mimpi.