Akhir Sebuah Kontrak
Not here. But it wasn't far from this intimidating bar. |
5 Maret, 2018
Malam hari. Di sebuah kedai ramen, Jakarta Selatan. Saya
membuat keputusan besar dengan mengakhiri suatu kontrak mengikat, yang sudah
berjalan 2 tahun. Saya nggak tahu apakah keputusan ini akan berakhir dengan
penyesalan, atau justru kelegaan. Tapi yang pasti, saat itu saya tahu kalau
saya melakukan hal yang benar.
Setiap
aksi punya reaksi. Selesai makan, kenyang. Selesai minum, mabuk. Selesai berak,
cebok. Selesai dari pengakhiran kontrak ini, saya ditinggalkan dengan
perasaan yang tidak enak. Mual secara psikologis. Terasa selama tiga bulan ke
depan.
Impulsivitas yang Logis
2 Mei, 2018
Secara natural, saya itu tipe orang yang selalu tertekan di
setiap hari ulang tahun saya. “Oh, tidak umur 25, tapi hidup masih gini-gini
aja!”; “Ah, umur 27! Ngapain aja selama ini?!”. Bayangkan, di Agustus saya akan
berumur 30! Tekanan jadi membesar tiga kali lipat!
Begini
lah. Saya sedang di masa transisi. Tak hanya akhir dari kontrak yang tadi saya
akhiri di kedai ramen, tapi juga kontrak yang berjudul “20’s is The Best Time of Your Life”. Entah kenapa, di situasi penuh kegundahan batin ini, saya jadi
sulit membedakan keputusan yang didasari logika atau impuls.
Take more pictures like this. Meet more people like him. |
Di hari itu, saya diberi ujian oleh semesta: logis atau impulsif. Ujian itu datang melalui kolega di kantor yang mewartakan kabar menarik! Katanya, “Sriwijaya (maskapai, bukan kerajaan) ada paket menarik. Bayar 12 juta, lo bisa terbang gratis ke seluruh Indonesia selama setahun.”
Usai
melakukan riset minimalis non empiris, saya dan teman saya ini langsung
berangkat ke kantor cabang Sriwijaya terdekat untuk bergabung dalam program SJ
Travel Pass, yang ternyata bisa cicilan 0% dan tidak 100% gratis (karena tiap
beli tiket, kita harus tetap bayar pajaknya).
Pagi
hari dengar kabar, siang hari langsung mengambil keputusan besar (12 juta itu
besar buat saya): IMPULSIF. Berkomitmen untuk menjelajahi Indonesia selama satu
tahun, dalam kondisi “mual-secara-psikologis”, dan bersiap memasuki usia 30
tahun dengan status single, belum sukses-sukses banget, dan belum kaya-kaya
banget? LOGIS.
Saya tidak akan menyesali keputusan
ini. Entah kenapa, semangat klise yang terlalu sering digembar-gemborkan iklan
dan media dalam tajuk “hidup sekarang” atau “YOLO, jangan loyo” baru merasuki jiwa
saya di ambang pintu keluar klub 20an. Entah kenapa juga, YOLO still and always sounds lame and cliche, but it sure doesn't feel like it.
Dengan
pemikiran pendek tapi kepuasan yang panjang (sounds wrong?), saya akan memulai petualangan saya selama setahun
bersama Sriwijaya Air (bukan endorse-an, karena saya nggak bakat). Dan,
petualangan ini saya beri nama....
#SRIWIJALAN
Tentang SJ Travel Pass
8 Juni, 2018
Yep, this one. |
Seperti yang sudah ditulis di atas, SJ Travel Pass adalah akses terbang gratis (tiket saja) selama setahun ke (hampir) seluruh Indonesiad engan membayar Rp12.000.000,- (bisa nyicil).
Di
petualangan #Sriwijalan ini, saya ingin menantang diri saya sendiri (oh yeah!
ME vs ME, I will win whoever loses), dalam misi mengalahkan Sriwijaya (so
basically, there will be two battles). Tantangan apa itu? Saya akan
memanfaatkan modal 12 juta saya selama setahun dengan mengeksploitasi servis
Sriwijaya Air hingga saya bisa balik modal atau malah melebihi modal saya
sendiri.
Caranya:
1. Saya akan jalan-jalan terus (obviously)
2. Saya akan menghitung harga tiket yang saya beli
(pajaknya saja) di setiap perjalanan, dan membandingkan dengan harga tiket
normal pada umumnya di hari yang sama.
3. Di akhir masa keanggotaan, saya akan
membandingkan keuntungan saya, apakah saya menang atau kalah dengan Sriwijaya
Air.